Kami sampai di apartemen. Andre memarkir mobilnya di spot yang sama seperti pertama kali dia mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak diam. Tidak terlalu ingin berbicara, kepalaku dipenuhi oleh William, wajahnya yang terluka ketika aku mengatakan bahwa aku dan Andre berkencan.
"Thank you," kataku ke Andre. "Tidak berakhir seperti yang aku inginkan, tapi paling tidak kamu menyelamatkan aku untuk tidak menonton Bridget Jones, lagi."
Andre tersenyum mendengar leluconku yang mungkin terdengar tidak lucu. "Are you ok?" Pertanyaan yang sudah dia lontarkan entah keberapa kalinya.
"Aku baik-baik saja, Andre. Aku sudah besar."
Dia meneliti wajahku, tidak yakin dengan jawaban yang baru saja terucap dari mulutku. "Kamu ... mau aku temani ke atas?"
"Andre. Aku baik-baik saja, serius. Aku nggak akan minum obat nyamuk atau apa setelah sampai di atas."
"Lina, that's not funny!"
Mau tidak mau aku tersenyum menanggapi reaksi Andre, he's genuinely concern. "I am, ok," ulangku. Aku meraih tangannya, untuk memastikan bahwa aku bersungguh-sungguh. Dia memandang tanganku yang berada di atas tangannya, lalu kedua matanya menemukan wajahku kembali. Ada semburat khawatir di sorot matanya, dan juga emosi lain yang tidak terbaca olehku. Cara dia meneliti wajahku membuat ide gila muncul di kepalaku. Mungkin setelah ini, aku akan tahu apa yang harus aku lakukan kedepannya.
Aku mendekatkan wajahku, kedua mataku meneliti wajah tampan miliknya, lalu ke bibirnya. Dia seperti tahu apa yang hendak aku lakukan, aku bisa melihatnya menahan napas sejenak, lalu perlahan-lahan bibir kami bertemu. Berawal dari kecupan, lalu aku mengusap bibirnya perlahan, sebelum menariknya, membiarkan diriku hanya berjarak beberapa mili darinya.
"Lina," bisiknya.
"Hem."
"You kissed me."
"I did," bisikku. Biasanya wanita yang akan menunggu untuk dicium oleh seorang pria, kali ini aku yang mendahuluinya.
Wajah kami masih berada sangat dekat, kedua matanya masih meneliti bibirku yang beberapa detik lalu beradu dengan bibirnya, lalu dia meraih bibirku kembali, kali ini bertautan lebih lama dari sebelumnya. Aku memejamkan mata, mencoba menikmati apa yang terjadi diantara kami, tetapi ini terasa salah. Sangat salah. Aku menarik diriku.
"I am sorry," kataku. Aku bisa melihat raut kecewa di wajahnya, walaupun sejenak kemudian dia berhasil menyembunyikannya, menggantinya dengan raut normal.
"I really like you," katanya.
"I like you too. But ... I am not ready." Sejujurnya, aku tidak tahu apakah aku akan pernah mampu. Berhubungan lagi dengan laki-laki.
"Aku mengerti."
"You are a good guy, Andre. Please don't waste your time on me."
"Why does it sound like a rejection?"
Aku menarik napas. "Andre, aku tidak ingin kamu menghabiskan energimu menyiram sesuatu yang tidak akan pernah berkembang."
"I'll take my chance."
Aku menyunggingkan senyum lemah, mengecup kedua pipinya sebelum membuka pintu mobil. I wish I am able to open myself to somebody else. Somebody like Andre, tetapi sepertinya pintu itu tertutup sangat rapat, terlalu rapat hingga aku sendiri tidak mampu untuk membukanya.
*
Aku terbangun dengan kepala berat. Bukan karena hangover, tetapi karena semalam aku tidak bisa tertidur. Bayangan William dan Andre datang silih berganti. Mungkin akan lebih gampang kalau aku menyerah, bersama Andre. Tetapi sepertinya itu tidak akan adil untuknya, memberikan sesuatu yang semu, sesuatu yang benar-benar tidak aku punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESTRAINT
RomanceLove is a passion. Obsession. One can't live without. "I love you," ucapku. Karena mungkin aku tidak akan mempunyai sisa hari untuk mengatakannya. Karena mungkin besok, atau bahkan satu jam nanti tidak akan pernah terjadi, karena mungkin nyawa yang...