9. Perbuatan Macam-Macam

1.6K 232 4
                                    

Aku mendongak ke arahnya. Aku belum pernah berada dalam situasi kritis. Sewaktu peristiwa 98 di Jakarta, aku masih berusia tiga tahun, tidak ada satu hal pun yang aku ingat dari peristiwa berdarah di Jakarta tersebut. Lalu aku menghabiskan dua tahun terakhir di Jenewa, salah satu kota yang paling beradab di dunia. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi saat-saat kritis.

William seperti mengerti apa isi kepalaku. "Kamu bisa keluar dari sini kalau kamu mau, untuk sementara kembali ke Jenewa. Aku yakin Patric akan mengerti."

Aku menggeleng. Aku mempunyai proyek besar di sini, aku tidak akan meninggalkannya begitu saja. "Pekerjaanku di sini."

"Baby, kamu bisa bekerja di mana saja. Proyekmu untuk Afrika, bukan hanya untuk Burkina Faso. Kamu bisa menanganinya bahkan dari Jenewa."

Aku masih menatapnya. Dia ada di sini. William ada di sini, aku tahu dia akan menjagaku. "Aku nggak akan ke mana-mana," kataku tegas.

Dia mempererat pelukannya sebelum melepaskanku, kembali menghampiri ransel merahku. "Kamu bawa ... apa itu namanya? Sesuatu yang kamu perlukan setiap bulan?"

Aku tidak mengerti ucapannya. "Apa?"

Dia berbalik menghadapku. "You have that ... period, every month. You have the thing?"

Pipiku memanas, aku tidak siap membicarakan even bulananku ke pria ini, walaupun mulai hari ini kami akan tinggal satu atap. Kami akan tinggal satu atap! Aku menggelengkan kepala samar, jangan sampai kedua orang tuaku tahu.

¨What?¨ tanyanya.

Aku berjalan ke arah koper yang aku bawa. ¨Kalau orang tuaku tahu, tentang - aku melambaikan tangan - ini. Bisa-bisa mereka akan mengurungku di rumah selama satu tahun kedepan.¨ Tanganku bergerak untuk membuka koper, lalu menarik satu kotak tampon. William mengulurkan tangannya untuk mengambil benda itu, aku menyembunyikannya kebalik punggung.

"Aku bisa memasukkannya sendiri." Dia tidak perlu tahu brand apa yang aku pakai, atau bagaimana bentuknya benda itu. Oh God.

¨Jadi ... kamu. Maksudku, orang tua kamu ... konservatif?¨ Aku melirik ke arahnya. Mendadak ruangan ini jadi terasa lebih panas, mungkin seharusnya AC dinyalakan. Aku menjawab pertanyaannya dengan hhmm, tidak menghiraukan kedua matanya yang mengikuti setiap gerakan yang aku buat.

Kedua orang tuaku dari Solo, priyayi, mereka berdua tidak menginginkan aku melakukan hal macam-macam sebelum menikah. Aku sendiri? Sampai sekarang aku masih belum menginginkan untuk berbuat yang namanya 'macam-macam' itu. Tapi sekarang aku berkencan dengan William. Bule. Di mana berbuat 'macam-macam' selama pacaran adalah hal lumrah bagi mereka, ya Tuhan ... gimana kalau nanti dia menginginkan hal macam-macam?

Aku melirik ke arahnya, masih dengan pipi merona. "Kamu ... sangat terampil, menyiapkan tas emergency." Aku membutuhkan pengalihan terhadap isu 'macam-macam' yang mulai terbentuk di kepalaku.

"I've lived in several potential conflict countries before. I am trained for this." Dia mengambil sneakers milikku dari dalam koper, meletakkannya ke dalam ransel. "Kamu pakai ini dalam keadaan darurat. Bukan itu." Dia menunjuk ke heels yang aku kenakan.

"Siap, Pak Bos.¨ Aku terdiam sejenak, ada hal penting yang belum aku ketahui saat ini. ¨Aku, nanti ... tidur, di mana?¨

Dia memandangku, lalu matanya sekilas tertuju ke arah ruangan tidurnya yang tersambung dengan ruangan ini. ¨Nope. Not a chance!¨ sergahku, bahkan sebelum dia mengatakan apapun. Bibirnya mengeluarkan tawa renyah.

¨Aku punya dua kamar tidur tamu di ruangan atas. Salah satunya sudah siap dengan sprei dan selimut yang baru diganti hari ini. Kamu bisa menguncinya kalau kamu tidak percaya ke aku.¨

RESTRAINTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang