Sampai di rumah sakit barulah Arini sedikit tenang. Dia pun tertidur pulas sementara Rosa mendengar penjelasan dari dokter. Philip pun ada di sana.
"Semua ini karena aku tak memerhatikan karyawanku. Pada akhirnya Arini kelelahan karena terlalu banyak bekerja. Aku sungguh menyesal."
Rosa melihat pada Philip. "Atau karena Arini berusaha untuk tidak memikirkan suaminya."
Philip menatap balik ke arah Rosa. "Pak, Arini bekerja terlalu keras agar bisa mengabaikan pernikahannya yang hancur. Beberapa bulan yang lalu, saat kami baru tiba di New York, Arini mendapat sebuah telepon dari suaminya kalau ia akan bercerai. Sampai sekarang belum ada kejelasan tentang hubungan pernikahan mereka tapi Arini hancur dan sekarang satu-satunya yang membuat dia bangkit hanyalah anak dalam kandungannya sekarang."
Rosa mengembuskan napas kasar. "Sekarang Pak Arini hanya berusaha melanjutkan hidupnya dan dia ingin membahagiakan anaknya. Mungkin itu sebabnya Pak, kencan anda ditolak karena dalam hatinya ia masih mencintai suaminya."
"Lalu bagaimana dengan si br*ngsek itu? Dia tahu kalau Arini hamil?" tanya Philip, ia mulai naik pitam.
"Tidak setidaknya untuk sekarang. Dia tidak pernah menelepon Arini. Bisa saja ia lupa atau mengganti nomornya. Arini pun tidak menghubunginya. Dia perlu sendiri untuk sekarang."
Philip lantas memandang Arini penuh kesedihan. Ia tak menyangka Arini menyimpan begitu sesak dalam dada dan tidak memerhatikan kesehatannya dengan anak yang di dalam kandung. Sungguh wanita itu tak pantas mendapat perlakuan buruk. Ingin sekali rasanya Philip mencari si pria tak tahu malu itu dan memukulnya.
"Soal uang perawatan, kau tak usah khawatir aku akan membayar biarlah Arini istirahat. Jangan pusingkan uang gaji kalian, aku akan masukan cuti untuk kalian."
"Saya juga?" tanya Rosa bingung.
"Iya, kamu rawat Arini baik-baik. Tolong beritahu aku kalian butuh apapun, aku akan dengan senang hati membantu."
"Terima kasih Pak Philip." Rosa mengembangkan senyuman. Setidaknya mereka tidak khawatir soal gaji yang dipotong.
****
Trevor membuka matanya. Menarik napas dalam-dalam dan melihat ke arah jendela. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hati. Setiap hari terus saja memikirkan Arini. Apa dia baik-baik saja?
Suara ketukan menyebabkan Trevor sadar dari lamunan. "Masuk!" Sekretarisnya kemudian masuk dan memberikan beberapa file serta jadwal padat yang akan dilakukan oleh Trevor.
"Lain kali saja bahas itu. Apa kau sudah melakukan apa yang kusuruh?" tanya Trevor.
"Sudah Tuan. Mohon cek file berwarna biru." Trevor lantas memgambilnya dan mendapati foto Arini di sebuah formulir. "Istri anda telah bekerja di sana tapi soal kehidupan pribadi kami belum mendapat informasi pribadi," lanjut sekretaris.
Trevor mendecak sebal. "Ini semua karena Ibuku. Dia sengaja membuatku tak bisa ke Amerika untuk bertemu dengan Arini. Belum lagi para penjaga bodoh yang selalu mengikutiku 24 jam seakan aku masih anak remaja." Pria itu lalu melihat ke arah sekretarisnya.
"Tetap berikan perkembangannya. Jangan sampai Ibuku tahu soal ini!"
"Baik Tuan." Pintu terbuka memperlihatkan Hana. Dia masuk dengan angkuh menghampirinya penuh percaya diri.
"Ibu buat apa datang ke sini?" tanya Trevor. Hana tersenyum berjalan mendekat pada putranya itu.
"Temani Ibu makan, Ibu sudah lama tak makan siang sama kamu," pinta Hana manja.
"Tapi Ibu ini jam kerja. Aku sangat sibuk sekarang." Trevor beralasan.
"Aduh jangan terlalu berlebihan kerjanya. Ayo bersama Ibu kita makan siang bersama." Trevor membuang napas panjang.
"Baiklah, asal jangan lama." Hana menganggukan kepala sebagai balasan. "Bagaimana keadaan Ayah?" tanya Trevor kepada Ibunya sepanjang mereka berjalan menuju tempat parkir.
"Begitulah masih belum ada perubahan tapi keadaannya baik-baik saja," jawab Hana.
"Aku heran. Kenapa tiba-tiba Ayah koma? Setahuku dia baik-baik saja waktu itu."
"Itulah takdir sayang. Harap saja semoga Ayah bisa sembuh cepat." Trevor tak mengatakan apapun lagi. Dia sibuk mengambil kunci dan mengeluarkan mobil ke parkiran.
"Biar Ibu saja yang atur tempat makan siang kita. Apa tidak apa-apa?" tanya Hana.
"Ya lakukan saja," sahut Trevor singkat. Hanya butuh lima menit, mereka sudah tiba di restoran steak yang terkenal. Meski ada perasaan aneh dalam diri Trevor, pria itu tetap masuk beserta Hana.
Saat Hana sedang berbicara dengan receptionist Trevor tak langsung duduk dan sibuk berbincang dengan seseorang di telepon. Hana lalu mendekat, berisyarat agar mengikut dari belakang.
Trevor mengiyakan. Dia masih sibuk dengan ponselnya sampai keduanya berhenti di sebuah meja yang sudah ditempati seorang wanita muda. "Maaf kami terlambat." Hana menyapa si wanita muda.
"Tak apa-apa Tante, Mia juga baru datang," balasnya.
"Oh iya kenalin anak Tante yang waktu itu Tante bicarakan. Ganteng, kan?" tanya Hana. Wanita yang bernama Mia itu menatap seraya tersenyum ke arah Trevor.
"Permisi sebentar, aku mau bicara dengan Ibuku." Trevor segera menarik Hana menjauh beberapa langkah dari Mia.
"Ibu, apa yang kau lakukan sebenarnya?" tanya Trevor.
"Apa maksudmu?"
"Kenapa ada seorang wanita muda di meja kita?" tanya Trevor lagi kali ini dengan emosi. "Ibu aku tak mau berhubungan dulu seorang wanita."
"Apa karena Arini?" tanya Hana cepat.
"Intinya aku tak mau terlibat dalam hubungan asmara apapun alasannya." Trevor menjelaskan.
"Ayolah Trevor, ini sudah beberapa bulan dan kau belum move on dari mantan istrimu yang tak tahu diri itu!" ejek Hana. Wanita itu mulai emosi.
"Arini tidak seperti yang Ibu katakan!" bisik Trevor.
"Oh ya lalu bagaimana dengan yang waktu itu. Kalian bertengkar, kan saat dia pergi ke New York?" cerca Hana.
"Kami tidak bertengkar. Dia yang marah tak jelas tapi hubungan kami baik-baik saja!" jelas Trevor.
"Bagiku sama saja. Tak tahu terima kasih dan pergi meninggalkanmu tapi masih saja kamu bela, sampai kapan kamu menunggunya? Dia pasti tak akan kembali." Hana menggerutu.
"Masalahku dan Arini pasti akan selesai jika perusahaan terus berjalan. Setiap kali aku ingin ke Amerika, aku harus berurusan dengan banyak sekali pekerjaan mendadak. Saat aku berusaha menelepon, kartu sim yang selalu aku beli tiba-tiba tidak berfungsi begitu juga dengan ponsel baruku. Aku berusaha mencapainya tapi tak bisa seakan ada orang yang memang mengaturnya!" tutur Trevor panjang lebar. "Jadi tolong jangan membuatku berpikir lebih keras. Sudah cukup dengan semua ini, aku akan pulang."
"Lalu bagaimana dengan Ibu? Kau tega membiarkan Ibu pulang sendiri?"
"Ya!" spontan Trevor. Dia bergegas pergi setelah pamit kepada Mia baik-baik. Bagaimana pun wanita muda itu tak bisa disalahkan karena dia tak sepenuhnya salah. Trevor kemudian mengambil ponsel di kantung celana untuk menghubungi seseorang.
"Halo dokter, aku ingin membicarakan soal yang kita bicarakan. Aku mau kau memberikan laporan yang jelas tentang Ayahku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (PINDAH DI INNOVEL)
RomansaArini Mahanipuna, seorang gadis belia yang cerdas bertemu dengan Trevor Pradipta, Presdir pemilik pabrik cengkeh terbesar se Asia. Tidak menunggu lama, sang presdir menyukai Arini dan memperistrinya. Sungguh tak bisa diduga begitu Arini di bawa ke...