26. We'll be fine

456 67 2
                                    

"Maksudnya?"

Wanita itu menghela nafas. "Papa kepergok lagi mukulin orang semalem. Dia juga udah ketauan jual beli miras, obat terlarang, pinjaman uang dengan bunga besar, judi, dan... gak tau lagi deh Mama. Makanya Papa semalem gak pulang tu karena udah ketangkep. Mama kira, emang kayak biasanya yang bakal pulang pagi."

Amarnath mendekati sang Ibu dengan langkah pelan. Tangannya meraih jemari wanita yang telah melahirkannya itu.

Susi, Ibu dari Amarnath tersenyum hangat. "Gak apa-apa... Udah seharusnya kan Papa dapet hukuman itu? Selama ini kita diem seolah gak tau apa-apa. Kita juga terima perlakuan kasar Papa kalo dia ada masalah di luar. Mama mau lepas dari dia pun, kan gak bisa. Mungkin, sekarang ini jalannya buat kita akhirnya bisa bebas. Andai Mama ini sebagai peran suami, pasti Mama udah talak Papa dari dulu. Tapi ya gimana, Mar... Susah juga..."

"Tapi, Mama beneran gak apa-apa kalo Papa ditahan kayak gitu? Gak mau cari pengacara atau jaminan buat bebasin Papa? Ya... walaupun kita salah hidup dari hasil kerja Papa yang kayak gitu, tapi nanti kita mau gimana kalo Papa gak ada?"

Susi kembali tersenyum setelah sebelumnya menampilkan raut sedih. "Mama punya kerjaan. Maaf ya selama ini kita harus bergantung sama penghasilan Papa. Salah Mama yang gak bisa lawan dan ngebiarin kamu makan dari uang-uang itu. Walaupun uang yang dihasilin Papa banyak banget dan kita terbilang hidup berkecukupan, baiknya mulai sekarang kita berhenti dan lepas dari itu semua. Jujur aja, Mama sering ngerasa gelisah setiap pake uang itu. Mama gak munafik emang kalo bilang uang yang Papa hasilin ngebantu banget walaupun ujungnya kita dapet perlakuan gak enak dari dia. Kita bisa tinggal di rumah ini, punya kendaraan, makan enak tiap hari, jujur Mama ngerasa kebantu banget. Tapi, kita berhenti, ya... Kamu gak apa-apa kan nanti jadi hidup kekurangan gara-gara ini?"

Kepalanya mengangguk antusias. "Dari dulu pun aku gak mau sebenernya dihidupin pake uang-uang itu. Tapi kalo aku ngeluh, nanti aku malah ngerepotin kalian. Jadi aku nikmatin aja walau terpaksa. Tapi, kalo sekarang Mama bilang mau coba lepas dan Mama juga udah punya kerjaan, aku beneran gak apa-apa kok mau hidup sekurang apapun."

"Kamu emang anak baik, Amar. Sekali lagi Mama minta maaf gak bisa kasih kamu hidup yang layak. Kamu tinggal bareng sama Mama Papa yang keadaannya kayak gini pun, kamu gak terpengaruh dan tetep baik sama orang lain. Makasih ya udah bertahan. Sekarang, kita perbaikin ini semua pelan-pelan. Rumah ini, mungkin bakal disita sama polisi. Kamu tau sendiri gimana caranya kita beli ini. Kendaraan dan semuanya pun, lambat laun pasti bakal diambil juga. Kecuali, motor yang kamu beli pake uang tabungan kamu itu. Mama usahain motor itu gak ikut diambil."

Amarnath hanya mengangguk walaupun di hatinya, ada rasa nyeri yang berusaha ia tahan.

Hidup di rumah ini dengan fasilitas yang ada bersama kedua orang tuanya, bukanlah hal menyenangkan bagi dirinya. Namun di rumah ini lah dia tumbuh dan dibesarkan oleh mereka walaupun banyak kenangan tak mengenakan yang ia dapatkan.

Marnad, seorang ayah yang kasar dengan pekerjaan gelapnya, memang telah menghidupi istri beserta anaknya dengan cara yang salah. Kendati demikian, dengan cara itulah mereka bisa hidup sampai saat ini.

"Sekarang, kita mau kemana dan gimana?" Tanya Amarnath setelah mereka sama-sama diam beberapa menit dengan isi kepala masing-masing.

"Kita tinggal dulu di rumah ini sampe beberapa hari ke depan. Nanti kalo Mama udah dapet gaji, kita coba cari kontrakan yang murah. Semoga kita bisa keluar dari rumah ini sebelum polisi dateng buat sita atau nanya-nanya tentang hal lain."

"Tapi, Mama kerja apa? Emang bakal bisa dapet gaji secepet itu buat bayar kontrakan?"

Susi diam sejenak dengan helaan nafas yang keluar dari mulutnya, "Mama coba jadi asisten rumah tangga." Amarnath membulatkan matanya. "Majikan Mama ini orang kaya dan mungkin pengusaha atau konglomerat. Jadi, Mama bisa minta tolong buat minta gaji di muka biar kita bisa secepetnya pindah."

"Loh?? Kok kerja itu??? Nanti Mama capek gimana??? Apalagi itu rumah orang pengusaha, 'kan? Pasti besar, Ma rumahnya!"

"Tenang ajaa... Asistennya ada beberapa, kok! Pokoknya kamu gak usah mikirin ini, ya! Cukup dukung Mama kerja di sana dan belajar yang rajin."

"Aku juga kerja dah kalo gitu!"

"Gak! Kamu boleh kerja kalo udah lulus! Bentar lagi, 'kok! Sekarang fokus aja sama sekolah kamu biar nanti ujiannya lancar dan kamu bisa lulus terus cari kerja, bukan malah tinggal kelas. Gimana?"

Betul juga yang diucapkan Ibunya. Terpaksa, lelaki itu pun mengiyakannya. "Yaudah..."

"Nah gitu... Kalo gitu, Mama mau nanya. Kenapa tadi kamu pulang mukanya kusut begitu? Terus kenapa gak jadi pergi?"

Astaga, Amarnath sampai lupa akan masalahnya yang satu itu.

"Kok malah diem? Lagi marahan kah sama temen-temen kamu? Ada masalah apa?"

"Aku gak yakin ini waktu yang tepat buat bahas ginian. Mending Mama istirahat aja, aku bakal cerita lain kali."

"Tapi Mama boleh ganggu kamu 'kan nanti malem buat nyuruh makan? Soalnya tadi kamu bilang jangan ganggu sampe besok."

"Kalo Mama gak keberatan, bagusnya sampe besok."

Susi tersenyum geli menghadapi anak semata wayangnya itu. "Lagi galau kayaknya. Yaudah Mama gak akan ganggu. Tapi, kalo kamu mau makan, ke dapur aja ya. Nanti Mama masakin."

Lelaki itu mengangguk. "Kalo gitu, aku ke kamar dulu." Dan ia pun kembali melangkahkan kakinya meninggalkan sang Ibu di sana.

Di kamar, Amarnath duduk dengan mata yang menatap kosong ke depan. Berbagai pikiran telah menjejali otaknya saat ini. "Kenapa ya nasib gue gini amat?" Kepalanya ia garuk cukup kuat lantaran lelah dengan isi di dalamnya.

Ia pun membuka galeri ponselnya dan memandangi foto mereka bertiga di sana. Foto dirinya bersama Amicia dan Avery lebih tepatnya. Rasa kesalnya tertutupi oleh rasa sayangnya pada kedua gadis itu. Bagaimana pun, Amicia dan Avery adalah sahabat yang baik bagi dirinya. Dan sepertinya, marah pada kedua gadis itu lantaran mereka yang menjalin hubungan bukanlah hal yang tepat.

Amarnath coba mengerti di sini. Dirinya yang lelaki, tentu lebih mengedepankan logika dibanding perasaan. Walaupun tak bisa dipungkiri, perasaanya juga cukup sakit di sini.

Tapi jika lebih dipikirkan lagi, Amicia dan Avery tidak salah dengan menjalin hubungan diam-diam di belakangnya. Kedua gadis itu tentu tak ingin membuatnya sakit hati karena hal itu. Tidak ada juga yang bisa melarang keduanya untuk saling mencintai. Dalam rules pertemanan mereka pun, tak pernah menyebutkan untuk jangan saling jatuh cinta antarteman.

"Tapi nyesek juga..." Kini lelaki itu menunduk pasrah. "Tapi alay banget kalo gini aja gue jadi pundung dan gak mau ngobrol sama mereka. Tapi yaudahlah, apa salahnya juga gue mogok ngomong dulu? Salah siapa harus mereka yang saling suka?"

Brak brak brak!!

Lelaki itu berjengit karena terkejut dengan suara gebrakan pintu. Tak mungkin Ibunya yang melakukan itu. Apa polisi? Apa justru...sang ayah?

"Woy!! Buka gak???"

"Lah? Avery?"

"Amarrr!! Tolong buka dulu!"

"Amicia juga??? Ni ngapa malah pada ke sini, sih???" Ia jadi panik sendiri di tempatnya sekarang. "Mama gak bilang apa jangan ganggu dulu? Mama aja gak gue izinin ganggu, apalagi mereka!"

Brak brak brak!

"Kalo gak dibuka juga, gue jebol nih pintu!"

"Jangan, Ry..."

"Kamu kasian sama aku? Takut badan aku sakit?"

"Bukan. Nanti pintunya rusak. Mau bilang apa sama Tante Susi?"

Amarnath mengernyitkan dahinya. "Malah berdialog."

"Ya terus gimana? Dia gak mau buka!"

Ceklek!

Kedua gadis itu langsung terdiam saat Amarnath berdiri di hadapan mereka dengan wajah datarnya. "Gak inget tadi gue bilang apa?"





***


Next

Three A's (3A)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang