#7

39.3K 2.8K 18
                                    

Jonathan Fresco Kaindra POV

Aku mengedarkan pandanganku menyapu seisi cafe. Cafe ku sendiri, ya meskipun aku masih menggunakan referensi dari Bram saat mengambil pinjaman pada bank. Tapi cafe ini benar-benar kurintis dari nol. Ide ku untuk membuka cafe ini berawal dari seringnya aku membawakan resep untuk Mama Rianti yang dengan senang hati mencoba setiap resep yang kusodorkan. Ketika kusampaikan ide ku pada Bram, suami super posesif Vienetta itu mendukungku dan mengenalkanku pada temannya yang bekerja di bidang interior design. Setelah beberapa kali bertemu dan kusampaikan keinginanku serta perbaikan di sana sini, dengan berbekal tabungan yang kukumpulkan sedikit demi sedikit dari hasilku bekerjaku paruh waktu dan super gila-gilaan saat aku SMA hingga kuliah dulu, dan tidak lupa dengan bantuan Bram, aku akhirnya bisa mendirikan cafe impianku.

Meskipun sekarang aku mempunyai kewajiban mengendalikan perusahaan milik laki-laki yang menyebut dirinya ayahku, yang membuatku mau tidak mau menerima seluruh beban tanggung jawab dari seorang yang seharusnya kupanggil kakak, seorang yang dengan sembrono menghamili perempuan tanpa memikirkan nasib perempuan itu kelak. Juga anak hasil hubungan mereka berdua! Walaupun itu mereka lakukan disaat mereka sedang mempersiapkan pernikahan mereka. Bagaimanapun, takdir itu lebih berkuasa. Takdir membuat Grand tidak bisa meneruskan mimpinya menikahi perempuan itu dan memegang tanggung jawab atas perusahaan ayahnya. Lalu kalau sudah seperti ini keadaannya, apakah ia bisa melindungi calon istrinya? Astaga! Sungguh pendek sekali jalan pikiran seorang Grand Gracius Kaindra. Apa disangkanya ia lebih berkuasa dan mampu menentukan takdir? Dasar bodoh!

Mataku menyipit melihat sesosok tubuh gemulai membuka pintu cafe dan tatapannya mencari-cari.
Aku mengenalnya. Sangat!
Dulu aku pernah mencintainya. Kedekatan kami karena aku yang memberikannya les tambahan untuk beberapa mata pelajaran yang tidak begitu dikuasainya. Jujur, aku bangga dengan otakku yang brillian dalam mencerna semua mata pelajaran dan mata kuliah. Semuanya kulahap dengan teramat sangat baik, hingga dapat kugunakan untuk mencari tambahan uang saku agar tidak memberatkan Mama Rianti.

Wanita itu Maya. Aku mengenalnya pertama kali saat ia kelas satu SMA, sedangkan aku sudah kelas tiga, namun beda sekolah. Ia anak orang kaya, dan bersekolah di SMA favorit. Sekolah elite, kata orang.

"Jo," panggilnya pelan membuatku tersentak. Ini pertemuan kami yang ke empat sejak kami bertemu di supermarket beberapa minggu lalu.

"Sudah datang?" tanyaku basa basi, lalu mengajaknya ke lantai dua, mencari tempat yang lebih privacy buat kami berdua.

"Maaf, aku memaksamu menemuiku," katanya menundukkan wajahnya.

"Ada apa, May?" aku memandangnya lekat. Ia masih tidak berubah. Malu-malu, dan tetap cantik.

"Seperti yang kubilang beberapa hari lalu, aku tetap ingin bercerai dari Han," beritahunya lirih.

Aku menghembuskan nafas keras.
"Apa kamu tidak ingin memberinya kesempatan, May?" tanyaku hati-hati.

Kulihat kepalanya menggeleng. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ia terus menunduk.

"Pikirkan lagi, May. Jangan gegabah," bahu Maya berguncang. Ia menangis. Aku melirik kenkanan dan kiri. Tidak enak jika pengunjung atau karyawanku mengetahui keadaan wanita di depanku ini.

Kulihat Maya makin menunduk. Isakannya makin jelas terdengar.

"Sebaiknya kamu ikut ke ruanganku saja, May. Tidak enak kalau didengar dan dilihat orang lain," kuraih lengannya agar berdiri dan membimbingnya ke lantai atas, tempat ruanganku berada.

Aku membukakan pintu untuknya, dan mempersilakannya duduk di sofa panjang yang ada di situ. Kutuangkan air mineral ke dalam gelas dan kuberikan padanya.
Jujur, aku merasa sedih dengan keadaannya. Tangannya gemetar menerima gelas yang kusodorkan padanya.
Bergegas aku berjalan ke samping kiri meja kerjaku dan membuka pintu yang ada di sana dengan hati-hati.
Kulihat Cla tertidur di single bed yang biasa kugunakan untuk beristirahat saat aku lembur karena memeriksa laporan keuangan cafeku. Aku berniat melebarkan bisnisku, bekerja sama dengan Bram di bidang meubelair. Tapi aku masih harus banyak belajar mengenai itu semua.

Sincerity of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang