BAB 20 - Tidak Ada yang Tersisa

3K 213 13
                                    

Pagi ini Challen tiba di bandara pribadi milik Reyes di Belanda. Arlo yang memang berada di sana sejak dua hari lalu datang menyambut. Membuka pintu mobil untuk Challen dan ikut masuk di jok samping kemudi setelahnya.

Kota Belanda pagi itu terasa padat oleh para pekerja dan pelajar. Challen sudah biasa melihat pemandangan ini. Sorotnya beralih ke kertas berisi informasi yang Arlo berikan. Saking fokusnya membaca data, bahkan saat mobil berhenti dan seseorang duduk disebelahnya Challen tak bergeming.

Asap rokok memenuhi mobil. Pemuda itu tak protes saat lelaki di sebelahnya merokok. Ia hafal tabiat orang itu.

"Kau akan cepat mati jika terus seperti ini." Ujar Challen.

Lelaki itu menyilangkan kaki. Wajahnya berpaling ke arah jalanan yang dilalui banyak pejalan kaki. Sesekali ia menghembuskan asap rokok.

"Lebih cepat, lebih baik." Jawabnya.

Tangan Challen berhenti membalik halaman ketika mendengarnya. Lalu ia meminta Arlo untuk membuka jendela lebih lebar.

"Benar. Kau sudah cukup tua untuk hidup, Dad." Ejeknya.

Khaled mendengus mendengarnya. Saat rokoknya habis, ia mengeluarkan yang baru dan meminta Arlo menyalakan pemantik untuknya. Ia kembali memandang keluar.

"Kita sudah sampai, Tuan." Ujar Arlo.

Buronan mana yang tinggal di sebuah penthouse tepat ditengah kota seperti ini. Hanya ada satu orang yang ingin terlihat mencolok.

Challen mengikuti langkah Khaled yang memasuki lift. Menuju lantai lima, tanpa permisi ayahnya itu langsung berjalan mendahului seorang lelaki tua yang ia yakini asisten pribadi pemilik rumah.

"Dimana dia?" Tanya Khaled.

Lelaki tua itu tampak panik. "Tuan ada di dalam. Tapi, saya mohon tolong matikan rokok anda."

Tapi sepertinya Khaled tak peduli. Ia terus masuk lebih dalam hingga menemukan seorang lelaki dengan track pants dan kaos putih polos. Dari wajahnya sepertinya pria itu baru bangun tidur.

"Hah!" Lelaki itu menutupi wajahnya.

"Hei kenapa kau membiarkannya masuk?!" Kata lelaki itu kesal.

Challen menatap pria aneh itu sanksi. Benarkah pemuda ini Noah Cornelis Willem. Informan licik yang paling dicari para mafia untuk mendapatkan informasi serahasia apapun itu.

Berbeda lagi dengan Khaled yang menatap datar lelaki itu. Cukup jengah dengan tingkah aneh dan narsis Noah yang sering ia lihat ketika berkunjung.

"Berhenti disitu!" Kata Khaled kesal melihat gerak-gerik Noah yang ingin kabur.

"Ha.. ha.. ha."

Noah tertawa canggung. Ia mengangkat tangan ke atas seolah tertangkap basah melakukan suatu kejahatan. Kini ia menghiraukan penampilannya yang berantakan. Lupakan itu, ia bisa mati ditempat jika tak memberikan apa yang Khaled mau.

"Apa yang kalian mau?"

Saat ini mereka duduk di sofa ruang tengah. Noah menyilangkan tangannya angkuh. Tapi ketika mendapat delikan tajam Khaled yang berada tepat dihadapannya membuah ia ciut seketika. Ia duduk lebih sopan.

"Kau tau apa yang kami mau." Ujar Challen menyodorkan data Vince.

Noah mengambilnya. Hanya melihat fotonya saja ia dapat mengenali Vince. Ah, sudah Noah duga jika hal seperti ini akan menjadi rumit.

"Apa untungnya jika aku memberi tau kalian?"

Informasi apapun tidak ada yang gratis. Harus ada bayaran setimpal. Dan Noah sudah cukup kaya untuk menerima uang.

"Apapun yang kau mau." Ujar Khaled. Semua yang ia miliki sudah tak berguna lagi.

Mendengar itu membuat Noah tersenyum miring kesenangan. Ada hal menarik yang ingin ia miliki. Well, ini akan menjadi transaksi yang menguntungkan.

"Vince, ya. Kenapa Tuan Khaled ini tidak menanyakannya langsung pada putra kedua anda?" Pancing Noah.

Sudah mereka duga. Hampir sebulan ini Akio tidak menampakkan diri. Semua akses keberadaannya seolah hilang tanpa jejak. Begitu juga Vince.

"Tidak usah basa-basi." Ucap Khaled geram.

"Hei, tenanglah. Aku sudah memberitahu keberadaan Vince pada mereka. Para bedebah perdamaian itu mendatangi rumah dan menodong senjata padaku." Ujar Noah kesal.

Pemuda itu menatap bergantian ayah dan anak di depannya.

"Besok anda akan mendengar berita penangkapan Vince."

****

Benar. Saat fajar, Khaled mendengar kabar jika Vince berhasil ditangkap. Pemuda itu ditemukan di Maroko setelah sebulan lamanya menjadi buronan.

Reyes tak punya hak untuk menghukum Vince secara pribadi disaat pelakunya telah membunuh banyak orang. Dan Khaled merasa ini sudah cukup selagi persidangan menetapkan hukuman mati pada Vince. Sisanya, Khaled rasa itu salahnya. Didikan pada putranya dan ambisi masa mudanya berbuah pahit.

Lusa Vince akan dipenggal dihadapan para pemimpin mafia terkemuka. Challen akan datang mewakili bersama kakeknya. Sedangkan Khaled kini terbang ke Toronto sendirian. Ada yang harus ia temui.

Menapaki rumah masa kecilnya, Khaled berjalan masuk ke kediaman Reyes. Lalu berhenti di depan pintu kamar milik putranya yang kini menjadi bungsu.

"Merasa lebih baik?" Tanya Khaled.

Atlas tak menoleh. Masih menyibukan diri dengan kanvas dan kuasnya. Ini saran dari Deris agar Atlas sering mencoret kertas atau kanvas untuk mengetahui isi pikiran anak itu.

Khaled melirik warna merah yang tercetak di lapisan putih itu. Wajah keras putranya dan warna yang digunakan membuat Khaled mengerti suasana hati Atlas.

Tak ada jawaban, Khaled mendudukan diri di pinggir ranjang. Menyalakan pemantik dan mulai merokok. Melihat punggung pemuda berkemeja putih itu seperti melihat Nehan hidup kembali. Kebiasaan Khaled yang menemani malam Nehan kini tergantikan dengan melihat punggung kembaran putra bungsunya.

"Apa kamu tak bosan berada di kamar seharian?"

Pria itu seolah berbicara pada angin. Tapi, Khaled tak berniat sedikitpun untuk berhenti. Namun sepertinya hari ini bukan hari yang tepat. Jadi, ia berdiri hendak pergi.

"Tadinya aku akan mengajakmu pergi menemui adikmu."

Pergerakan Atlas terhenti. Sebulan ini pemuda kecil itu tak diberikan izin untuk sekedar pergi ke tempat peristirahatan terakhir Nehan oleh kakeknya dengan alasan tak bisa mengendalikan diri.

Bagaimana tidak, Atlas pernah hendak kabur dari mansion untuk mencari Vince dan membalas dendam. Ia tak bisa lupa ketika kekacauan yang terjadi sudah dapat Atlas kendalikan malam itu, hadiah yang ia dapatkan adalah tubuh dingin adik yang paling ia sayangi. Atlas menolak pemakaman Nehan dengan menahan petinya. Reyes segera bertindak dengan membius Atlas dan mengirimnya ke Toronto.

"Aku akan kembali besok."

"Tunggu."

Langkah Khaled terhenti. Itu suara pertama yang Atlas keluarkan selain tangisan dan teriakan marah. Saat berbalik, wajah pucat putranya terlihat dingin. Hari itu, Atlas melupakan keterpurukannya demi bertemu dengan Nehan yang sudah berpulang.

Mereka terbang ke Jepang. Saat sampai di kediaman Hana, mereka diarahkan oleh pengurus yang Khaled pekerjakan menuju lahan luas di belakang rumah. Di bawah pohon sakura, Atlas terduduk di sebelah nisan paling ujung.

Nehan Caldwell Reyes

Pemuda kecil itu duduk sendirian. Khaled memilih berada di rumah milik mendiang istrinya. Rumah kecil di pedesaan itu sangat menangkan.

Atlas meluruskan kakinya. Melihat jauh ke depan menampakkan bukit yang berhamburan pohon sakura. Sangat indah ditemani tiga anggota keluarganya yang tengah tidur damai.

Hingga matanya memerah dan wajahnya mengeras. Sorotnya berubah dalam sekejap. Seringai mengerikan dibarengi air mata muncul dalam wajah pucat itu.

"Darah dibalas darah."

END

Tuan Muda's Reyes (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang