PART 33

19.2K 1.5K 84
                                    

"Lapor, Yang Mulia. Hujan sudah reda dan kereta akan melanjutkan perjalanan." Kesatria berseragam lengkap itu memasuki tenda.

Tenda yang dibangun diantara pepohonan di tengah hutan. Letaknya cukup strategis untuk bersembunyi dari dunia luar.

Pria yang memunggungi kesatria itu tak menjawab. Hanya saja geraman rendah terdengar saat surat kabar digenggaman nya tercabik-cabik hingga potongan kecil.

Tubuh yang ditutupi tudung itu mulai berbalik. Sepasang manik semerah ruby terlihat, memberikan aura dingin yang kuat.

"Bagaimana kabar kuil?"

"Belum ada kabar, Yang Mulia."

Pria itu menggigit bibirnya karena marah, pembuluh darahnya berdenyut di kepalan tangannya.

"Bawa pendeta itu." Kontras dengan air mukanya, suaranya terdengar tenang di dalam ruangan yang mencengkam.

Tak menunggu waktu lama, orang yang diharapkan sudah tiba. Pendeta berpakaian lusuh itu terjerembap begitu penjaga yang menariknya, melemparkannya ke tanah.

"T-tuan Gabriel." Pendeta paruh baya itu buru-buru menekuk lututnya. Dia bersimpuh dengan tangan yang terlipat. Pelupuk matanya sudah digenangi air.

"Kau bodoh." Dua kata yang terlontar semakin meruntuhkan pertahanan batin pendeta itu. Keringat dingin mulai mengguyur punggungnya.

"Itu semua salah anak buah saya. M-mereka salah paham dan malah menculik pembantu--"

"Kita tidak bisa menyalahkan seorang anak yang terlahir tanpa kaki," Gabriel melangkah mendekat. Setiap kali sepatu hitamnya menapak, wajah sang pendeta semakin putih.

Tidak ada emosi yang tergambar di wajahnya tetapi, aura mencekik itu sungguh terasa hingga ke tulang.

"Menurutmu, siapa yang sebenarnya harus di salahkan?"

Tatapan pendeta itu jatuh pada sepasang sepatu dihadapannya. Mendongak perlahan, iris semerah darah itu bertemu pandang dengan matanya. Jika tatapan Gabriel adalah pisau, mungkin tubuh pendeta sudah terbelah belah.

"O-orang tuanya...."

Mendengar jawaban penuh hati-hati itu, menarik sebelah kurva bibir Gabriel. Pria jangkung tersebut kembali memunggungi sang pendeta—menghampiri mejanya.

Peringatan rendah mengalir dari balik punggung yang menjulang tinggi.

"Kau tahu. Jadi, ini semua salahmu." Pria itu menunduk memperhatikan peta yang terbentang luas di permukaan kayu.

Jari telunjuknya terangkat, menyentuh bagian peta yang bertuliskan 'Argust'. Sorot matanya menjadi aneh, seperti predator yang menunggu waktu berburunya tiba.

Gabriel mengencangkan rahangnya erat dengan ekspresi ekstasi.

"Bawa dia keluar."

"Tuan Gabriel, saya mohon!" Pendeta itu melotot lalu meraung pilu begitu tubuhnya diseret menjauh. Gambaran kematian yang menanti semakin menggetarkan tubuhnya.

"Tuan! Tuan Gabriel!"

"Bunuh dia."

________________

Cahaya matahari terbenam bertahan sebagai garis merah di atas cakrawala. Saat pancaran merah cerah perlahan memudar menjadi warna yang lebih sejuk, bulan terbit memamerkan kuning hangatnya di langit malam.

Kedua bahu gadis yang sedang asik membaca buku di dalam ruangan itu tersentak ketika kain berbulu membungkus punggungnya.

"Apakah kamu merasa tidak nyaman? Ada yang sakit?" Rentetan pertanyaan tersebut sudah berulang kali memasuki telinganya.

I became the wife of the male lead {End}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang