2019.3

8 4 0
                                    

Jiwa Sendu

****

"bu asy! buka pintunya! tolong keluar, bu! saya tau ibu ada di dalam!"

"kalo punya hutang, tuh, dibayar, bu! jangan lari terus!"

Asy mendengar, telinganya tak tuli, masih berfungsi dengan baik. tapi, raga, jiwa, dan batinnya sedang tidak baik-baik saja, bukan hanya tuli, tapi juga meradang, berputar-putar tak tentu arah, tak tahu arah, ia seakan tersesat dalam kamar penuh sesak hanya dapat bertelungkup menyembunyikan isak.

dayita juga ada, mendengar juga terusik, tapi gadis itu tetap tenang berupaya menenggelamkan pikiran dalam buku biologi bersampul biru dengan gambar makhluk hidup. sebenarnya, hatinya tak tenang, namun gadis pendiam akan selalu nampak tenang dan baik-baik saja. tak tahu harus bagaimana, tahun kedua ia bersekolah sma terasa mencekam benar-benar kehilangan warna.

ayah sambungnya merajuk, tidak sedikitpun menafkahi ibu yang sangat ia kasihi dalam kurun waktu tiga bulan belakangan ini. dayita gondok, memaki dalam hati ayah tiri yang tidak bertanggung jawab itu, jika tak sanggup memiliki banyak istri kenapa harus ia pertahankan? akibatnya jatuh pada asy dan dayita sepenuhnya.

mereka butuh makan, butuh membiayai kehidupan yang harus dipenuhi seperti uang sekolah dayita dan sebagainya, di tengah banyaknya kebutuhan, pemasukan justru tidak ada sama sekali, berakhir asy memilih jalan berhutang pada beberapa lembaga dan tetangga. hutangnya menumpuk, asy tak bisa membayar, bukan karena ia malas, hanya saja selama menikah dengan ayah tiri dayita, lelaki itu mahir memanjakan dan memberi banyak harapan menggunung.

setiap hari, rentenir berdatangan, asy tak pernah ada di rumah selama matahari masih nampak di langit, ia akan kembali dengan tubuh lesu dan wajah murung saat kegelapan tiba, pergi bersembunyi bersama mereka yang juga memiliki beban yang sama, tak menemukan nasi, perut selalu dibiarkannya kosong, menjalani waktu ditemani dengan rasa takut yang menggerogoti mental dan tubuh. kekosongan hati, kekosongan pikiran, bayang-bayang malaikat maut.

setiap pulang, rumah ditinggali sepi, dayita tak menemukan kehidupan, ia seakan memasuki goa tanpa cahaya dan suara. tidak ada jawaban salam, tidak ada sambutan, dan tidak ada pertanyaan yang memperhatikan. dayita pulang ketika senja tiba, kondisinya tak kalah memprihatinkan dari sang ibu. namun, gadis itu kini banyak berubah, mental yang tidak baik-baik saja ia sembunyikan dengan senyuman, sehingga raga yang lelah pun menipu banyak pasang mata.

setiap memasuki rumah, ia ingin kembali ke sekolah, ingin tinggal di sana. berbeda dengan tahun sebelumnya yang selalu ingin diam di rumah, sekarang, weekend pun ia permasalahkan. terdapat bayang-bayang menyakitkan di dalam sana, lebih menyiksa dari kekosongan. rintihan luka ibunya, deru tangis yang sulit henti, kelelahan yang tak pernah hilang dari gurat wajahnya. semua itu sangat membekas dalam ingatan dayita, membuat jiwanya kian sendu.

terngiang ajakan asy padanya yang sangat allah benci. "day, ibu nggak bisa hidup tanpa kamu, ibu juga nggak bisa ninggalin kamu dalam dunia yang keterlaluan ini. bagaimana kalau kita ... mati saja? meminum racun." dayita berigsighfar mendengarnya, ikut menitikkan air mata dan menghalangi rencana asy dengan perkataan-perkataan menguatkan, tentang pujian-pujian kebaikan allah. semenjak mendengar ucapan itu, tidur dayita bertambah tak nyenyak, ia takut asy kembali nekat. tengah malam ia akan terbangun, hanya untuk mengecek wajah ibunya yang penuh duka mendalam.

kabut hitam itu tidak pernah dayita bawa ke sekolah, ia meninggalkannya di rumah. di luar rumah, baik di sekolah atau di manapun itu, kepribadiannya berganti, bukan dayita yang membosankan seperti kelas 10, bukan dayita yang lemah karena memikirkan teman yang tidak mau mendekat, dan bukan karena dayita yang selalu membandingkan diri hingga menyalahkan. duduk di kelas 11 yang didampingi kesulitan, dayita berubah lebih terbuka, ia memiliki teman baru bahkan masuk dalam salah satu circle pertemanan di kelas itu yang berisi 6 orang termasuk dirinya.

dayita tidak lagi dengan tamara, mereka terpisah, tamara sibuk menyalonkan diri sebagai ketua osisi, mereka tak memiliki waktu untuk sering-sering bersama. ah, sungguh, dayita sudah tak mempermasalahkan apapun lagi, ia hanya ingin mendapatkan kebahagiaan di luar rumah agar tidak menjadi gila.

bersama kelima temannya, dayita melakukan banyak hal yang di kelas 10 dulu selalu ia takuti. seperti beralasan ke toilet tapi malah nyangkut di kantin, mengekspresikan diri sesukanya, bolos saat latihan pensi, tidak mengerjakan tugas dan sebagainya. ia bahagia menjadi yang berbeda, ia bahagia menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut. pernah sekali, ia memberanikan diri meminta uang pada saudara satu ayahnya yang berada di jakarta untuk membayar uang sekolah, padahal sebelumnya ia tak pernah mau.

berwarna, kelima temannya  membawa warna, tak hanya untuk bersenang-senang, kala ia tertangkap basah memiliki masalah pelik, satu persatu dari mereka memeluk tubuh dayita hangat dan memberikan banyak dukungan. 

"day ... kalo ada apa-apa, tuh, bilang!"

"kamu, kan, temen kita. kalo kita mampu, pasti kita bakal bantu, kok."

"jangan sungkan, dan jangan takut-takut," kata mereka selepas upacara tempo hari, meyakinkan dayita bahwa dia tidak sendiri.

anna paling mengambil peran. ya, mereka kini satu kelas, setiap hari berangkat bersama, tapi ia menjadi lebih disiplin sekarang, mereka jarang terlambat, dan tak pernah bolong mengikuti upacara. anna dan ibunya paling sering membantu dayita, tiga bulan uang sekolahnya ditanggung ibu anna, dayita tak akan melupakan itu.

minggu depannya hujan datang di hari rabu. dayita pulang dengan seragam setengah basah. rumah seperti biasa, kosong. dayita sudah tak mempermasalahkannya lagi, ia hanya berdoa sebanyak-banyaknya agar ibunya baik-baik saja di sana, agar semua permasalahan ini cepat mereda seperti hujan sore ini.

dayita sangat besyukur, ia bisa membantu ibunya mencari penghasilan. hujan memang sudah mereda menyisakan gerimis kecil dari langit, tapi guruh masih menggelegar, hal itu tak mematahkan semangat dayita. kedinginan, kelelahan, dan rasa lapar ia abaikan, mencari uang jauh lebih penting sekarang.

terlebih, dayita suka hujan, dayita suka kegelapan karena awan hitam, dayita suka bunyi angin yang menantang. di tengah usahanya, ia berhenti di tengah jalan, menurunkan payung dan meresapi rintik secara langsung, membiarkan bajunya basah. kelopak matanya memejam, bibirnya mengembang tersenyum. menyesal hatinya karena selama ini mempermasalahkan takdirnya, padahal hidupnya akan jauh lebih bermakna dengan senyum penerimaan.

sampai pada detik sosok yang selama ini berusaha ia kubur dalam masalalunya hadir kembali. menghantui ia di tengah hujan yang begitu indah. dayita menurunkan tangannya yang merentang, menatap aspal tanpa ekspresi.

Lalu ia berbicara lirih, "kak ... day lagi berusaha ngelupain. jiwa day terlalu sendu buat jiwa kakak yang terlalu ceria, day sadar diri, kak. raga day nggak seindah raga kakak, mata day nggak semenawan mata sendu kakak, dan penampilan day nggak semenarik penampilan kakak. day terlalu sadar, kak, day nggak bisa menggapai kakak."

"maka dari itu, day mau ngelupain kakak, walau day suka tertatih, walau day suka terusik oleh rindu, walau day kadang lupa gimana cara ngelupain."

"tapi day punya allah, kak, day pasti bisa menghapus perasaan ini," pungkasnya lalu memungut payung berwarna silver miliknya, dan memilih meninggalkan perenungan.

RAGA SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang