Noted : sebagian cerita merupakan kisah nyata.
Rate age : 18+ terdapat adegan kekerasan yang tidak patut ditiru
"Sephia milik ku, sekali pun harus ku bunuh lalu ku awetkan."
Obsesi dan posesive jika digabungkan akan semengerikan apa ya?
Kesalahan t...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Daripada manggil aku Thor, mending Acha/icha aja gak sih biar lebih Deket. Atau bestie juga boleh, meskipun aku udah tua ya haha. Atau kapan-kapan aku harus bikin satu chapter buat kita ngobrol? biar makin Deket. . . .
Musa meletakan sebuah botol vitamin yang dikonsumsi Sephia sudah lama ini di meja kost nya, karena mengetahui stoknya sudah habis. Dilihatnya Sephia yang sedang tekun larut dalam laptopnya yang berada di laman Microsoft word, pandangannya teralihkan pada luka di tangan gadis itu yang sudah mulai mengering, namun masih terlihat bengkak akibat cakaran kucing.
Musa menjangkau tangan itu yang masih sibuk mengetik, "masih sakit?"
Sephia tersenyum dengan perhatian kecil itu, "gak apa-apa kok."
"Kucing kurang ajar, tangan pacar aku jadi luka."
Sephia menganggap itu sebagai candaan merespon dengan tawa,"untung cuma kucing."
"Tuh aku udah beli lagi vitaminnya, stok kamu udah habis kan?"
"Harusnya aku aja yang beli."
"Gak usah, udah aku beliin."
Musa lalu beranjak dari sofa, pindah posisi ke karpet berbulu itu dan terbaring disana dengan nyaman. Kepalanya ia ganjal oleh jaketnya sebagai bantalan, melihat itu Sephia tak tinggal diam, ia juga membaringkan tubuhnya. Meletakan kepala di perut Musa yang terasa naik turun dengan lembut karena bernafas, keduanya sedang menatap langit langit kost yang sama saat ini.
Tangan Musa tak tinggal diam tanpa fungsi, bergeraknya dengan lambat meraba dengan lembut puncak kepala Sephia yang saat ini sedang berada di area perutnya. Sephia terlihat sangat nyaman dengan sentuhan itu, rasanya mengantuk.
"Sephia.."
"Hmm?" Sephia menggerakan lehernya mengarah pada Musa.
"Apa yang akan kamu lakukan jika aku seliar dulu lagi?"
Sephia tampak berpikir sebelum berucap, "kayaknya aku bakal merasa bersalah."
Kening Musa berkerut sambil tangannya masih mengusap puncak kepala Sephia, "kenapa? kamu gak salah apa-apa."
"Aku merasa bersalah karena itu tandanya aku memang tidak bisa merubah Musa menjadi yang lebih baik, aku juga merasa bersalah karena pasti sifat buruk itu terbentuk sejak bertemu Sephia."
Musa menggeleng cepat, "kamu gak salah, beneran. Saat kamu berfikir sifatku yang pendiam menjadi penuh amarah karena mu, tapi percaya sama aku. Aku gak berubah, sifat ku memang seperti itu. Kamu hanya melihat Musa yang sesungguhnya."
Sephia bangkit dari posisinya, diikuti Musa yang ikut juga bangkit. Kini mereka sama-sama terdiam saling menatap, "kenapa?"
"Bukan ini Musa yang Sephia cintai, Aku menyukai Musa karena dia manis dan lucu. Bukan kasar dan liar."
Musa terdiam lalu berkata, "Musa yang itu sangat naif, Sephia. Aku bisa pastikan bahwa sifat asliku akan melindungi mu, untuk melindungi seseorang, pastinya aku harus kuat dan dominan."
"Aku suka Musa yang sekarang, Musa yang sudah berusaha untuk berubah menjadi sedikit jinak dan tenang." Dirabanya pipi Musa sampai dagu, lalu Sephia mengecup pipi itu sebagai bentuk reward atas usaha Musa untuk berubah.
Musa terkejut, matanya melebar, "aku ingin lebih, Sephia."
"Tapi Mus_"
Sephia tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya sebab Musa yang tiba-tiba menutup mulutnya dengan ciuman yang sedikit brutal kali ini, gadis itu tidak bisa menyeimbangkan nafasnya saat Musa melumat bibirnya tanpa jeda. Lalu Musa kini turun ke bawah, tengkuk leher mulus milik Sephia dihisapnya dengan keras membuat Sephia meringis, "aww!"
Sephia mendorong tubuh Musa sehingga pria itu menghentikan aktifitasnya, Musa tersenyum puas saat melihat tanda keunguan di leher Sephia.
Gadis itu berlari dengan kencang menjangkau cermin di kamarnya, bibirnya mengerucut meraba area lehernya yang kini bertanda, "Musa!!!"
Pria itu hanya tertawa mendengar suara yang begitu keras dari kamar Sephia, "tanda kepemilikan, Sephia!"
Sephia memukul Musa keras sekali sebab ia akan mendapat masalah jika semua orang melihatnya, ia akan sangat malu sekali.
Dan disinilah Sephia berada, di kelas dengan mata kuliah penting yang tak bisa ia tinggali hanya karena tanda sialan itu! Dengan cuaca Ibu Kota yang hampir melelehkan mobil karena panas, Sephia malah memakai sweater turtlenektebal sampai orang lain mengira dia sedang sakit. Padahal untuk menutupi sesuatu yang telah Musa lakukan tanpa aba-aba kemarin.
"Lo sakit?" tanya Joly segera menempelkan tangannya di dahi Sephia.
"Kayaknya tadi pagi gue demam, tapi sekarang udah baikan," dalihnya.
Joly menyipitkan mata curiga, "beneran?"
Sephia hanya tersenyum lebar, tak ingin pembahasannya memanjang.
*****
Dalam malam, Musa berpapasan dengan seekor kucing yang belum berpulang. Dengan sengaja malam itu Musa benar-benar memburu kucing berbulu putih yang ia cari sedari kemarin, tangannya mengepal hebat melihat seekor kucing yang melukai Sephia itu, ia lalu menyeret kucing itu pada semak-semak ditengah sunyinya manusia terbuai mimpi. Diambilnya garpu yang sudah ia persiapkan dari balik jaketnya, kucing itu mengeong nyaring saat Musa menusukan benda itu pada lehernya.
"Supaya Lo merasakan sakitnya saat terluka!"
"Atau mati.."
Suara kucing yang mirip seperti sedang merintih itu terdengar lebih kencang, "rasain Lo!"
Cipratan darah itu kini mengenai area wajah Musa yang menampilkan mimik muka bahagia.
Suara mengeong kucing itu lalu seperti ditelan gelap, sunyi senyap. Musa menginjaknya beberapa kali sampai hewan gemas itu benar-benar tak bernyawa, dengan luka tusukan di leher dan bercak darah dimana-mana. Tubuh ringkihnya ia lempar tepat di depan pintu sang pemilik, tak kurang dan tak lebih.
Keesokan paginya, sang pemilik bernama Laura hampir pingsan karena kaget melihat kucing kesayangannya tergeletak mengeras dengan luka tak sedikit. Teriakannya mampu membuat semua penghuni kamar lain ikut panik dan menerobos keluar, mereka sama kagetnya saat melihat mayat kucing putih yang berubah jadi merah itu.
Pun, Sephia berhasil dibuat menganga dengan penampakan tersebut. Diraihnya mayat kucing itu dengan berkaca-kaca, "padahal kemarin dia masih lincah."
Laura menangis brutal, air matanya rebas menghiasi pipinya. Ia memeluk mayat kucing itu miris, tak peduli seberapa banyak darah yang akan menempel di wajahnya. Ia hanya ingin memeluk hewan kesayangannya itu untuk terakhir kali, meskipun ia belum mengetahui penyebab kematian kucingnya.
"Lo punya musuh, Ra?" tanya salah satu penghuni kost.
Laura menggeleng, "gak tahu, kalau pun ada. Kenapa harus kucing gue."
Sephia lalu ikut memeluk Laura yang sudah kehabisan tenaga karena menangis, sementara yang lainnya sibuk membantu membersihkan bercak darah di lantai dan beberapa tanah. Ada juga yang sudah mempersiapkan kuburan bagi sang kucing itu, namun Sephia lagi-lagi menemukan sesuatu disana.
"Musa?" bisiknya saat melihat jejak sepatu dengan motif yang sama seperti sepatu kesayangan Musa.
Meskipun belum kuat bukti itu, Sephia yakin dengan dugaannya. Ia merasa hatinya seperti tersayat, kasihan pada Laura dan kucing itu jika memang benar Musa yang telah membunuhnya. Tapi kenapa?