#6

38.6K 3K 23
                                    

Jo membawaku ke lantai tiga cafenya. Ke ruangan di mana aku pernah kemari bersamanya. Jo membuka pintu di sebelah kiri meja kerjanya.

"Kalau mau istirahat, kamu bisa istirahat di dalam," Jo mempersilakan aku masuk ke dalam ruang di sebelah ruang kerjanya.
Sebuah kamar yang tidak besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ada spring bed berukuran 120 x 200 cm di dalamnya, dengan dua meja kecil di samping kanan dan kirinyanya, dan sofa untuk dua orang di dekat pintu. Ada almari dua pintu berdiri kokoh, menyatu dengan tembok, juga kamar mandi di sudut kamar. Lengkap dan nyaman. Kuletakkan tasku di sofa dan mengamati ruangan itu.

Setelah puas melihat-lihat isi kamar, aku keluar melewati ruang kerja Jo, menuju taman berukuran sedang di luar. Taman yang sengaja dibuat agar tempat itu berudara sejuk dan tidak panas. Selain untuk memanjakan mata, juga untuk sirkulasi udara agar tidak pengap. Ada ayunan besar yang dinaungi kanopi lebar, menjadikan ayunan itu teduh. Dudukannya diberi busa, terlihat nyaman. Aku mencoba duduk di sana dan mengayunnya pelan.
Aku tersenyum saat kurasakan semilir angin sejuk menerpa wajahku.

"Kamu suka?" suara Jo menyadarkanku akan keberadaannya.

Aku mengangguk dan meneruskan menikmati buaian ayunan itu.

"Kalau kamu perlu sesuatu, aku di sini," beritahu Jo menunjuk meja kerjanya.

Aku mengangguk mengerti.

Hampir satu jam aku menikmati semilir angin di ayunan depan ruangan Jo, kebosanan mulai menghampiriku.

Aku turun dari ayunan dan melangkah masuk ke ruang kerja Jo.

Kulihat Jo sedang serius menerima telfon. Wajahnya terlihat berubah-ubah.

"Aku sedang di cafe," kudengar Jo menekan suaranya.

"......"

"Tidak bisa," ia menyahuti lagi setengah berbisik. Entah dengan siapa ia menelfon. Aku melewatinya, membuka pintu kamar di sebelah kiri meja kerjanya.

"......"

"Sebaiknya jangan, May," aku berhenti melangkah. May? Maya kah? Siapa sebenarnya Maya? Kenapa perasaanku jadi tidak enak seperti ini?

"......"

"Baiklah. Aku tunggu," suara Jo seperti menusuk-nusuk telingaku. Dia menunggu Maya? Apakah Maya akan menemui Jo?

Aku berbalik. Kulihat Jo mengusap tengkuknya. Wajahnya muram.

"Ada masalah, Jo?" tanyaku tak bisa menahan lidahku untuk bertanya. Keingin tahuanku membuatku lancang menginterupsi pembicaraannya.

Jo menatapku gelisah. Ia terlihat menelan ludahnya dengan susah payah.
"Eh, ya May. Oke," Jo memutus pembicaraan telfonnya. Lalu ia menatapku lurus.

"Maaf, Cla. Aku harus mengecek di bawah. Sebaiknya kamu istirahat saja," kata Jo menghindar. Ia berdiri dan berjalan menuju ke pintu.

"Jo," panggilku sebelum ia membuka pintu yang tengah di pegangnya.

"Ya, Cla. Kamu ingin sesuatu?" tanya nya memutar tubuh menghadapku.

"Mmm.... Kamu akan menemuinya?" tanyaku lirih. Aku tidak mengerti, mengapa ada perasaan tidak rela menyadari Jo akan bertemu wanita itu.

Jo menunduk, memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Dan kemudian anggukan kecilnya bisa begitu saja membuat hatiku terasa sakit.

Kupandangi punggung Jo yang perlahan menghilang di balik pintu dengan tatapan nanar.
Aku sadar, aku bukanlah siapa-siapa untuknya. Ia hanya seorang laki-laki baik hati, yang bersedia menjadi ayah dari anak yang kukandung.
Ia tidak mencintaiku. Ia hanya kasihan padaku. Pada anakku. Ia tidak ingin kejadian masa kecilnya terulang pada anakku.

Sincerity of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang