So this is me now. Aku tidak bisa sepenuhnya mengatakan bahwa aku tercebur ke dalam keadaan ini, karena secara sadar aku melangkahkan kakiku ke lingkaran mereka. Teritori yang seharusnya hanya menjadi milik William dan Cami. Aku berada di sana, di tengahnya, tidak ingin menjadi badai dalam rumah tangga mereka, tetapi aku juga tidak mempunyai kuasa untuk menjauhkan diriku dari William.
I am doomed!
Ketukan di pintu mencabut perhatianku dari layar laptop, Cami berdiri di ambang pintu dengan dua cangkir di tangannya. "Selamat pagi!"
"Pagi," balasku. Aku menyandarkan punggung ke kursi.
"Coffee?" Cami mengulurkan salah satu cangkir ke arahku.
"Ini akan menjadi cangkir ketigaku, sebelum – mataku melirik ke sudut laptop – jam 10 pagi."
"Oh Sorry. Aku bisa mengambilnya lagi." Dia mengulurkan tangan hendak meraih cangkir dari tanganku, aku menariknya.
"Aku membutuhkannya. Meeting dengan para eksekutif nanti, sedari tadi mataku terpaku ke arah laptop. Aku membutuhkan kafein sekarang."
Cami tertawa ringan. "I envy you sometimes."
Aku mengerutkan kening.
"Iya. Kamu masih muda, brilliant, punya posisi bagus di perusahaan besar dan ... wajah kamu nggak kalah dengan model."
You don't want to be me, Cami. Aku melemparkan senyum lemah, menyeruput kopi di tanganku. "Kamu berlebihan."
"Aku serius. Kamu punya kemampuan yang, ketika kamu berjalan, cowok-cowok pasti menoleh ke arahmu. Termasuk CEO kita."
"Dia sudah punya istri, dan entah berapa simpanan yang dia punya."
"No no. Bukan itu maksudku, lagipula kamu terlalu berharga untuk menjadi seorang simpanan."
Jleb. Aku menelan ludah.
"Maksudku, aura kamu itu, bisa membuat cowok mana saja meleleh."
Aku tidak menginginkan cowok mana saja. Hanya ada satu laki-laki yang aku inginkan, dan dia tidak akan bisa aku miliki.
Cami meletakkan ponsel ke atas meja, tanpa sadar kedua mataku mengikutinya, menangkap fotonya bersama William yang menjadi background ponsel. Dadaku seperti terkena bogem mentah.
Cami menangkap mataku yang sejenak meneliti ponselnya. Dia mengambil benda itu kembali, menyodorkannya ke arahku. Aku memandangnya tidak mengerti.
"Kamu mengenali dia?"
Aku memandang ponsel itu, foto dia dengan suaminya. Tentu saja aku mengenalinya, wajah lelaki itu tidak pernah pergi dari kepalaku.
Di dalam foto itu, Cami tertawa lebar, sedangkan William memandang ke arahnya, kedua matanya tampak dipenuhi dengan cinta. Aku menelan ludah.
"Itu ... suami, kamu." Aku tidak berani mengucapkan namanya.
"Iya, kan? Kamu agak pangling. Lihat." Dia kembali menyodorkan gambar mereka berdua ke arahku. Aku ingin membuang muka, tidak ingin melihat foto mesra mereka berdua. Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain.
"Aku ... sedang melihatnya."
"Ada yang beda tidak menurutmu?"
Foto mereka berdua masih terpampang di depanku, membuat dadaku sesak. Aku memandang Cami, memohon untuk tidak lagi memamerkan kemesraan mereka ke diriku.
Aku menggeleng lemah.
"Dia sekarang mempunyai brewok." Dia kembali menyodorkan ponselnya, membuatku lagi-lagi terpaksa harus melihat ke arah foto mereka berdua. "Dia nggak pernah punya brewok, selalu bercukur rapi, dan nggak tau kenapa dia berhenti bercukur. And I like it!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RESTRAINT
RomanceLove is a passion. Obsession. One can't live without. "I love you," ucapku. Karena mungkin aku tidak akan mempunyai sisa hari untuk mengatakannya. Karena mungkin besok, atau bahkan satu jam nanti tidak akan pernah terjadi, karena mungkin nyawa yang...