Bertemu Philip

54 4 0
                                    

Beberapa hari berlalu Arini berusaha menenangkan hati dengan berdiam diri di rumah. Meski dihibur oleh Rosa dan juga sudah bicara dengan Ayah mertua tapi ia masih merasa kurang nyaman.

Padahal seharusnya Arini mulai kuliah dan bekerja. "Arini," panggilan lembut Rosa tak diindahkan.

"Arini." Rosa memanggilnya lagi namun kali ini dia duduk di dekat Arini sambil menyentuh pundak wanita itu.

Arini lalu memandang Rosa dengan raut wajah datar. "Ayo dong kita jalan-jalan, refreshing gitu."

"Tapi kemana?"

"Yah ke mana saja dari pada di sini terus kau nantinya cuma akan sedih." Bukannya bersemangat Arini makin terlihat sendu.

"Semuanya akan baik-baik saja Arini, jangan cepat menyerah. Mana Arini yang aku kenal dulu? Yang punya senyum angkuh dan penuh percaya diri hanya karena seorang pria langsung jatuh begitu saja." Rosa berkoar-koar.

"Setidaknya pikirkan bayimu sekarang. Kalau kau cuma hanya seperti ini, janinmu juga akan merasakan dampaknya." Sekarang Arini mematung. Dia agak lupa sekarang kalau dia memiliki sebuah tanggung jawab di dalam perutnya.

"Kita jalan-jalan ya, supaya perasaanmu lebih baik dan kau juga sehat demi bayinya." Arini mengangguk setuju.

Tidak lama mereka akhirnya keluar dari apartemen dan dengan menggunakan Google maps mereka menuju beberapa tempat untuk bersantai. Uang dan segala macam fasilitas yang dibutuhkan tetap tersedia seperti ucapan Ayah mertua.

Hana tak akan mengganggu semuanya. "Aku heran Arini," ucap Rosa tiba-tiba.

"Heran kenapa?" Arini balik bertanya.

"Katanya Trevor menceraikanmu tapi kenapa kita masih bisa memakai kartu kredit yang dikasih sama kamu bukan itu saja, mobil, penerjemah semuanya tersedia."

"Mungkin karena Ayah mertua," jawab Arini sekenanya.

"Tapi soal kartu kredit? Atas nama Trevor, kan? Seharusnya dia memblokir semuanya." Arini terdiam. Benar juga pemikiran Rosa, tapi dia cuma tidak bisa melakukan apa-apa.

Mereka pun tiba di sebuah taman yang dipenuhi dengan orang banyak. Rosa dan Arini kemudian mendapat sebuah spot yang bagus.

"Kau jangan kemana-mana ya, aku akan mengambil cemilan." kata Rosa.

"Tapi bagaimana kau saja belum fasih bahasa inggris," balas Arini meragu.

"Tenang aku akan menelepon si penerjemah untuk datang. Kasih dong kartu atmnya." Segera setelah itu Rosa lekas pergi dari tempat itu meninggalkan Arini yang termenung.

Meski ramai dan telinganya banyak menangkap pembicaraan tapi Arini merasakan sebuah kedamaian. Pemandangannya pun bisa membuat dia tenang.

Arini melihat sekitaran di mana orang banyak berada. Ada yang mengobrol diiringi canda tawa, sepasang kekasih tengah bermesraan dan lain-lain. Dia jadi tersenyum mengingat beberapa kenangan indah antaranya bersama orang yang disayang termasuk Trevor.

Sayangnya tidak banyak momen diabadikan di ponsel tapi karena mood sedang baik maka dengan cepat dia mengambil smartphone untuk mengecek kumpulan foto.

Untuk beberapa menit Arini terpusat penuh pada ponsel sampai tawa seorang anak menyita atensinya. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, sosok anak kecil bersama orang tuanya tampak bahagia.

Arini seketika membeku. Memori perempuan itu kembali teringat akan ucapan Trevor di telepon namun hal tersebut bukanlah yang membuat mentalnya terjatuh tapi tentang anak yang ia kandung sekarang.

Air mata mengalir dengan deras, tubuhnya bergetar hebat tak mampu menahan isakan. Arini berbalik dan menutup wajah menggunakan sepasang tangan. Ia tidak mau orang-orang tahu kalau dia sedang menangis.

Dalam kesedihan perutnya tiba-tiba bergejolak. Tangis lantas terhenti dan Arini bisa merasa sesuatu mengalir di kakinya.

Menahan sakit, Arini menggulung celananya. Ada cairan berwarna merah menguncur di kaki yang membuatnya tercekat. "Bayiku," lirih Arini.

Dilanda syok tenaga di kaki Arini hilang begitu saja. Akibatnya wanita itu menabrak seseorang yang ada dibelakang. Sebelum sempat jatuh, orang itu--yang adalah pria segera menangkap tubuh Arini.

"Miss are you okay?" tanya pria itu.

Dengan sisa tenaga yang ada, Arini berusaha menggapai pria itu. Mencengkram lengan si pria dan mencoba menatap matanya. "Sir please help me ... my baby." bisik Arini.

"What?"

"I'm bleeding." Arini menggumam lemah. Segera setelah itu Arini rubuh dalam pelukan si pria asing. Dia tidak bisa melakukan apa pun kecuali menangis.

Ia sangat takut kehilangan anaknya sama seperti dia kehilangan suami. "Maaf, jangan tinggalkan Mama sendirian," ucap Arini.

Berkali-kali Arini mengatakan hal tersebut sampai ia tak menyadari bagaimana situasi sekitar sekarang. Saat ia membuka mata, Arini sudah berada di rumah sakit.

"Thank god you're awake." Arini menoleh dan menemukan sosok pria asing yang dari tadi.

"How do you feel?" lanjut pria itu bertanya. Arini tidak menjawab, dia lebih memperhatikan perutnya dan mengusap penuh kasih sayang.

"Your baby is fine. The doctor said the bleeding was because you were depressed," kata si pria lagi.

"Thank you," balas Arini akhirnya.

"It's okay. Is there any family to contac? Because--" Arini mengangguk paham dan melihat pada kedua tangannya. Setahu dia dari tadi ia menggenggam ponsel tapi setelah tahu dirinya pendarahan Arini linglung dan melepas smartphonenya.

Entah kemana benda itu hilang. Arini mendecak. "you want cell phone?" tanya si pria.

"Yes, please," balas Arini.

Si pria asing berbaik hati dengan memberikan ponselnya kepada Arini tapi lagi-lagi ia mematung. Dia tidak hapal satu pun nomor seseorang yang dia kenal.

Arini membuang napas dan memberikan lagi ponsel tersebut kepada pemiliknya. "You can't call your family. Why?"

"I don't know the phone number." Arini menyahut lesu dan menggerutu dalam hati. Jika saja dia tidak memberikan kartunya pada Rosa mungkin tidak akan sesulit ini.

"ok, i can help you. I will give you my number if you pay it later." Si pria bersuara lagi itu pun secara tiba-tiba.

"Dont!"

"It's fine. By the way we dont know each other yet. I'm Philip, nice to meet you," kata si pria berdarah barat tersebut sambil menjulurkan tangannya pada Arini

"Arini. Nice to meet you too." Arini menyahut menyambut tangan si pria dengan berjabat tangan.

"So Arini, just take a rest. if you need anything you can call me." Arini mengangguk sebagai tanggapan.

Wanita itu bersyukur dia bertemu dengan seorang pria baik. Jika tidak dia mungkin akan kesulitan di sini tanpa adanya teman.

Setelah kejadian ini pula akan lebih baik jika Arini menjaga kesehatan. Pasti anaknya sekarang juga stres sebab Ayahnya. Dia tidak mau kehilangan seseorang lagi apalagi kehamilannya ini adalah sebuah berkat.

Diusapnya perut yang masih rata itu. "Sayang, maafin Ibu. Ibu janji bakal jagain kamu. Kamu harus kuat biar kita ketemu nanti, Ibu nggak akan bikin kamu ketakutan lagi. Harta Ibu cuma kamu."

❤❤❤❤

Akhirnya sampai juga di tambahan beberapa part untuk Madu. Silakan membaca

Madu (PINDAH DI INNOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang