5. The Date Question

1.5K 241 7
                                    

So here I am. Untuk kedua kalinya aku berada di dalam mobil dengan William. Alright, tiga kali, walaupun yang pertama kali tidak pantas masuk ke dalam hitungan karena aku tidak sadar waktu itu. Kali ini dia mempergunakan mobil kantor, sebuah Mercedez sleek berwarna hitam, bendera organisasi tempatnya bekerja tertancap di depan mobil. Ini adalah acara yang cukup resmi, dan dia mewakili organisasi tempatnya bekerja.

Jalanan di kota Ouagadougou sangat lengang setelah lewat jam sepuluh malam. Mataku menatap lurus ke depan, belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami semenjak kami berada di mobil. Aku menangkap beberapa kali supir William melirik dari kaca spion, mungkin bertanya-tanya, perempuan mana yang diangkut oleh Bos-nya menggunakan mobil kantor dan memakai jas milik Bos-nya.

"Kamu suka tinggal di sini?" Suara William memecah kesunyian. Aku menoleh ke arahnya.

"It's ok. Jauh berbeda dengan Jenewa, atau bahkan Jakarta. Tapi ini adalah negara Afrika pertama yang aku tinggali, jadi aku cukup bersemangat."

Dia melirik sekilas ke arahku, senyum kecil tercipta di bibirnya.

¨Kamu sendiri? Sudah berapa lama tinggal di sini?¨ Pertanyaan klasik para expat, tetapi juga karena aku benar-benar ingin tahu sudah berapa lama dia tinggal di salah satu negara di bagian Afrika barat ini.

¨Ini tahun ke empatku.¨

Aku menoleh ke arahnya, tidak menyangka dia sudah cukup lama tinggal di negara kecil ini. ¨Wow, lumayan lama. Bakalan sampai kapan kamu tinggal di sini?¨

¨Biasanya, targetku sekitar tiga tahun, tinggal di suatu negara.¨ Jawabannya seperti mengambang, aku mengharapkan ada kelanjutan setelah itu.

¨And ...,¨ aku mendengar diriku memburunya, entah untuk apa. Jelas-jelas bukan urusanku dia tinggal di sini lebih dari tiga tahun atau bahkan kalau dia pindah besok pagi sekalipun. Tetapi seperti ada yang mengusik di sudut kepalaku.

Dia mengarahkan kedua matanya untuk menatapku. ¨All I can say is, I like this country. It's very challenging geographically and politically.¨

Aku mengerutkan kening. Dia tidak menjawab pertanyaanku, dan dia tahu bahwa aku tidak puas dengan jawabannya, terbukti dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Sekarang aku harus menata detak jantuk akibat senyum itu.

"Kamu? Pernah tinggal di negara lain di kontinen ini?"

"DR Congo. 2 years. Fascinating country."

Aku selalu ingin mengunjungi negara terbesar kedua di Afrika itu. "Itu ada di bucket list-ku. Pergi ke sana, walaupun setiap kali mendengar nama DR Congo, yang muncul di kepalaku adalah Blood Diamond."

Dia tertawa. "You will like it. The nature is incredible. Let's not forget it's the biggest country in Central Africa. Although, the traffic can give you a headache.¨

"Aku berasal dari Jakarta, macet sudah menjadi kebiasaan buat kami." Aku ingat pertama kali menjejakkan kaki di negara ini, komen dari para expat, terutama para bule yang berasal dari negara-negara civilized, bahwa kemacetan di kota ini selalu memusingkan. Bisa bikin stres setiap hari, lalu aku mengalaminya sendiri, dan meh ... try Jakarta my friend! Di mana kamu harus bermanuver diantara pengendara motor dan metromini. Good luck!

"I can say the traffic in Jakarta is like an organised chaos. In Kinshasa, it is just chaos."

"Kamu pernah ke Jakarta?"

Dia melirikku, melemparkan senyum. "Terlalu sering. Dulu. Ketika aku masih di Jenewa."

"Jadi kamu tahu Jakarta." Entah kenapa ada sesuatu yang menyenangkan merayap di diriku, dia tahu Jakarta. Memangnya kenapa kalau dia tahu Jakarta? Banyak orang bule yang tahu Jakarta.

"Yep. Dan sekarang, paling tidak aku tahu satu orang lagi dari jakarta."

Aku terkekeh kecil.

"Tidak ada orang yang menunggu kamu?" lanjutnya.

"Aku tinggal sendirian."

"Maksudku, bukan di sini." Dia mengambil jeda. "Di Jakarta atau Jenewa, tidak ada orang yang sedang menunggu kamu?"

"Noo," jawabku tidak pasti. Papa dan Mama menunggu aku, kalau itu masuk kategori.

Kami sampai di depan gedung apartemenku. Dia keluar setelah mesin mobil dimatikan, berjalan ke arahku untuk membuka pintu. Aku merasa sedikit tersanjung, lalu aku ingat bahwa begini perilaku orang-orang bule terhadap wanita. Membukakan pintu. Mencium tangan, I wish he will kiss my hand. Heh ... bangun Lina, jangan terus-terusan mimpi!

Aku berdiri agak kikuk di depannya. What should I say, thanks lalu cupika cupiki? Lalu aku teringat sesuatu. "Terimakasih, untuk ini." Aku melepaskan jas yang tadinya berada di tubuhku, mengulurkan ke arahnya.

"Anytime." Dia memakai jas itu kembali. Mungkin jas itu sekarang sudah bercampur dengan aroma parfum yang aku kenakan, bercampur dengan ... shoot, wangi sereh obat nyamuk! Aku ingin menepuk jidat. Romantic gesture yang dia berikan terbalaskan dengan aroma sereh. Sangat tidak ... romantis.

"Aku anterin kamu masuk."

Kami berjalan dalam diam, entah kenapa jantungku berdebar-debar hanya karena berjalan di samping pria ini. Apartemenku ada di lantai dua, dan tidak ada lift di gedung berlantai tiga ini, jalan satu-satunya adalah menaiki anak tangga, masalahnya kedua kakiku sudah hampir mogok masal, kalau bukan karena gengsi aku mungkin sudah mencopot sepatuku.

"Here I am," kataku, ketika kami sudah berada di depan pintu apartemenku.

"Yep."

"Thanks, sudah nganterin aku pulang. Lagi."

"My pleasure." Dia masih berdiri di tempatnya, tidak beranjak satu mili-pun. Mungkin saat ini aku harus cupika cupiki? "Alina ...."

Hanya orang ini yang memanggilku dengan nama Alina.

"Is it crazy if I ask you out?"

"What?" IQ-ku mendadak turun 20 poin.

"A date?"

"You and me?" Seperti ada orang lain saja di tempat ini.

"Yep."

Aku memandang ke arahnya lekat-lekat, ke killer brewoknya, juga mata zaitun yang mempunyai kemampuan menyihir itu. "No," jawabku cepat. "I mean, not crazy." Tidak ingin dia salah tangkap dengan responku.

"Is that a yes?"

Aku mengangguk. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, menciptakan senyum yang aku yakin akan menghiasi mimpiku malam ini.

"Saturday at 7?"

Aku menggigit bibir bawah. Hatiku membuncah, pria ini mengajakku berkencan. William Van Harley dengan killer brewoknya mengajakku berkencan! Aku ingin melompat girang saat ini juga, tapi decency berhasil menahanku. "Oke."

Malam itu aku tertidur dan tidak sabar menantikan datangnya hari sabtu.

RESTRAINTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang