Aku tidak tahu pasti sudah lama kami berlari. Tetapi kami tidak berhenti dan saat ini kedua kakiku seperti sudah kehilangan daya untuk menyangga tubuhku. Aku mengambil si bayi dari gendongan sang Ibu yang juga terlihat sangat kepayahan, kami berada di pemukiman sangat padat, bukan tempat yang aku ketahui selama tinggal di Ouagadougou. Bukan rumah-rumah berbenteng tinggi yang sekarang kami lewati, tetapi kotak-kotak kecil beratapkan seng, saling merapat satu dengan yang lain, pemukiman yang kemungkinan menjadi rumah bagi 90% penduduk negara ini.
"Viens viens (ke sini-ke sini)." Seorang lelaki muncul dari salah satu rumah, kedua tangannya melambai-lambai dengan panik, meminta kami mengikutinya. Sepertinya kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami semua berlari ke arah laki-laki itu, masuk ke dalam rumah. Aku tidak tahu apa yang akan menunggu kami, tetapi sepertinya berlindung lebih baik daripada kami berada di area terbuka.
Dia membuka lantai kayu yang berada di sudut ruangan, tersamarkan dengan tumpukan karton di sekelilingnya, di bawahnya ternyata adalah sebuah ruangan bawah tanah. Aku meminta si Ibu masuk terlebih dahulu, menurunkan bayinya setelah dia berada di sana, lalu William menurunkan si anak. Susul menyusul kami masuk ke dalam ruangan dengan lebar mungkin hanya berukuran 2x2 meter. Rombongan yang sebelumnya banyak telah menciut, menyisakan aku dan William, si Ibu dengan dua anaknya serta dua orang laki-laki.
Aku mengatur napasku yang tinggal satu-satu, teramat ingin menyelonjorkan kaki tetapi ruangan ini terlalu sempit. Tanpa aku sadari tubuhku menggigil, aku memeluk kedua lutut, berharap ini akan bisa menenangkan diriku. William meraihku, memelukku erat, remasan tangannya di lenganku berhasil membawa sedikit ketenangan.
Dia mengeluarkan botol minum dari dalam tas, membuka tutupnya lalu menyerahkannya kepadaku.
Baru beberapa teguk aku melihat mata si anak kecil memandang botol di tanganku dengan tatapan memohon. Aku mengulurkan ke arahnya, mereka lebih membutuhkan daripada aku. Aku menurunkan ransel dari punggung, membukanya untuk mengambil dua buah energi bar lalu menyerahkannya ke si Ibu.
"Merci, Madam," kata si Ibu.
William selesai menyesap beberapa teguk air dari botol air minum dan mengulurkannya ke kedua laki-laki yang bersama kami.
"Biar aku lihat kaki kamu," kata William. Dia meraih kakiku, membuka temali sepatuku, baru sekarang aku merasakan nyeri yang menggedor-gedor dari sana. Ternyata kakiku berdarah, bukan hanya lecet, kaos kaki yang aku kenakan dipenuhi titik-titik berwarna merah. Nyeri dan panas baru aku rasakan ketika aku melihat sendiri bentuk kakiku sekarang.
Dia mengambil botol kecil yang berisi alkohol dari dalam tasnya. "Ini akan sedikit menyengat." Menyemprotkannya ke kedua kakiku. Aku tidak menjerit seperti ketika dia menyemprotkan cairan alkohol ke tanganku waktu itu, karena tenagaku hampir sudah hilang bahkan untuk sekedar mengeluarkan suara.
William mengambil kain kasa, memerban kakiku, lalu segera memasangkan kembali sepatuku.
"Bagaimana dengan kamu?" tanyaku.
"I am good."
Wajahnya tampak tenang, ada seulas emosi khawatir di sana, tetapi masih tampak tenang. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa setenang ini dalam keadaan kacau balau seperti ini.
Mataku menyapu ruangan kecil bawah tanah ini, terdapat sebuah celah kecil seperti jendela di atasku. Aku berdiri, mengintip ke arah luar, ingin mengetahui apa yang terjadi di sana, tetapi mataku hanya disuguhi dengan gelap, tidak ada lampu, tidak ada sesuatupun yang bergerak.
William bertanya dengan tatapan matanya, aku jawab dengan gelengan kepala. ¨Di luar terlalu gelap untuk melihat sesuatu.¨
Dia meraih tanganku setelah aku kembali duduk di sampingnya. ¨Kita istirahat dulu di sini, sambil mencari rute aman untuk menuju bandara.¨
KAMU SEDANG MEMBACA
RESTRAINT
RomantizmLove is a passion. Obsession. One can't live without. "I love you," ucapku. Karena mungkin aku tidak akan mempunyai sisa hari untuk mengatakannya. Karena mungkin besok, atau bahkan satu jam nanti tidak akan pernah terjadi, karena mungkin nyawa yang...