24. The Hard Part

1.3K 216 22
                                    

Aku mengguyur diriku sebentar di bawah kucuran air hangat, mengeringkan rambut dan mengenakan piyama, memandang pantulan diriku di dalam kaca. William sedang berada di luar, menungguku. Mengatur napas untuk menenangkan jantungku yang bertalu, lalu berjalan ke luar kamar.

"Jas kamu ... basah." Aku mengulurkan jasnya, bagian dalamnya kini sudah hampir basah kuyup. "Aku bisa mengirimnya ke laundry." Hari ini dia mengenakan 3 pieces suit, ada vest senada dengan warna jas yang dia pakai di atas kemejanya. Sialan, dia tampak begitu tampan. Sebersit cemburu muncul tanpa diundang, setengah mati aku menendangnya, sebuah usaha yang sia-sia.

Dia mengulaskan senyum, membuat hatiku sedikit berdesir. "Don't worry about that." Mengambil jas dari tanganku dan menyodorkan sebuah cangkir. "Aku membuatkan teh untukmu."

Sekarang dia mengerti dimana aku meletakkan teh. Aku memandangi cangkir yang terulur ke arahku, lalu meraihnya. Tanpa bisa kucegah ekor mataku berjalan ke arah jari manisnya, tidak ada cincin di sana.

William tahu apa yang aku lakukan, pandangannya tertuju ke jari manisnya sebelum kembali ke wajahku, menggenggamku sejenak. "You, ok?"

"Yah. Yah," jawabku tergagap. "Terimakasih untuk tehnya."

Aku berjalan menuju arah dapur, lalu teringat sesuatu. "We have a problem."

"What?" wajahnya berubah serius.

Aku membalikkan badan. "Pembantuku sudah dua hari ini tidak datang karena sakit. Jadi tidak ada yang memasak, menghasilkan tidak ada stok makanan di dalam kulkas."

Dia terdiam sebentar, lalu kedua bibirnya mulai bergerak diikuti oleh suara tawa renyah yang keluar dari sana. Tawa yang membuat hatiku terasa lebih ringan, tawa yang membuat ruangan ini seperti berpijar. "Dan, kamu bilang itu masalah?"

Aku mengerutkan kening. "Aku lapar. Aku yakin kamu juga pengen makan habis pulang kerja, ini lagi hujan, memesan makanan akan menjadi mission impossible di saat hujan seperti ini."

"Okee, aku bisa mengerti situasi yang sepertinya cukup kritis ini." Dia berjalan ke arah kulkas. "Allors, Mademoiselle Paramitha. Voyons ce qu'il y a à l'intérieur de votre réfrigérateur." (Baiklah, Nona Paramitha. Mari kita lihat apa yang ada di dalam kulkasmu.)

Aku mengikutinya, berdiri di sisi kulkas, dia meneliti isinya setelah membukanya. "Ada sekotak tomat yang cukup menjanjikan."

"Aku punya tomat sebanyak itu?" Aku tidak pernah ingat membeli tomat. Pasti pembantuku, karena dia yang selalu berbelanja ketika aku sedang berada di kantor. William melirikku lalu menggelengkan kepalanya samar, mungkin sedang berpikir betapa payahnya aku sebagai seorang wanita, bahkan tidak mengetahui isi kulkasnya sendiri.

"Pecorino cheese." Dia meletakkannya ke tanganku. Aku ingat membeli keju ini, tapi belum pernah memakainya, karena tidak mungkin aku memasangkan pecorino cheese dengan tumis kangkung.

Dia menutup kembali pintu kulkas. Lalu bergerak ke lemari dapur, membuka tutupnya satu persatu.

"Kamu nyari apa?" tanyaku.

"Do you happen to have pasta?"

Tanganku bergerak membuka laci di mana aku meletakkan makanan kering, mengeluarkan sekotak spaghetti. Sepertinya ini adalah sebab musabab aku membeli pecorino cheese. Aku membalikkan badan, hendak menunjukkan pasta itu ke arah William tetapi dia berdiri terlalu dekat denganku, wajahku terbentur ke dadanya ketika aku berbalik.

Aku terlonjak dan sedikit oleng, William meletakkan salah satu tangannya di belakang punggungku untuk menyangga tubuhku.

"Sorry," kataku. Kepalaku mendongak, menemukan kedua mata hijaunya sudah menungguku, membuat jantungku melesat menandingi kecepatan bullet train. Aku menarik diri, tidak ingin dia bisa mendengarkan dug dug dug yang keluar dari dadaku. "Ini ... pasta." Aku meletakkannya ke atas meja dapur seolah-olah benda itu adalah sesuatu yang memiliki radiasi berbahaya.

RESTRAINTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang