PART 25

24.4K 2.8K 262
                                    

Ajudan Grand Duke itu beberapa kali mencuri pandang pada seorang gadis yang duduk di depannya.

Suara tapak dari sepatu kuda, mengisi keheningan yang menjerat keduanya.

Leon berdehem, mencoba menarik atensi gadis yang tengah melamun itu, namun seakan tuli Valerie bahkan tak bergeming dari tempatnya.

Helaan nafas panjang pemuda itu berikan.

Leon menyukai gadis ini. Itu sudah lama, sejak setahun yang lalu. Saat pertama kali mereka bertemu.

Cara gadis itu menatapnya, sorot mata tak berminat itu mampu menarik perhatian Leon. Awalnya Leon hanya penasaran mengapa gadis ini sedikitpun tak memperdulikannya. Tetapi, lambat laun perasaannya tumbuh.

Terkadang Leon merasa jika dirinya menyedihkan.

Ya, jatuh cinta sendirian.

Betapa paniknya Leon saat mengetahui gadis ini menghilang. Jantungnya serasa melompat keluar.

Satu hal yang pasti, Leon sangat mendambakan gadis ini.

"Nona, apakah anda baik-baik saja?" Pemuda tampan itu mengulas senyum. Tutur kata nya pun begitu enak didengar.

Dengan keyakinan diri dan dorongan hati, Leon memutuskan untuk semakin mendekati Valerie.

"Menurut anda apakah saya baik-baik saja setelah di culik?" Valerie membalas sengit. Bersamaan dengan itu matanya memicing tajam.

Ayolah! Pertanyaan itu tak patut ditanyakan!

Leon terhenyak sesaat sebelum menggaruk tengkuknya salah tingkah. Ah, dia merutuki kebodohannya.

"Ha...ha.. saya salah." Pemuda itu langsung tertunduk lemas. Tidak seperti Valerie yang terlihat santai, Leon bahkan tak bisa menatap langsung matanya. Dia tak punya pilihan selain diam di sepanjang jalan.

Beralih pada kereta kuda yang dinaiki Aeris, gadis cantik itu terlihat membeku. Dia enggan bergerak barang seinci pun—terlanjur ciut akan tatapan tajam pria di hadapannya.

Gavril bersedekap dada, mamlingkan wajahnya menatap pepohonan yang dilalui.

"Gavril," Aeris memanggil gugup. Dia tahu jika pria ini sedang marah sekarang. Tetapi dia bisa berbuat apa? Kejadian hari ini sangat di luar prediksi Aeris.

Tak mungkin pula dia membiarkan pelayan polosnya itu diculik.

"Diam." Suara pemuda itu merendah dingin. Seketika Aeris mengatupkan bibirnya.

Oke. Dia akan diam demi kelangsungan hidupnya. Jangan pernah lupakan jika pria ini adalah seorang tiran.

Dengan bahu yang terkulai, gadis bermanik amber itu menyandarkan kepalanya pada jendela. Wajahnya menengadah memandang hamparan langit malam.

Lambat laun, kantuk menyerang gadis itu. Matanya tertutup lembut dengan nafas goyah yang beraturan.

Entah sejak kapan Gavril menonton—mendecakkan lidahnya seraya menyapu rambutnya. Pria ber-iris merah berkilau itu dengan sigap mengulurkan sebelah tangan saat kepala Aeris hampir terbentur dengan jendela.

Inilah dia. Sebesar apapun amarahnya, Gavril tidak bisa bersikap tak acuh pada Aeris.

Tidak sampai di situ, seakan semesta tak menyetujui ketidakpedulian nya, roda kereta tak sengaja melintasi batu, membuat Aeris kehilangan posisi dan terhuyung ke depan.

Sontak kedua mata Gavril melebar. Pemuda itu dengan tergesa memeluk Aeris yang terjatuh kearahnya.

Tak terusik, Aeris bahkan tak terbangun. Gadis itu bertingkah seolah-olah jika dunia, berada di pihaknya. Gavril memperhatikannya. Terkadang, Aeris berucap seakan-akan gadis ini mengetahui masa depan.

I became the wife of the male lead {End}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang