04: sejauh apa pun melarikan diri, pada akhirnya harus menghadapi kenyataan

600 131 13
                                    

"Seonghwa, kenapa semua pesanku tidak kamu baca?" gerutuan di seberang sana hanya bisa membuat Seonghwa tersenyum getir. "Kamu sudah selesai kuliah loh, gak mungkin sesibuk itu sampai enggak bisa balas pesanku, 'kan?"

"Maaf. Aku masih belum terbiasa dengan hape baruku."

"Wait ... hape baru? Kamu akhirnya ganti hape?!" suara keheranan sekaligus bersemangat membuat Seonghwa tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum lebar. Mengapa Seonghwa tidak bisa benar-benar membenci sahabatnya ini? "Hape apa? Kamu beli pakai uangmu atau Om pengacara beliin kamu?"

"Itu...," Seonghwa ragu menyebut nama San, karena takut akan berakhir seperti sebelum-sebelumnya. Membuatnya menghela napas panjang, lalu berkata, "Aku diberikan sebagai hadiah lulus sidang."

"Mingi yang beliin?"

Seonghwa tidak menjawab, lalu memandang jendela yang memperlihatkan pemandangan kota pada malam hari. Apartemen mewah yang besar dan sepi yang dipaksa oleh Om pengacara keluarganya sekaligus sahabat mendiang Ayahnya untuk ditinggali karena tidak terima Seonghwa yang mencoba tinggal di kamar kos-kosan yang berukuran 3 meter.

"Seonghwa...?"

"Oh iya, Hongjoong," Seonghwa mencoba mengalihkan pembicaraan, "gimana harimu?"

"Seperti biasanya, menyebalkan," helaan napas membuat Seonghwa tersenyum, "Kamu tahu sendirilah, Ayah dan obsesinya membuatku sebagai penerus perusahaan padahal aku lebih menyukai seni."

"Om hanya ingin memberikan hal terbaik untukmu, Joong."

"Hwa, kamu tahu sendiri kakak-kakak perempuanku lebih kompeten mengisi posisi ini daripada aku." Keluhan itu hanya bisa membuat Seonghwa tersenyum. "Hanya karena aku cowok, jadi aku harus mewarisi semua ini. Astaga, aku hanya ingin melukis dengan tenang!" Lalu Seonghwa bisa mendengar helaan napas panjang, "Oke, jangan bahas itu lagi. Gimana kalau kita ketemu? Sudah lama kita tidak jalan bareng."

"Memangnya Hongjoong tidak sibuk?"

"Aku bisa mengajukan cuti untuk kita jalan-jalan. Seperti waktu dulu, sebelum kita mendadak jadi orang dewasa dengan banyaknya tanggung jawab menyebalkan." Seonghwa mendengarnya hanya tertawa. Lalu, tawanya terhenti saa mendengar, "Hwa, aku senang kamu tertawa lagi. Rasanya sudah lama aku tidak mendengarmu tertawa."

Seonghwa bahkan sudah lupa kapan terakhir kali berinterasi dengan sahabatnya tidak membuatnya tertekan. Tentu tidak Seonghwa suarakan karena tidak mau menyakiti Hongjoong, juga karena tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang selalu bersamanya sejak awal kehidupannya hingga saat ini.

"Joong, jangan menggunakan privilege untuk keuntungan pribadi."

"Tapi aku kangen denganmu!"

"Sekarang aku punya banyak waktu," Seonghwa berusaha untuk tidak mengeluarkan ringisan saat mengatakan kenyataan itu, "Jadi kita bisa bertemu kapan pun. Tidak perlu cuti, kamu punya tanggung jawab, Joong."

"Ah kamu sekarang ikut-ikutan seperti Ayah! Menyebalkan." Seonghwa hanya tertawa mendengar gerutuan Hongjoong. "Short getaway akhir minggu ini, gimana?"

"Apa?"

"Ke Singapura atau Bangkok gimana?" tanya Hongjoong yang membuat Seonghwa bersyukur sekarang mereka hanya berbicara dari sambungan telepon dan bukan video call. Kalau tidak, pasti sekarang Seonghwa akan mendapatkan banyak cecaran pertanyaan karena dari pantulan kaca jendela, wajahnya terlihat tidak senang. "Atau ke Sydney gimana? Passpormu masih ada masa berlakunya, 'kan?"

Vermilion | SanhwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang