Aku membaringkan Grand di tempat tidurnya. Ia masih terus memijit-mijit pelipisnya.
Aku bergegas ke dapur. Kubuatkan teh hangat untuknya dan membawanya ke kamar.
"Minumlah dulu Grand," kataku sambil membantunya duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Kuulurkan gelas ke mulut Grand, dan ia meminumnya perlahan lalu meletakkan kepalanya ke sandaran lagi.
Aku menyelimutinya setelah melepas sepatunya, lalu berbalik hendak keluar kamar.
"Ris," panggil Grand pelan.
Aku menghentikan langkahku, menoleh padanya. Kulihat ia memejamkan matanya sambil tangannya menepuk-nepuk kasur disebelahnya.
"Bisa temani aku sebentar?" pintanya.Aku mendekat dan duduk di dekatnya.
"Kenapa bisa begini, Grand?""Aku cuma minum sedikit," gumam Grand sambil meraih jemari tanganku dan membawanya ke dadanya.
"Kenapa minum? Kamu ada masalah?" tanyaku hati-hati.
Grand menggeleng.
"Pernikahan kita semakin dekat ya?" gumamnya lagi, hampir tidak kudengar."Ya. Apa kamu mau membatalkannya?" tanyaku pelan dan membuat Grand membuka matanya.
"Aku tidak akan membatalkannya, Ris," sentaknya tiba-tiba.
"Lalu kenapa kamu minum minuman keras?" tanyaku lagi. Aku merasa ia menyembunyikan perasaannya.
"Aku... Apa aku terlihat kacau?" Grand mendesah pelan.
"Sangat! Baru kali ini aku melihatmu seperti ini," kataku jujur.
"Ris, seandainya aku bilang kalau aku menyukai kamu, apa kamu percaya?" Grand menggenggam kuat tanganku.
Aku menatap wajah aristokrat dihadapanku dengan tatapan takjub. Tidak percaya. Sejak kapan ia mempunyai perasaan itu? Tapi, apakah aku juga mencintainya?
Tiba-tiba Grand menarik tanganku dan mendekapku. Aku berusaha mendorong tubuhnya, tapi Grand mengetatkan pelukannya.
"Grand, ini sudah malam. Sebaiknya aku kembali ke kamarku. Kamu istirahat saja," kataku berusaha melepaskan pelukannya.
Bukannya melepas pelukannya, Grand justru meraih pinggang dan tengkukku, lalu menciumku dalam-dalam.
Aku tergeragap, mencoba mendorong tubuh Grand yang makin kuat memelukku.
Grand terus menciumku. Bibirnya sekarang berpindah ke leherku. Tangannya mengusap lengan dan punggungku, lalu ia membuatku berbaring dengan Grand berada di atasku.
Aku panik. Kurasakan Grand makin tak terkendali."Grand, hentikan," ucapanku seolah tak didengarkannya. Ia makin lupa diri. Aku tidak tau, apakah Grand dalam pengaruh alkohol atau tidak. Aku hanya berusaha mendorongnya sekuat tenagaku agar ia menghentikan perbuatannya.
"Please Grand, hentikan!" hardikku ketika Grand semakin liar mencumbuku. Air mata mengalir dari sudut mataku. Tangannya mulai menelusuri leher dan dadaku, membuka kancing baju atasku dengan nafas menderu, sementara bibirnya membungkamku.
"Mmmph...Grand...mmmph...lepas... Grand...mmmpph...please...jangan..please...mmmph..." Grand tidak peduli, dan aku semakin memberontak. Sinyal-sinyal bahaya berdering di otakku.
"Sebentar lagi kita menikah, Ris. Jadi apa bedanya sekarang atau nanti?" katanya di bibirku. Aku melotot ketakutan. Tapi ia benar-benar sudah dikuasai nafsu nya.
"Grand, please jangan..." aku berusaha menyadarkannya. Kedua tanganku di cekalnya hanya dengan satu tangannya, sementara tangannya yang lain sibuk melepas bajuku.
Aku menangis. Ia membungkam suaraku dengan menciumku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity of Love
General FictionKetika cinta menuntut sebuah ketulusan, yang mampu menghadirkan rasa aman dan nyaman. Cinta yang apa adanya. Cinta yang selalu memberi. Cinta yang tidak mengharap timbal balik. Just give and give.