8. Emergency

1.3K 252 15
                                    

Aku tidak membayangkan akan bertemu dengan seorang lelaki ketika berangkat ke negara ini, karena pacar memang tidak ada dalam daftar listku. Lalu datanglah Wiliam, lelaki yang membuatku tidak henti-hentinya untuk tersenyum. Kami berdua seperti dua keping puzzle yang disatukan. Pas. Sama. Mungkin aku sudah gila. Kami bertemu belum lama, tetapi aku seperti sudah mengenalnya jauh sebelum ini. Mungkin itu yang dinamakan cinta, semua mendadak seperti sama. Sehati. Aku belum mengatakannya. Cinta. Aku tidak mau menjadi orang yang tergesa-gesa, walaupun aku tahu rasa itu sekarang sedang tumbuh berkembang, seperti sekuntum mawar yang merekah di bawah siraman matahari.

Dari kencan kedua berlanjut ke yang ketiga. Hanya berselang satu hari. Aku menolak ketika William mengajakku nonton. Semua film yang tayang di negara ini di dubbing dalam bahasa Perancis. I don't know why? Mungkin mereka terlalu malas membaca subtitle, tetapi membayangkan Tom Cruise berbicara bukan dengan suaranya dalam bahasa Perancis membuatku kehilangan minat ke bioskop. Jadilah kami menikmati Ethiopian food di restoran Ethiopia tidak jauh dari rumah William. Sebelum ke sini, dia mengingatkanku tentang level kepedasan masakan Ethiopia.

¨I am an Indonesian, I can handle spicy.¨ Dia tidak tahu bahwa aku bisa menghabiskan tiga cabe hanya untuk teman sebuah tahu goreng.

Dari kencan ketiga berlanjut ke empat, dan tidak terasa sudah lebih dari dua bulan berlalu semenjak kencan pertama kami.

Ponsel yang aku aku letakkan di atas meja berdering. Nama William melonjak-lonjak di sana. Aku mengerutkan kening, dia belum pernah menelponku. Kami berkirim pesan, setiap hari, tetapi belum pernah saling menelpon.

"William?"

"Alina. Kamu di mana?"

"Di kantor." Di mana lagi memang seharusnya aku berada di jam 2 siang di hari jumat. Walaupun aku memilih berada di spa, tetapi ini adalah jam dan hari kerja, disamping itu, aku tidak yakin ada spa di kota ini.

"Jam berapa kamu nanti pulang?"

Aku mengerutkan kening. "Aku ... belum tahu. Masih banyak pekerjaan yang harus aku urus."

Aku mendengar tarikan nafas di ujung sana. "Jangan keluar kantor lebih dari jam 5. Pulang dan ambil beberapa barang yang kamu perlukan. Dokumen penting, paspor, semuanya taruh di backpack. Kamu punya backpack?"

Kepalaku berputar. Backpack. "Aku yakin aku punya, benda bernama backpack," jawabku tidak pasti. Aku mencoba mengingat-ingat di mana aku meletakkan tas ransel itu.

"Oke, taruh semua dokumen penting di sana. Kamu punya sepatu yang nyaman untuk dipakai?"

Aku memandangi heels warna nude yang tersemat di kakiku. "Sepatuku ... semuanya, nyaman." Bohong. Banyak dari mereka membuat kakiku menjerit-jerit, bahkan tidak jarang betisku ikut protes setelah seharian aku memakainya.

"Maksudku sneakers, Alina. Kamu punya?" Ada tawa di suaranya. Mungkin dia menganggap aku adalah cewek yang tidak tahu sneakers itu apa.

"Iyaa, aku punya sneakers."

"Bawa itu. Beberapa pasang baju untuk beberapa hari kedepan. Kamu pulang langsung menuju ke tempatku. Mulai hari ini kamu tinggal dengan aku." Nada suaranya tegas dan memerintah.

Apa? Aku tinggal dengan dia? Kami memang sudah menjadi pasangan lebih dari dua bulan, tetapi aku belum siap tinggal satu atap dengan laki-laki. Walaupun laki-laki itu bernama William. "What? Why?"

"Aku jelaskan nanti setelah kamu dirumah. Ingat, pulang paling lambat jam 5, ambil barang-barang penting dan langsung ke rumahku."

Aku masih terbengong memproses kata-kata William.

RESTRAINTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang