35. Opening Up

1.2K 245 13
                                    

Aku tidak begitu banyak berbicara ketika Andre mengantar pulang. Setelah konfrontasi dengan William, aku lebih banyak diam. Kami berempat masih berinteraksi, ditambah beberapa orang lain rekan William dan Andre, tetapi aku lebih irit berbicara. Dari sudut mata aku bisa melihat William yang selalu memperhatikanku, aku berusaha mengacuhkannya.

Andre memarkir mobilnya di spot kosong tidak jauh dari lobi apartemen.

"Here we are?" katanya, setelah menarik tuas rem tangan.

Aku menoleh ke arahnya, mengulaskan sebuah senyum. "Yes."

"I hope you had a good time."

"I had a good time, thank you. And not too much champagne."

Dia merubah posisi badannya untuk menghadapku. "Will you invite me up?"

Aku tersenyum. "No."

"I thought so." Dia terdiam sejenak, lalu kedua matanya kembali ke wajahku. "Can I give you a kiss?"

"On the cheeks, not on the lips."

Dia terkekeh. "Will I ... someday get to kiss you on the lips?"

Aku memiringkan kepala. "You have to work for that, Mister Dashing."

"Fair enough." Andre mengecup kedua pipiku, aku membisikkan kata thank you lalu tanganku beralih ke handle untuk membuka pintu.

"Is there ... something going on between you and William?"

Tanganku membeku di handle pintu. Bagaimana dia tahu? Aku menoleh ke arah Andre.

"Aku tidak berniat untuk turut campur, tetapi aku tidak bodoh. Aku bisa melihat kalian yang bertingkah sangat ... aneh."

Perlahan aku kembali duduk di posisi semula. "Aku dan William. Apapun yang pernah terjadi ... sudah selesai," kataku lirih, kedua mataku menatap ke arah Andre.

"Aku harap begitu." Dia memberikan jeda. "William sudah menikah, dan kamu tidak terlihat seperti ...," dia tidak meneruskan ucapannya.

Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak ingin menjadi perebut suami orang. Tetapi semua hanya terhenti di kepalaku, aku hanya berhasil menggeleng lemah.

"Dia sangat mencintai istrinya. William. Aku pikir, dia bukan tipe yang akan menghianati istrinya."

Aku bisa melihatnya, ketika mereka berdua, mereka memang pasangan yang sangat serasi, seperti they made for each other.

"How well do you know him?"

Dia menarik napas, melepaskan tangannya dari kemudi setir. "Semenjak di Jenewa. Aku berinteraksi dengan dia ketika kami berdua menggarap proyek yang sama. Smart guy, dan sangat menyenangkan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk kami berdua menjadi akrab. Aku tahu saat mereka mulai dating."

"Oke."

Dia memiringkan kepalanya, seperti tidak puas dengan responku.

"Oke?"

"Yah ... oke."

"Dugaanku, kamu mengenal dia dari Cami?"

Aku memberikan senyum samar, tidak menjawab pertanyaannya.

"Kamu mengenal dia sebelum ini? Di mana? Di Jenewa? Tidak mungkin, aku bahkan tahu persis ketika dia bertemu dengan Cami."

"Sudah malam. Aku harus naik ke atas."

"Lina." Suaranya mencegahku. "Kamu kenal William sebelum ini?"

Aku terdiam, tidak merespon perkataannya.

"Tunggu. Aku pernah mendengar rumor William berada di Burkina Faso, ketika perang sipil meletus. Kamu tidak ... kalian ...,"

Aku memandang Andre, memberikan senyum lemah ke arahnya walaupun tidak ada yang terucap dari bibirku.

"Noo waaay ...,"

Sepertinya diamku menjawab pertanyaan Andre.

"Kalian bertemu di sana?"

Aku mengangguk samar.

"Were you there during the civil war?"

Aku menarik napas, kembali duduk di posisi semula. "Kami sedang berusaha menuju ke bandara, untuk evakuasi. Situasi berbah kacau dengan sangat cepat. Kami harus turun dari mobil, karena jalanan terblokir di mana-mana, lalu bersama ratusan orang-orang lokal, kami ikut berlari menyelamatkan diri. Seorang pria lokal menyelamatkan kami, menampung kami beserta lima orang lainnya, ibu dan 2 anak-anak, kami bersembunyi di basement kecil miliknya. Kami berada di sana mungkin 24 jam, aku tidak tahu. Ketika hari sudah gelap, William memutuskan untuk kembali mencoba, menuju bandara. Di tengah perjalanan kami dikejar, lalu – aku menarik napas, mencoba menenangkan detak jantungku yang memburu. Aku memejamkan mata sejenak, kejadian itu kembali berputar di kepalaku – William tertembak. Aku masih ingat wajahnya yang memohonku untuk berlari sebelum dia roboh. Aku tidak pernah mendengar tentang dia lagi setelah itu."

"Aku mencarinya selama dua tahun, tidak membuahkan hasil. Lalu aku menerima kenyataan bahwa dia sudah meninggal. Aku tidak akan melihatnya lagi. Sampai hari itu, ketika aku sedang makan malam dengan Cami. Dia datang untuk bertemu istrinya."

Tanpa aku sadari kedua pipiku sudah basah. Andre mengeluarkan sapu tangan dan mengulurkannya kepadaku.

"Lina. I am so sorry."

"Some people say that love is passion. Obsession. Many that can't live without. I love him. Even though I thought he was dead. I keep that love alive with me, within me. And now I can't love him anymore. I am living, but without a life."

Seperti sebuah keran, aku membuka diriku, saat ini, ke lelaki yang belum lama aku temui. Entah kenapa aku melakukannya, aku hanya ingin membuka semua sumbatan yang terasa membekap dadaku.

Andre meraih tanganku, mencoba memberikan ketenangan dalam genggamannya. "I am so sorry," katanya lagi.

Aku mendongak untuk menatap wajahnya yang kini terlihat kabur oleh air mata yang memagari kedua mataku. "Maafkan aku."

"Untuk Apa?"

"Aku ... mungkin telah mempergunakan dirimu, untuk ... untuk apapun yang sedang aku coba lakukan."

"Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku tidak merasa sudah kamu manfaatkan."

"Liar," kataku mencoba memaksakan seulas senyum. "The truth is. I want to move on. I am trying to move on, I just don't know if I'm capable of a life without him. I thought he was dead, but he was with me and now ...," aku tidak meneruskan kata-kataku.

"Apa ... ada sesuatu yang bisa aku lakukan? Untuk membantu?"

Aku terkekeh di antara isak tangisan. "Just hold my hand," kataku lirih. Dia mempererat genggaman tangannya, lalu agak ragu dia meraihku, meletakkan kepalaku di dadanya, menepuk punggungku dengan lembut. Tidak ada kata yang terucap dari mulutnya, hanya isak tangisku yang semakin lama semakin melambat. Aku menghembuskan nafas, membuang sisa-sisa gumpalan dari dadaku lalu mencabut diriku dari dadanya.

"Thank you," gumamku lirih.

Kedua matanya menggenggamku, perlahan ibu jarinya mengusap sisa-sisa air mata dari kedua pipiku..

"Lina," dia memecah kesunyian. "Aku ... bukan bermaksud menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Tapi kalau kamu membutuhkan aku, untuk apapun, aku akan bersedia melakukannya."

"Thanks," balasku lirih. "I don't date, Andre. After William. I don't think I have anything left for anybody. Just so you know."

"Kita tidak harus dating. Aku ... hanya ingin membantu. You've been through a lot. And William ...,"

"He's been through more than anybody knows," sergahku. Di sudut hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin ada orang yang menyalahkan William.

"Aku tahu. Aku tidak akan mampu membayangkan seandainya aku berada di posisinya."

Andre mengantarkanku sampai di depan lift, dia memelukku sebentar sebelum pergi meninggalkanku. Pelukan hangat yang aku rasakan dari seorang teman, teman yang tidak akan membuatku nyeri karena rasa cemburu.

RESTRAINTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang