28. Fucked Up

1.4K 245 26
                                    

Aku berjalan cepat, lebih tepatnya berlari kecil menuju apartemen. Keluar kantor lebih awal dari biasanya. William akan menunggu di lobi, atau mungkin sedang menungguku saat ini juga. Ada senyum yang meronta ingin keluar dari bibirku tetapi aku tahan. Sepertinya tidak akan pantas mengeluarkan senyum untuk hal seperti ini, bahkan walau senyum itu aku tujukan untuk diri sendiri.

Beberapa meter dari gedung apartemen, aku melihat William yang berjalan dari arah lain. Dia melambaikan tangan begitu melihatku, berdiri menunggu di depan pintu masuk.

"Kamu, dari mana? Kok jalan kaki?" tanyaku, begitu sampai di depannya.

"Aku turun di gedung sebelah." Kepalanya menunjuk ke gedung perkantoran yang terletak di sebelah apartemenku. "Nggak mau supir mikir yang tidak-tidak kalau aku berhenti di sini."

Sakit.

Faktanya aku adalah seseorang yang harus disembunyikan dari dunia luar. Hubungan kami, entah apapun namanya itu saat ini, tidak boleh diketahui oleh khalayak ramai. Karena di depan orang-orang dia adalah suami Cami, dan aku ... orang lain tidak perlu tahu siapa aku.

"Mau makan di luar?" tanyanya.

"Jangan gila," sahutku. "Kita pulang ke rumah."

"Rumah," katanya lirih, seperti ditujukan ke diri sendiri. Aku menyesali pemilihan kataku.

Dia mengambil tas laptop dari tanganku, lalu kami berjalan berdampingan. Di bawah kerlip lampu malam Jakarta, betapa menyenangkan seandainya kami berdua adalah orang-orang bebas, salah satu dari kami bukan orang yang terikat oleh lembaga bernama perkawinan, maka kami bisa bergandengan tangan, tersenyum bersama, mungkin aku akan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Tetapi kami adalah dua orang yang bahkan tidak boleh diketahui oleh dunia luar, betapapun besarnya rasa yang aku punya ke lelaki jangkung yang sekarang berjalan di sisiku. Dan juga dia, dia adalah milik orang lain, yang telah disahkan oleh lembaga negara dan agama. Institusi yang lebih nyata dibandingkan dengan sebatas rasa.

Aku menghempaskan badan ke sofa setelah kami berdua selesai menandaskan makan malam, mengurut betis yang lumayan pegal akibat heels yang aku kenakan seharian.

"Give me your feet," kata William. Dia duduk di sisiku, aku memandangnya, tidak begitu tahu apa yang dia maksud. "Taruh kakimu di sini – dia menunjuk pahanya – aku bisa pijitin kaki kamu."

Aku tidak yakin dengan apa yang akan aku lakukan, tetapi perlahan-lahan aku menempatkan kakiku di pahanya. Satu. Dan kemudian yang kedua.

Dia membuka sepatuku satu persatu. "I am not sure how comfortable these are, but you are definitely look great on these." Jemarinya mulai memijat telapak kakiku, memberikan sensasi nyaman ke kedua bagian tubuh yang sudah menyanggaku seharian. Pandanganku tertuju ke tangannya yang sedang bekerja, lalu beralih ke wajahnya. Does he do this to his wife? Sepercik rasa cemburu muncul, istrinya lebih pantas untuk mendapatkan perlakuan seperti ini. Aku menarik kakiku tetapi kedua tangannya menahannya. "Sshh ... just relax. Tell me if it is too strong."

Seulas senyum muncul di bibirnya, membuatku berhenti untuk keras kepala. Membiarkan jemarinya memanjakan kedua kakiku. Membiarkan rasa egois mengambil alih kepalaku, saat ini hanya ada dia dan aku. Bukan William, lelaki yang sudah beristri. Aku tidak ingin mengambilnya, tetapi aku akan membiarkan diriku untuk menikmati saat ini. Hanya saat ini saja.

"Aku baru sadar. Kita belum begitu mengenal satu dengan yang lain, sewaktu di Burkina Faso."

"What do you want to know?"

What do I want to know? Lagipula, untuk apa aku tahu? Will he be my friend? Aku tidak yakin akan bisa menerima dia hanya sebatas teman, lalu untuk apa aku tahu tentang dia? "I don't know." Aku mengedikkan bahu.

RESTRAINTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang