20. The Story

1.3K 244 20
                                    

William melangkah, lalu duduk di ujung sofa yang juga aku duduki. Untuk sesaat dia tidak berkata apa-apa, kedua matanya menatap gelas air di tangannya.

"Aku ... minta maaf." Dia membuka suara, kedua matanya kini menggenggamku. Rasa yang sudah lama tertidur di dalam diriku perlahan-lahan bangkit, ketika dua mata zaitun itu menatapku. Begitu dekat, sarat dengan emosi yang tidak pernah pergi dari ingatanku. Seolah sorot itu hanya ditujukan untukku, milikku seorang.

"Untuk apa?" balasku tercekat.

Dia menarik napas lirik, kedua matanya masih menggenggamku. "Karena, aku tidak mencarimu."

Lirik lagu Tracy Chapman tiba-tiba melintas di kepalaku. Lagu yang selalu menjadi memori manis tentang kebersamaan kami kini terasa menusuk.

... Sorry
Is all that you can't say
Years gone by and still
Words don't come easily

Tiba-tiba aku marah. Sangat marah. "Aku mencarimu selama dua tahun. Tidak pernah berhenti. Selama dua tahun! Dan selama lima tahun ini aku berkabung. Karena aku pikir kamu sudah mati. Di sana. Sendiri! Aku bahkan hampir tidak bisa memaafkan diriku karena meninggalkanmu di sana sendirian."

Dia bergerak untuk beringsut ke arahku, terhenti ketika aku mundur, merapatkan diriku ke sisi sofa yang sudah tidak beruang. Untuk sesaat dia terdiam, hanya kedua matanya yang tidak lepas dari diriku.

"Aku ... tahu kamu selamat. Itu hal pertama yang aku tanyakan ketika mereka mengevakuasi-ku."

Dia tahu aku selamat? Amarahku menggumpal ke titik tertinggi. "Kamu tahu aku selamat dan kamu tidak pernah berkeinginan untuk mencariku. Apa aku sebegitu tidak berartinya buat kamu? Yang pernah terjadi di antara kita, itu hanya sekedar jalan yang kamu lintasi?!"

"Alina ...."

Dadaku naik turun. Kali ini bukan karena rasa panik yang aku kenal, tetapi karena terjangan gelombang amarah.

Kedua matanya kembali ke gelas di tangannya, dia seperti menimbang-nimbang apa yang hendak dia katakan berikutnya, lalu dua bola zaitun itu kembali ke arahku. "Mereka menangkapku. Dua bulan aku berada di sana. Di dalam sekapan, dan selama masa itu aku melihat kemanusiaan yang hancur, luluh lantak oleh perang."

Dia menarik napas, memejamkan matanya sesaat, lalu menghembuskan napasnya yang bergetar. "Setiap hari," dia kembali mengambil jeda. "Aku menyaksikan hal-hal yang tidak seharusnya terjadi, tidak seharusnya disaksikan oleh manusia manapun, tidak seharusnya dilakukan oleh siapapun terhadap manusia lain.¨ Aku bisa mendengar tarikan napasnya yang bergetar. ¨Membunuh, memperkosa, sudah seperti hal lumrah. Dan aku ada di sana, setiap hari, mendengar jeritan manusia seolah-olah itu adalah hal yang wajar. Apa yang aku lihat, aku dengar, tidak ingin membuatku untuk ingin hidup lagi. Tapi setiap wajahmu melintas, di sana, di tempat yang mungkin layak disebut dengan neraka, aku ingin bertahan, untuk mengetahui bahwa kamu selamat. Kamu masih hidup. Itu yang membuatku bertahan."

Aku bisa merasakan pelupuk mataku memanas. Aku tidak tahu bahwa dia selamat, dan aku tidak tahu apa yang dia alami ketika dia ada di sana. Mendengar ceritanya membuat bulu kudukku berdiri, mungkin aku tidak akan berani hidup lagi ketika aku berada di posisinya.

¨Did they ...,¨

¨No.¨ Dia menggeleng cepat. ¨Fakta bahwa aku adalah orang Eropa dan kepala organisasi dunia membuat mereka membiarkanku, walaupun, kalau boleh jujur, mungkin mati adalah pilihan yang lebih baik.¨

"Aku mencari informasi tentang dirimu, begitu aku berhasil dievakuasi," lanjutnya. "Kamu ... keselamatanmu, seperti seutas tali tipis yang membuatku berada di atas. Setelah aku tahu kamu selamat, aku membiarkan diriku melepaskan tali itu. Terjun bebas, karena ... aku tidak tahu bagaimana caranya untuk melanjutkan hidup lagi.¨

Selaput bening membayangi kedua mata zaitunnya. ¨I just need to know that you are safe.¨

"William," tubuhku sedikit beringsut ke arahnya, tanganku ingin menggapai dirinya namun aku tahan. "Maafkan aku. Aku ... tidak tahu."

Bibirnya mengulaskan senyum lemah. "Aku yang seharusnya minta maaf. Aku tidak menepati janjiku untuk membawamu keluar dari sana."

"Aku selamat." Aku terdiam sejenak. ¨Kamu ... tidak mencariku.¨

Dia terdiam, meletakkan gelas diatas meja. Untuk beberapa saat dia masih terdiam, lalu dia menemukanku kembali. ¨Apa yang terjadi disana, seperti sebuah monster. Monster yang bisa menarikku kembali tenggelam setiap saat. Membutuhkan waktu cukup lama bagiku untuk bangkit, tetapi aku masih sangat takut. Takut aku akan kembali jatuh, itu sebabnya aku tidak menoleh lagi, karena aku takut ketika aku melihat ke belakang, aku tidak akan bisa kembali menatap kedepan.¨

¨Dan aku, adalah orang di bagian belakang.¨ Aku menelan ludah.

¨I am sorry,¨ katanya lirih.

Kami sama-sama terdiam.

¨Kadang-kadang, aku masih suka bermimpi buruk. Tentang tempat itu.¨

Aku menatapnya, tahu persis apa yang dia maksud. ¨Aku juga. Tidak sesering dua tahun pertama, tapi mimpi buruk masih kadang datang. Terutama ...,¨ aku tidak meneruskan ucapanku.

Dia melihat ke arahku.

¨Terutama ketika kamu roboh.¨

Kedua matanya menggenggamku, selaput bening masih ada di sana. Dia menarik napas berat. "Aku tertembak. Dua kali." Dia membuka kancing kemejanya, meloloskannya begitu semuanya terbuka dan menunjukkan punggungnya ke arahku. "Yang di bagian bawah hanya beberapa mili meleset dari jantungku."

Mataku berjalan mengamati dua buah luka bundar di punggungnya, apa yang sudah dialami, membuang semua rasa marah yang sebelumnya bercokol di dadaku. Bulir air mata turun, seandainya aku bisa menghapus semua itu, sehingga dia tidak perlu menanggung luka akibat perang selama hidupnya. Tanpa sadar tanganku terangkat, menelusuri kedua luka di punggungnya. Sekilas dia berjengit ketika jemariku menyentuh kulitnya, lalu dia menghembuskan napas, seperti membuang beban yang sebelumnya berada di pundaknya.

Perlahan-lahan dia memutar kepala, menghadapku, wajahnya begitu dekat dengan diriku. Aku membalas tatap dua mata zaitun itu, ingin menumpahkan rindu yang sudah kutanggung bertahun-tahun. Dia menurunkan wajahnya, memperpendek jarak yang tidak seberapa besar di antara kami. Aku bisa merasakan pancaran hangatnya memenuhi wajahku, bibirnya. Aku ingin meraihnya, sekali ini saja. Aku ingin merasakan apa yang pernah kami punya, dia berlama-lama di sana, ingin meraih sesuatu yang sama dengan diriku. Kali ini saja, pintaku dalam hati. Tiba-tiba dia menarik diri, mencabut tubuh yang sebelumnya sangat dekat denganku. Berdiri, melangkah ke seberang ruangan.

Aku menciut, beringsut kembali ke sisi sofa.

"Fuck!" Berjalan mondar-mandir dan mengusap dagunya dengan kasar, lalu matanya kembali menatapku. Menggenggamku selama beberapa saat, berjalan dengan tergesa untuk mengambil kemeja yang teronggok di sofa. Memakainya dengan serampangan, lalu berjalan menuju pintu keluar.

Dia berhenti sejenak ketika tangannya sudah berada di pegangan pintu, tanpa menoleh ke arahku. Lalu melangkah pergi, meninggalkan suara debam yang membuatku terlonjak ketika pintu tertutup.

Hatiku mencelos. Begini rasanya ketika kamu tidak diinginkan.

RESTRAINTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang