Aku menyendokkan sup ayam, ke dalam mangkuk, mengisi piring dengan nasi lalu membawa ke tempat dia duduk sebelumnya. Dia masih berdiri di sana, menatapku tanpa kata.
"Aku tidak apa-apa," ucapku. "Melihatmu di sini, membuat hal yang terjadi di sana kadang melintas di kepalaku. Dan itu ... membuatku takut."
Dia berjalan ke arahku, tangannya bergerak untuk meraihku, menghentikan niatnya ketika melihatku sedikit mengejang.
Aku membalikkan badan, berdiri menghadapinya. "Aku ingin membuat garis yang jelas, sebelum ada diantara kita yang terjebak dan menerjang batas. Kamu adalah suami sahabatku, dan aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam kehidupan kalian. Dalam kehidupan rumah tangga siapapun."
Dia menarik napas. Aku tidak tahu apa maksud kedatangannya ke sini, tetapi satu hal yang jelas, kami berdua sedang bermain api. Aku tidak ingin salah satu atau kami semua hangus terbakar karenanya.
Dia berjalan ke arah kursinya untuk duduk. "Seharusnya aku mencarimu."
"William," sergahku.
"Aku menghabiskan lebih dari dua tahun untuk terapi." Ada jeda beberapa saat sebelum dia melanjutkan kalimatnya. "Ketika akhirnya aku bisa kembali lagi, aku terlalu takut untuk menengok ke masa lalu."
"Kamu sudah mengatakannya tempo hari," kataku lirih. Ada nyeri muncul seiring dengan pertanyaan 'what if', seandainya dia mencariku.
"I am sorry, Alina. That place, the war, it made me really broken. When I manage to get up, I want to get away from that broken man. I guess, I am too coward."
¨William, yang kamu alami disana ... besar, bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkannya. It's beyond big. And it's not coward, it's a survival. Untuk kamu, supaya terus bisa hidup.¨
"It's ok. Kamu ada di sini sekarang, itu lebih penting." Aku memaksakan seulas senyum. Melihatnya masih berdiri tegak lebih penting dari keberadaanku di hidupnya. Aku menggaris bawahi fakta ini untuk diriku sendiri. Dia selamat, itu yang terpenting, bukan yang lain-lain. "Kamu langsung ke sini, begitu kembali bekerja?" Aku belum pernah bertanya ke Cami sudah berapa lama dia tinggal di Indonesia.
"Sedikit lebih dari satu tahun. Aku kembali ke Jenewa sebelum ke sini."
"Dan kamu bertemu dengan Cami di sana?" Sesuatu yang menyakitkan untuk aku tanyakan, tetapi tetap keluar dari mulutku. Kedua matanya menggenggamku, mengucapkan permintaan maaf tanpa terucap.
"Ya," jawabnya pendek.
"Sewaktu, kamu memilih untuk bekerja di sini. Apa ... terlintas bahwa kemungkinan kamu akan bertemu dengan aku?"
"Ya. Aku tidak bohong. Itu hampir membuatku untuk menolaknya. Aku sudah menikah, aku hampir bisa mengetahui apa yang akan terjadi kalau kita bertemu lagi. Lalu aku berpikir, ini negara dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa. Aku tidak tahu kamu berada di mana. Seberapa besar kemungkinan untuk bertemu dengan kamu, lagipula ... Cami sangat bersemangat untuk tinggal di negara ini."
¨Hampir bisa mengetahui?¨ Aku mendengar diriku sendiri memburunya tanpa sadar, dia memandang ke arahku.
¨Kamu bukan hanya sekedar sosok yang lewat dihidupku,¨ katanya lirih.
And yet, you didn't look for me.
¨Kenapa mereka selalu bilang tidak tahu keberadaanmu? Organisasi mu, kedutaan Inggris?¨
¨My family wants to keep it a secret. I guess I already too much to handle, back then.¨ Dia tertawa getir. ¨Mereka fokus untuk mengembalikan aku, tidak ingin konsentrasi pecah dengan perhatian orang-orang ketika mereka tahu aku selamat.¨
KAMU SEDANG MEMBACA
RESTRAINT
RomanceLove is a passion. Obsession. One can't live without. "I love you," ucapku. Karena mungkin aku tidak akan mempunyai sisa hari untuk mengatakannya. Karena mungkin besok, atau bahkan satu jam nanti tidak akan pernah terjadi, karena mungkin nyawa yang...