BAB 14 - Dimana Atlas?

2K 225 1
                                    

"Seperti dugaan awal, hanya Vince yang bisa membedakan."

Challen memberi spekulasi menurut investigasi pelaku dan kesaksian Akio. Lelaki suruhan Vince bahkan mengira jika Atlas adalah Nehan. Ini situasi yang sangat menguntungkan.

"Hah, bodoh. Dia melempar bom pada anak yang tidak diawasi. Itu sungguh taruhan besar."

Semua berkumpul di ruang kerja Khaled kecuali Akio dan Nehan. Mereka tengah merundingkan rencana untuk menghentikan Vince. Ini bukan sembarang masalah. Vince yang seorang mafia terkemuka hendak meratakan dunia bawah karena dendam. Ada dua target yang paling diincar dan salah satunya adalah Reyes.

"Dia menginginkan Nehan dan kita bisa menjadikan ini sebagai alat untuk memancingnya keluar."

"Kau berniat menumbalkan adikmu?!" Suara Khaled meninggi ketika Challen hendak mengusulkan rencana.

"Dad, ini tidak akan selesai jika dia tidak segera keluar dan dibunuh."

Khaled menatap tajam, "Maka biar ku tembak kau dulu." Ujarnya dingin.

"DIAM! Kalian sungguh membuang waktu." Reyes kesal. Disaat keadaan mulai kacau, anak dan cucunya malah beradu mulut.

"Biar aku." Gumam Atlas.

"Apa?"

Khaled menoleh ketika mendengar gumaman putranya, begitu juga yang lainnya yang menatap heran pada si pemuda kecil. Walau Atlas menunduk, mereka bisa lihat mata anak itu penuh binar kegelisahan.

"Serahkan saja padaku." Ujarnya penuh keyakinan.

****

Sudah sepuluh hari ini Nehan tidak melihat kembarannya. Siang ini bahkan ia tidak melihatnya. Anak itu membuka sedikit pintu kamar Atlas. Mengintip dari celah kecil dan hanya mendapati kegelapan. Kosong.

"Kamu sedang apa?"

Duk

Bruk

Nehan terjatuh karena terkejut setelah menubruk kaki Akio yang berdiri di belakangnya.

"Kio, dimana abang? Han mau main." Tanya Nehan sedih. Ia tak ada teman bermain.

Akio meraih Nehan ke gendongannya. Ia merasa bersalah pada adik bungsunya. Beberapa hari ini semua sibuk dengan kegiatannya. Challen dan Khaled mencari keberadaan Vince. Algis dan Atlas yang diberi misi sementara tidak pulang. Kakeknya kembali ke Toronto karena tidak bisa meninggalkan kota itu terlalu lama.

Dirinya memang di rumah. Matanya mengawasi adiknya bermain setiap hari. Mengatur jadwal tidur, memandikannya, menyuapi Nehan saat enggan makan. Tapi, pikirannya terbagi ketika ia diberi tugas meretas beberapa jaringan untuk mengetahui pergerakan dunia bawah.

"Abang sedang pergi belajar. Ayo, sekarang waktunya makan siang."

Nehan mengernyit, "Dimana? Kenapa tidak dirumah saja seperti Han?"

"Tidak bisa. Atlas ke sekolah dengan Algis karena mereka sudah besar. Kau masih kecil, jadi belajar di rumah."

Akio meraih mangkok berisi potongan daging ayam dan nasi. Ia menyuapi Nehan dengan telaten.

"Tidak adil. Han juga mau sekolah seperti Abang dan Kak Gis!" Kesalnya.

Nehan menghindari suapan dari Akio. Dengan sabar, Akio membujuk adiknya. Ia lelah sebenarnya. Semalam Akio berhasil menemukan jejak terakhir Vince. Ia tak bisa mengalihkan diri dari komputer dan ponselnya hingga pukul 5 pagi. Akio terbangun pukul 7 ketika mendengar keributan di lantai dasar karena adiknya merajuk lantaran tak boleh keluar mansion.

"Han juga sekolah kan? Jadi dimana bedanya. Jika sekolah diluar, nanti Han tidak bisa minum susu dan bermain lagi karena sudah besar." Ujar Akio membujuk.

Mata Nehan berkaca-kaca. Anak itu tidak mau waktu bermainnya terpotong karena belajar membaca dan menghitung. Ia juga tak mau minum air putih yang hambar saat akan tidur siang. Tapi, dirinya kesepian.

"Jangan menangis. Ayo, aaa buka mulutmu. Han bisa lanjut main kalau sudah makan."

"Gak mau!"

"Makan, Han. Lihat tinggal sedikit lagi. Nanti kita main di taman kalau sudah selesai makan." Bujuknya.

"Han bilang, gak mau!"

Srek

Prang

Bahu Akio melemas saat adiknya merampas sendok ditangannya dan membuang asal. Huh! Sabar. Pemuda itu mendudukkan Nehan di meja. Menatap wajah adiknya yang memerah entah karena marah atau menahan tangis.

"Nehan mau apa?" Tanya Akio pada akhirnya. Pemuda itu kehabisan akal membujuk Nehan dengan kata-kata.

"Hiks.. hiks.. Han mau ikut Abang sekolah." Pintanya.

Akio menghela napas. "Kalau itu tidak bisa. Han bukan anak nakal kan?"

Dalam tangis kecilnya Nehan mengangguk.

"Dengar, diluar sana banyak orang jahat. Daddy dan Kak Challen sedang menghukumnya." Ucapnya sembari mengusap pipi Nehan. "Nanti kalau sudah tidak ada orang jahat, Han bisa minta Daddy untuk menyekolahkan Han bersama Atlas, oke?"

"Pinky promise?"

Nehan menyodorkan jari kelingkingnya. Melihatnya, Akio merasa gemas. Ia menautkan jarinya dan mencium kedua pipi Nehan brutal.

"Promise."

Walau Akio tidak yakin Khaled akan mengijinkan Nehan sekolah diluar setidaknya untuk sekarang adiknya tidak meminta hal yang macam-macam.

"Meena, ambil sendok baru."

Pemuda dengan setelan rumahan itu membersihkan wajah dan hidung Nehan. Rasanya beban beberapa hari ini sedikit menghilang dari pundaknya ketika melihat wajah lucu adiknya.

"Ini Tuan Muda."

Nehan kembali makan tanpa penolakan. Ia juga ingin bermain diluar setelah dua jam lalu ia belajar menghitung dengan Meena.

"Kio, apa sekolah itu menyenangkan? Abang sampai tidak pulang karena asik bermain dengan teman baru disana ya. Apa Abang lupa sama Han karena sudah punya adik baru? Hiks.."

Lagi? Adiknya ini benar-benar mirip sekali dengan sang Mommy. Pandai bicara, cerewet, dan cengeng.

"Tidak ada yang mau berteman dengan abangmu karena wajahnya seram." Ujarnya berbicara fakta.

Nehan tertawa lucu ketika Akio mengatakan Atlas menyeramkan walau tidak tau letak seramnya dari mana. Tapi, itu tidak bertahan lama ketika menyadari sesuatu. Wajahnya kembali murung.

"Tapi kenapa Abang tidak pulang?"

Akio berpikir sejenak. "Pulang kok. Han tidak lihat saja karena Atlas pulang malam jadi kamu sudah tidur."

"Sudah lupakan. Ayo, kita main di luar."

Tuan Muda's Reyes (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang