BAB 18 - Ini Akhirnya

1.9K 205 6
                                    

"Apa yang kau pikirkan, ha?"

Algis menatap tajam punggung pemuda kecil yang tengah duduk di ranjang membelakanginya.

"Aku hanya menyingkirkan hama." Ujar Atlas dingin.

Sudah cukup. Algis sungguh tak mengerti dengan pikiran adiknya satu ini. Setelah pulang dari sekolah waktu itu, Atlas bahkan tak berbicara sepatah katapun.

"Mommy juga?" Tanya Algis sarkas.

Tatapan Algis makin menajam. Karena inilah ia tak pernah setuju Atlas pulang. Walau terlihat tak adil mengasingkan Atlas selama itu, Algis berpikir logis. Adiknya ini butuh pelatihan untuk mengendalikan diri.

"Mereka ingin membawa adikku pergi." Gumam Atlas.

Algis dengar. Dipikir lagi, kedua wanita itu memiliki peran yang sama. Tapi ini tak cukup sebagai alasan untuk membunuh keduanya.

"Hah! Aku tak percaya ini. Kau membunuh Mommy dan Meena hanya dengan alasan itu?"

Sejauh ini, Atlas baru pertama kali berbicara sebanyak sekarang. Ia sudah cukup sabar saat adiknya sendiri membunuh sang Mommy.

Remaja itu melirik Atlas yang tak bergeming sejak masuk ke tempat itu. Sudah dua jam Algis menanyakan kejadian yang menimpa Atlas di sekolah hingga membuat si adik terluka parah. Tapi, Algis rasa yang dikatakan Atlas pada Khaled hanya sebagian.

"Apa kau–"

BOOM

keduanya menoleh cepat ke arah jendela. Suara itu berasal dari mansion utama. Para pekerja berhamburan keluar. Kekacauan terjadi begitu cepat.

Brak

"Tuan Muda, mansion diserang. Arlo melapor jika pelakunya adalah Vince." Ujar Zein.

Algis bergerak cepat. Ia harus kembali ke kediaman utama. Adik bungsunya dalam bahaya.

"Aku ikut."

Langkah Algis terhenti. "Tetap disini. Aku serahkan mansion padamu, mengerti?!" Ujarnya pada Atlas.

Pemuda itu memberi kode pada Zein untuk mengatasi kekacauan. Meninggalkan keduanya, Algis berlari sekuat tenaga untuk mencapai kediaman utama. Tapi, yang ia dapati adalah Arlo dan beberapa bodyguard yang selamat tengah melawan musuh.

Sialan! Jika, Arlo saja disini dan mansion hampir roboh pasti adiknya berhasil diculik.

"Arah selatan, Tuan Muda." Teriak Arlo.

Algis berlari menuju garasi. Meraih kunci motor asal dan tergesa-gesa mencocokkan kunci.

"Damn it!"

Setelah beberapa saat akhirnya kunci itu terpasang di salah satu motor koleksi Akio. Tanpa membuang waktu ia menarik gas penuh ke arah yang di tunjuk Arlo.

Mobil jeep hitam. Itu satu-satunya kendaraan di wilayah Reyes. Mencoba menyamai kecepatan, Algis makin mendengar suara tangis Nehan.

Jendela mobil itu ternyata terbuka. Algis dapat melihat jelas sang adik memberontak dari jeratan Vince.

"HAN!" Panggil Algis.

Nehan yang sesegukan menoleh ketika mendegar suara kakaknya. Algis seolah mengatakan sesuatu dan Vince juga berusaha mengalihkan perhatian Nehan. Tapi, sepertinya Nehan tak begitu mendengar apapun. Anak itu terlalu syok mendapati semua kejadian mengerikan yang menimpanya dalam waktu dekat.

"Arrghh.. Apa yang kau lakukan?!" Ujar Vince marah.

Cekalan Vince terlepas saat Nehan menggigit lengannya. Nehan yang mendapat kesempatan itu segera menghampiri pintu. Pintunya dikunci. Nehan mengeraskan tangisnya melihat bergantian Algis dan gagang pintu.

"Han, mau Daddy." Lirihnya.

Hanya lelaki itu yang bisa memberikan rasa aman padanya. Ia percaya, jika kakaknya akan mengantarkan dirinya pada sang ayah.

Tak berpikir panjang, Nehan menjulurkan tubuhnya keluar melewati jendela. Vince dengan cepat mencekal kaki anak itu. Dan Algis rasa jantungnya berdetak tak karuan melihatnya. Ia berusaha menyamai kecepatan mobil itu kembali.

"HAN, HEI TENANG OKE."

Wajah yang dibanjiri air mata itu menatap kakaknya. Algis seolah membaca mata adiknya yang meminta tolong padanya.

"Kemari."

Satu kata itu membuat tangis Nehan mereda. Kaki Nehan bergerak brutal hingga Vince kewalahan dan melepasnya.

Dalam hitungan detik, Nehan loncat ke pelukan kakaknya. Algis bernapas lega ketika sang adik kembali ke dalam jangkauannya. Ia menurunkan kecepatan motornya. Berbalik arah dan menarik gas cepat kembali.

"Husstt.. Kamu aman sekarang." Algis mencoba menenangkan.

Tapi, Algis sepertinya salah. Vince masih ada disana. Menodongkan senjata laras panjang ke arah dua bersaudara itu.

Hingga waktu seolah berjalan lambat ketika motor yang dikendarai Algis kehilangan kendali akibat salat satu ban motornya pecah terkena peluru. Remaja itu mengeratkan pelukan. Berusaha melindungi tubuh sang adik dari benturan. Keduanya jatuh, terseret jauh berbenturan dengan aspal dan berhenti di tepi jalan.

Sakit. Algis tak tahu dimana. Tapi, semua tubuhnya tak bisa digerakkan. Dengan kecepatan penuh dan tidak memakai helm. Orang mana yang bisa mendapat luka ringan pada kondisi itu.

Matanya mengerjap pelan. Ada bau anyir disekelilingnya dan sesuatu mengalir dari belakang kepalanya. Lalu tak lama ada yang mendesak di ujung tenggorokannya.

"Sudah mau mati?"

Algis menatap tajam. Ingin sekali ia mengeratkan pelukan pada adiknya yang kembali menangis dan berkata tak apa-apa. Tapi, ia tidak bisa menggerakkan bahkan satu jarinya sekalipun. Algis menahan tangis, apa ini akhirnya. Bahkan saat sang Mommy tiada, ia tak mengeluarkan air mata sedikitpun.

Setetes air mata turun bercampur dengan darah. Tatapan Algis berubah memohon. Dan Algis merasa dirinya berada pada titik paling rendah dalam hidupnya.

"Hem, aku benci tatapanmu. Aku juga pernah dalam posisi itu." Ujar Vince.

Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Algis. Menatap remeh wajah tak berdaya remaja lelaki di bawahnya.

"Tapi, mereka tak peduli. Adikku juga tidak berdosa. Hanya saja sialnya dia lahir diantara kami."

Vince menegakkan tubuhnya. Menatap dingin dua manusia di bawah kakinya. Ia seolah sedang menatap dirinya pada malam itu.

"Tenang saja. Akan aku ratakan dunia bawah untuk keadilan adik kita." Kata Vince dengan senyum miringnya.

"Oh, karena kamu adik sahabatku akan aku beri belas kasih."

Vince berbalik pergi. Memerintahkan dua bawahannya untuk mengurus sisanya.

"Buang mereka. Alam sedang berpihak pada kita."

Lelaki yang sebaya dengan Akio itu melirik jurang yang berbatasan langsung dengan sungai. Arusnya begitu kuat dan dengan luka separah itu Vince yakin keduanya akan mati.

Yah, belas kasihan dengan mengirim keduanya ke tempat yang sama. Hidup dengan penyesalan seumur hidup jauh lebih menyakitkan dibanding kematian.

Algis merasa gagal. Selama sepuluh tahun ia menguatkan diri untuk menjaga keluarganya dari bahaya apapun. Tapi, itu hal yang sia-sia. Ia hanya remaja SMA lemah yang terlahir sebagai anak mafia. Tak ada yang bisa diharapkan.

Bahkan ketika raungan kesakitan sang adik memasukin rungunya, Algis hanya bisa meneteskan air mata. Melihat bagaimana tubuh Nehan diseret paksa ke tepi tebing dan dengan tak berperikemanusiaan melemparnya tanpa rasa.

Hancur sudah. Algis tak merasakan apapun saat tubuhnya diangkat selain rasa sesak yang menghimpit dadanya. Lalu ia dihempaskan ditempat yang sama saat adiknya dibuang dan hanyut terbawa arus sungai.

Maaf....

Tuan Muda's Reyes (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang