2019.5

4 4 0
                                    

Wadah Kosong Tak Diniatkan

****

Beruang kutub katanya hewan penyendiri saat berburu makanan.

Air botolan Dayita tenggak untuk sisa terakhirnya. Bacaannya tentang beruang kutub terngiang, gadis yang tengah menunggu hujan di warung itu menyamakan hidup beruang kutub dewasa dengan dirinya yang sekarang. Begitu kerasnya hidup, mendorong ia pada keharusan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kerjaan paruh waktu ia ambil setelah pulang sekolah, apapun jenis pekerjaannya, tak akan ia pikirkan dengan matang terlebih dahulu karena kesempatan tidak datang dua kali. Hujan badai terkalahkan dengan sikap pantang menyerahnya, ia tetap berjalan sendiri untuk mendapatkan beberapa lembar kertas yang menjadi benda nomor satu di dunia ini.

Dayita menghela nafas, dadanya terasa sesak sedari tadi. Bukan karena nasibnya yang harus mencari uang saat masih sekolah, toh banyak di luar sana dan mungkin kondisi ekonominya jauh lebih parah dari kondisinya bahkan banyak yang sampai tidak dapat sekolah, dalam hal ini Dayita masih beruntung. Bukan juga tentang ibunya--asy--kondisi asy memang masih sama, namun Dayita yakin pada Allah, Dia akan selalu menjaganya dan mempertemukannya pada cahaya penuntun yang akan membawa mereka keluar dari pelik ini.

Sesak dadanya akibat Nitya. Nitya, sahabat masa kecilnya, sahabat yang paling ia sayang, sahabat yang paling ia banggakan, sahabat yang selalu membuat ia tersenyum, sahabat yang ketika ia memiliki mimpi akan ia ceritakan tanpa sungkan dan sebaliknya, dan sahabat yang paling asik diajak bercerita. Kini, memudar. Semua sikap yang membuat Dayita nyaman berubah. Tidak tahu apa salahnya, saat ditanya pun tak ada jawaban. Nitya berhati keras, ia memalingkan wajah, menganggap Dayita tidak ada, bertingkah seakan mereka orang yang tidak saling mengenal, asing dan canggung.

Siapa Nitya? Dayita tak mengenalnya lagi. Mereka bilang, Dayita terlalu terbawa perasaan. Mungkin benar atau mungkin karena mereka tidak pernah merasakan. Mungkin benar atau mungkin karena mereka bukan Dayita. Mungkin benar atau mungkin karena mereka tidak bisa menjadi Dayita. Percaya saja jika tidak mau mengerti, perasaan kalian pun akan sakit pada waktu di mana kalian rasa itu menyakitkan, dan mungkin Dayita akan berpikir apa yang kalian pikir menyakitkan adalah sesuatu yang biasa. Sama seperti apa yang kalian pikir tentang Dayita.

Dayita begitu bukan tanpa sebab. Sebelumnya, ia pernah merasakan hal paling membanting mentalnya. Tak dianggap ada bukan kali itu saja, tapi sudah berulangkali. Dalam keluarga, ia dianggap tidak pernah lahir setelah kematian ayah kandungnya, ditinggalkan, dibuang. Dalam pertemanan, ia dianggap tidak berharga dan bukan apa-apa, dia ada di saat teman-temannya butuh, namun mereka hilang saat Dayita didatangi kegelapan. Dalam sekolah, selalu saja ada pembulyan, di anggap jelek dan tak pantas, mereka hanya bisa menghina tanpa menghargai, tidak mau memikirkan apa yang dilakukan akan berujung fatal bagi mental Dayita.

Tidak cukupkah beberapa alasan itu untuk membela Dayita? Masihkah harus Dayita dihakimi? Mohon pada Tuhan untuk ikut merasakannya, mungkin kalian yang menghakimi baru bisa mengerti.

Kali ini Dayita hanya bisa menenggak liurnya bersama luka yang menggerogoti hatinya. Tangis tak bisa lagi ia jamah, terlalu sering sampai air matanya mengering, terlalu menyiksa sampai air matanya tak tersisa. Tak pantaskah dunianya diisi warna? Tak pantaskah harinya dipenuhi orang-orang yang ia senangi? Tak pantaskah ia tertawa karena lelucon orang-orang yang menganggapnya?

Dayita ingin dicinta. Dayita ingin diselamatkan. Hidupnya bagaikan wadah kosong yang tak diniatkan untuk dikuras, namun terpaksa rela demi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan. Sampai sini, ia tak mendapatkan apapun, hanya berjalan diiringi kesunyian, melewati genangan yang mengisi jalan berlubang. Mari menjadi jalan itu, wadah sering berada di dalam, kecil kemungkinan terisi lagi air, sedangkan jalan selalu terletak di luar ruangan, besar kemungkinan diisi air yang tiba dari langit. Ah, Dayita terlalu lama menatap genangan itu, hingga tanpa sadar, air matanya yang terisi lagi, ia menangisi cerminan diri dalam air itu, ia membencinya! Sangat, amat.

****

"Gil! Tathering, dong!" Lia berteriak di pojok sana, padahal posisi gadis cempreng itu dengan orang yang dipanggilnya tidak berjauhan.

Dayita yang sebelumnya tertidur di antara lengan, terbangun dan memutar bola matanya kesal. Ia sebal dengan suara Lia, terlalu cempreng, terlalu banyak bicara, dan lebih menyebalkannya, terlalu kentara menunjukkan diri bahwa dia adalah teman yang mengaku teman jika memiliki keperluan yang mendesak.

Seperti menanyakan jawaban dari pertanyaan yang belum terjawab saat mendapat tugas atau saat ujian. Bodohnya Dayita memberikan apa yang gadis licik itu mau, dan semakin menyesal kala ia dicampakkan begitu saja ketika kemauannya telah terpenuhi, Lia akan memperlakukannya seperti awal bertemu, asing tak tersentuh.

Tcih.

"Boleh. Tuh udah udah nyala," jawab Gilang dan melanjutkan makannya.

Lia mengerutkan keningnya. "Gilang!" Ia berteriak keras tak memedulikan pendengaran teman-teman sekelasnya. Sampai Fikri yang bernyanyi di tempat pojok baca berhenti mengalunkan nada indah.

"Apa?" Gilang masih santai menghadapinya Lia, mendongak melihat wajah pemilik mata belo itu, aneh, lelaki itu bisa bersikap tak terusik.

"Ini." Lia menunjukkan Hpnya pada Gilang. "Kok nggak gerak sih pas gue buka FB."

"Lah, wajah itu mah." Gilang tak menyentuh HP Lia, hanya menatapnya saja.

"Kok wajar, sih?" Binar penasaran Lia tak lepas dari wajah Gilang, matanya memaku lelaki yang tengah menenggak air minumnya, ia menunggu jawaban.

Gilang mengelap bibirnya, kemudian terdengar sendawa nyaring. Beberapa temannya yang receh tertawa, Lia sebenarnya receh, tapi kini ia sedang dalam mode serius.

"ET dah! Wajar gimana ini, Gil?" gemas Lia tak sabar.

"'Kan gue nggak punya kuota."

"Hah?"

Semua tertawa lagi, Gilang memang selalu santai, baik tingkah laku maupun cara bicaranya, tapi entah mengapa dia selalu bisa melucu tanpa dibuat-buat, dan selalu dapat menghibur tanpa diminta.

"Terus kenapa Lo ngasih gue tathering?" kesal Lia, suaranya menggelegar di dalam kelas.

"Karena Lo minta thatering bukan kuota."

"Aish!"

Terpingkal-pingkal sampai teman recehnya menertawakan Gilang dan Lia, Gilang itu benar-benar unik, bukan sekali atau dua kali ia mengerjai temannya, tapi seringkali. Dan sikap jahilnya bukan karena ia sengaja, tapi memang kontan dan tak pernah diniatkan.

Kekesalan Dayita pada Lia surut setelah mendapatkan hiburan cuma-cuma dari Gilang. Teringat belum sholat Dzuhur, Dayita langsung bangkit dan mengambil mukena.

"Guys! Sholat, yuk!" ajaknya pada kelima temannya yang tengah asih tidur di atas lantai tanpa alas di setiap pojok. Ah, tak jauh dari pojok, seakan mengakar.

"Duluan aja, Day. Ntar kita nyusul," sahut Anna.

Dayita tersenyum tipis dan menerima penolakan itu. Tak ada yang harus ditunggu, Dayita berjalan sendiri menuju mushola. Langkahnya pelan, tak lagi peduli pada setiap tatap, ia sudah sadar, mereka tak selalu menatapnya, ia tak melulu menjadi pusat perhatian, bahkan tak pernah. Langkahnya pelan, tatapannya masih peduli pada tempat yang dulu selalu ia pusatkan perhatian, pada tempat yang bulan kemarin mempertemukannya lagi dengan sosok yang selalu menjadi pusat perhatiannya.

Kelas XII IPA 2. Kelas Rudita. Dayita berdiri di tak jauh dari pintu kelas, menatap ruang yang ternyata kosong, sepertinya sedang ada pelajaran olahraga, penghuninya pasti mendiami lapangan. Tentang bunga mawar perpisahan, terngiang bagaimana nasib bunga dan coklat itu, diterimakah? Atau dibuang ke dalam tempat sampah?

Pikirannya kembali rancu, pengap akibat ingin bertemu memenuhi dadanya, kemana harus Dayita mencari jejaknya? Supaya netranya mampu menemui raga candu itu. Seakan menjadi wadah kosong, Dayita menghiba pada Allah untuk dipertemukan dengan penghuninya karena tak pernah ia niatkan wadah itu kosong, selalu ada cinta dan rindu, selalu ada harapan dan bait doa.

Selesai bersimpuh di hadapan Sang Pencipta, Dayita duduk dan memakai sepatunya di teras musholla, setelah beres ia tak langsung meninggalkan musholla dan lebih memilih merenung. "Rudita, semakin kehilangan jejakmu, rasanya semakin sepi dunia ini, dan semakin kosong hari-hari yang tak pernah memberiku sedikit jeda."

RAGA SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang