20: menghampiri dia untuk membuktikan perkataannya

226 35 10
                                    

Mungkin Seonghwa pikir, ucapan San mencari lelaki itu hanyalah omong kosong. Namun, San benar-benar melakukannya dan setidaknya sebelum Mingi dipindahkan permanen ke Kalimantan, dirinya bisa mendapatkan informasi tentang Seonghwa. Meski konyolnya, ternyata tempat Mingi pindah adalah kota kelahiran Seonghwa dan tempat lelaki itu pergi.

Atau tepatnya San seharusnya mengatakan bahwa Seonghwa itu sedang pulang kampung?

"Dia tidak akan suka mendengarmu mengatakan dia pulang kampung, San." Perkataan Mingi kembali terngiang di benak San, "Karena dia kehilangan orang tua dan kebahagiaannya di kota itu karena keserakahan Adik Ayahnya."

Sebenarnya San bertanya-tanya kepada Mingi jika tahu masa lalu Seonghwa yang menyakitkan itu, lantas kenapa dia berselingkuh? Namun, meski pada akhirnya San memang berakhir menanyai hal itu kepada Mingi, dia pun mengatakan kepada lelaki itu untuk tidak menjawabnya. Karena San tahu tidak akan ada yang berubah jika mendengar penjelasan Mingi dan memahami sudut pandang seseorang bukanlah hal yang diinginkannya.

Karena setiap orang pendosa, hanya jalannya menuju dosa itu yang berbeda-beda. Bukan berarti San orang yang paling suci di dunia ini, tetapi dirinya hanya tidak mau tahu alasan seseorang memilih jalan dosanya tersebut.

Karena menilai buruk seseorang lebih mudah daripada mencoba memahami alasan seseorang melakukannya. Meski memahami memang membuka banyak sudut pandang yang sebelumnya tidak pernah terlihat dan tidak pernah terpikirkan oleh San, akan tetapi sekarang adalah saat dirinya ingin menjadi egois.

San merasa salah jika memberikan pemakluman bagi orang-orang yang menyakiti Seonghwa selama ini.

"Kalau lo butuh tempat tinggal selama di Balikpapan, ntar hubungin gue. Atau kalau lo males, nih udah gue send ke WA alamat gue. Udah jangan ditanya kenapa bukan nama jalan, orang sana malah gak ngerti kalau lo sebut nama jalan."

San berdecak saat kembali teringat perkataan Mingi karena membuka ponselnya. Tadinya San berniat mengirim pesan kepada Seonghwa, tapi justru membuatnya melihat nama Mingi yang berada paling atas di ponselnya. Kemudian San menghela napas dan mengetikkan nama Seonghwa, untuk kemudian membuka ruang pesan mereka.

Sebenarnya San hanya perlu mengirimkan pesan apa pun yang dipikirkan olehnya saat ini kepada Seonghwa.

Kenyataan bahwa sejak tadi San mengetik dan menghapus pesan hanya karena tidak yakin dengan semua yang diketikkannya itu menyebalkan. Padahal biasanya San mengirim pesan kepada orang lain seadanya.

Saking seadanya, San bisa hanya mengirim titik kepada seseorang.

Mungkin drama ketik dan hapus ini akan terus berlanjut jika tidak mendengar pengumuman jika gate pesawat yang akan membawa San ke Balikpapan sudah dibuka. Membuatnya menghela napas dan San memutuskan mengirimkan apa yang sudah terketik di layar ponselnya.

San: Aku menepati perkataanku, aku mencarimu.

San tidak yakin jika Seonghwa akan membaca pesan, apalagi membalas pesan tersebut. Meski begitu, San berharap setidaknya Seonghwa membuka pesannya untuk tahu bahwa keberadaannya itu berharga. Setelah mengantri serta melakukan beberapa hal yang memiliki titik akhir untuk duduk di kursi yang tertera di tiketnya. Begitu memasang sabuk pengaman, San membuka kunci layar ponselnya. Awalnya hanya untuk menekan mode airplane, akan tetapi layar ponselnya ternyata masih membuka ruang pesan antara San dan Seonghwa.

Kemudian, ternyata pesannya sudah berubah menjadi centang biru, tanda telah terbaca.

Seonghwa juga tampak tengah mengetik. Meski mungkin sama seperti San yang sejak tadi hanya mengetik hapus dan mengulanginya hingga merasa seperti orang bodoh.

San: Aku akan membalas pesanmu nanti.
San: Aku sudah di pesawat.

Entah kenapa, San tersenyum melihatnya dan tetap memasang mode airplane. Sejujurnya, San kalau tidak mencari Seonghwa tidak akan pergi ke Kalimantan. Mungkin karena pada dasarnya San bukanlah orang yang suka jalan-jalan kalau tidak ada keperluan.

Kalau kata beberapa orang, mungkin karena hampir sepertiga hidupnya dihabiskan kemiskinan stuktural dan akhirnya naik kelas yang membuat beberapa orang memilih frugal atau bahkan over spending kepada hal-hal yang waktu kecil tidak bisa dimilikinya. San tidak menampik jika itu memang terjadi kepadanya, akan tetapi dia sebenarnya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Selama keputusan-keputusannya tidak memberikan dampak negatif kepada orang lain, ya biar sajalah.

Lagipula masuk akal itu di akalnya siapa?

Hidup ini terlalu berharga untuk memikirkan perkataan orang lain. Apalagi sampai memikirkan perkataan orang-orang yang tidak memberikan kontribusi apa pun ke dalam kehidupan San dan justru berkomentar buruk paling depan tanpa tahu apa pun.

Saat akhirnya sampai di bandara Balikpapan, San merasa kalau pemikirannya didengar oleh orang-orang asli sini bisa membuatnya di doxxing karena mengira bandaranya kecil. Bukan level bandara internasional dan rasanya San, bandara ini lebih bagus daripada bandara di Tangerang.

San baru mengaktifkan ponselnya saat mendapatkan kopernya dan tengah mengantri untuk bisa keluar dari gerbang kedatangan.

Seonghwa: San, kamu bercanda?
Seonghwa: San, halo?
Seonghwa: San, aku menjemputmu.

San melotot membaca pesan terakhir dari Seonghwa. Bahkan San belum sempat mengetikkan pesan balasan, Seonghwa sudah mengirimkan pesan yang baru kepadanya.

Seonghwa: Apa San sudah sampai?
Seonghwa: Aku sudah ada di depan gerbang kedatangan.
Seonghwa: San tidak tersasar, 'kan?

Rasanya San ingin segera memotong antrian untuk bisa menemui Seonghwa. Akan tetapi, kewarasan San jelas masih kuat untuk menahan tubuhnya untuk tidak bersikap inpulsif seperti manusia yang tidak diajarkan adab oleh orang tuanya. Meski jujur, rasanya antrian ini benar-benar begitu lama dan itu membuat San kesal.

Setelah waktu yang rasanya seperti selamanya itu, akhirnya San bisa keluar dari pintu kedatangan. San tahu kalau menemukan Seonghwa itu susah-susah gampang. Susah jika Seonghwa menunggu di posisi yang tidak terlihat olehnya. Gampang untuk San temukan karena Seonghwa itu sebenarnya selalu memancing perhatian orang-orang yang berpapasan dengannya.

Bahkan San merasa jika setiap orang yang berpapasan dengan Seonghwa berakhir menoleh ke arah lelaki itu akan membuat dirinya mendapatkan sepuluh ribu, dia sudah kaya raya. Karena semua orang pasti memperhatikan Seonghwa dan sejujurnya San tidak tahu apa yang dialami lelaki itu selama ini sampai menganggap dirinya selalu kesepian di tengah keramaian.

Karena San tahu, semua orang siap untuk menjadi teman Seonghwa jika diberikan kesempatan. Tidak seperti San yang akan dihindari semua orang jika tidak memiliki keperluan yang mendesak, hanya karena memilih untuk menjadi diri sendiri dan memilih diri sendiri.

"San...?"

Panggilan yang seperti ragu tersebut membuat lamunan San buyar dan mengerjapkan matanya. Ada Seonghwa di depannya, menatap dengan khawatir. Saat San pikir akan mengomeli Seonghwa begitu mereka bertemu, nyatanya tidak seperti itu. Lantaran terlalu banyak gelombang-gelombang emosi yang menghantam San dengan cepat dan saat tersadar, San sudah menarik Seonghwa ke pelukannya.

"S-San ... apa yang...?"

"Seonghwa, aku menemukanmu." San tahu tidak seharusnya memotong perkataan Seonghwa, akan tetapi dia tidak bisa. Bahkan untuk mengidentifikasikan semua perasaannya yang terlalu campur aduk ini San tidak mampu. Namun, San tahu apa yang mampu diucapkannya saat ini kepada Seonghwa, yaitu, "Aku menepati perkataanku kepadamu. Aku mencarimu sampai ketemu."


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vermilion | SanhwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang