22. Kita tidak mengharapkan ini

450 61 6
                                    

Memangnya karena siapa lagi gadis itu akan tertekan?

Ya, memang ada beberapa masalah yang akhir-akhir ini juga mengusik pikirannya. Seperti dirinya yang waktu itu sering merasa cemburu karena dua sahabatnya, atau dia yang sempat berdebat panjang dengan Avery, lalu satu lagi tentang Amarnath yang telah ia bohongi.

Tapi, masalah-masalah itu tidak sebegitunya membuat ia tertekan. Yang ia rasakan hanya cemas, tak enak hati, dan sedih.

Berbeda dengan masalah yang di dapatnya dari sang Kakak. Walaupun sudah terbiasa bentakan dan pukulan ia dapatkan, tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa dirinya juga merasakan sakit. Entah di tubuh maupun hatinya. Karena sejatinya, Amicia adalah seorang adik yang tidak bisa melawan. Hidup berdua dengan Bagas adalah takdir yang tidak bisa ia hindari. Dan lagipula, tidak ingin ia hindari.

Bagaimanapun, Bagas adalah kakak kandungnya yang sudah merawat gadis itu sejak kecil. Sejak orang tua mereka meninggalkan keduanya di rumah itu.

Amicia masih diam, enggan menjawab pertanyaan Bagas yang semakin menuntut.

"Kenapa malah diem?! Mana bacotan lo lagi???"

Gadis itu menunduk. Sungguh, ia tidak bermaksud menyudutkan abangnya karena perlakuannya selama ini pada dirinya. Ia tidak pernah menyalahkan abangnya sekalipun.

"Kalo lo tertekan dan gak suka tinggal bareng gue, pergi sekarang." Ucapnya dingin.

Kepalanya terangkat dengan pupil mata yang membulat, "Aku gak bilang gitu, Bang... Aku suka tinggal sama Aba--"

"Gak usah bohong lagi!! Lo tersiksa kan tinggal bareng gue?! Daripada lo gak bahagia di sini, mending lo pergi! Gue udah gak mau ngurusin hidup lo lagi! Gue udah gak sanggup! Dari dulu pun gue gak mau!"

Sejujurnya ia tidak mengerti dengan Bagas saat ini. Ucapannya terdengar memiliki makna lain. "Kenapa Abang ngusir aku...?"

Bagas memegang kepalanya geram,

Gadis itu berdiri, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Ia menarik nafasnya dalam-dalam sembari menatap lelaki itu dengan lekat, "Kalo aku mau pergi, aku bisa pergi dari dulu, Bang!"

Lelaki itu yang semula memejamkan matanya, kini balik menatap sang adik.

"Iya aku tertekan! Aku juga gak bahagia tinggal sama Abang! Siapa yang bakal suka kalo tiap hari dipukulin sama Abangnya sendiri?! Dibentak, dimarahin, dikasarin! Gak ada yang suka, termasuk aku! Tapi aku gak pernah sekalipun punya niat buat pergi dari sini! Pergi dari rumah Abang! Pergi dari rumah orang tua kita! Walaupun aku masih kecil waktu itu, tapi aku inget betul kalo Papa nitipin aku ke Abang dan suruh jagain serta jamin kehidupan aku!" Matanya yang sembab, terus mengeluarkan linangan air.

"Dulu Abang baik, terus setelah cari kerja Abang berubah kasar. Tapi aku terima karena Abang kerja pun juga buat aku! Aku gak bisa nyalahin Abang, karena pasti Abang pun capek ngurusin aku yang lemah dan gampang sakit ini! Dari dulu pengen ngeluh pun, aku tahan!! Aku nikmatin tinggal sama Abang walaupun gak ada yang bisa dinikmatin selama di sini! Kalo mau pun, aku bisa benci Abang. Tapi aku gak mau!!" Tangannya mengusap kasar air mata yang enggan berhenti keluar. "Sekarang, pukulin lagi aku kalo itu bikin Abang lega! Gak usah nangis lagi kalo emang Abang gak mau!" Rahangnya mengeras. Ada rasa sesal setelah mengucapkan semua itu. Tapi ada pula rasa lega karena emosinya seolah terlepaskan.

Bagas ikut berdiri, menatap Amicia yang lebih pendek darinya itu. Badannya sedikit membungkuk demi bisa menyamakan tinggi adiknya. "Berarti lo tau kan gak gampang jadi gue? Setela Mama pergi dan kita cuma punya Papa, akhirnya Papa juga ninggalin kita. Lo tau kan gimana perasaan gue pas Papa nitipin pesan itu? Dulu sebelum ada lo, kita cukup bahagia. Tapi setelah lo lahir, perlahan mereka mulai cekcok dan akhirnya ninggalin kita. Terus dengan santainya mereka nitipin lo ke gue sedangkan gue gak berharap lo itu ada. Tapi apa? Lo juga adik gue, 'kan? Gue gak kayak yang temen-temen lo bilang, Si Gak Punya Hati! Sebisa mungkin gue tanggung kehidupan lo walaupun lo gak pernah ngerasa bahagia. Gue yang gak berpendidikan ini, gak tau mau kerja apa buat bisa ngehidupin lo. Segala macam gue kerjain, gak peduli itu kerjaan terlarang sekalipun, karena gue cuma pengen lo hidup." Lelaki itu mulai tak bisa menahan air matanya.

Three A's (3A)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang