Part 10

14.1K 1K 42
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yoook absen yang masih begadang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yoook absen yang masih begadang....
Gegara nulis Babang Dwika yang ngeselin, asam lambung Mamak kumat, kalian yang baik hati ini ada rekomendasi obat atau jamu nggak ya? Kalau ada Mamak kasih tahu dong.

"Papa, Nada sakit Pa."

Papa? Aku menatap Bang Dwika menuntut penjelasan, dari cara anak kecil tersebut berbicara dengan Bang Dwika saja sudah menunjukkan jika hubungan mereka sudah sangat dekat, semakin aku tahu apa yang suamiku sembunyikan, semakin aku di buat tercengang dengan betapa jahatnya dia kepadaku.

Sidah sejauh mana Bang Dwika menerima kembali wanita jahat yang pernah menolaknya ini? Sudah berapa lama Bang Dwika berhubungan dengan wanita tersebut dan anaknya? Dengan dalih rasa iba dan kasihan, Bang Dwika menyingkirkanku dan Andika dari hidupnya demi euforia masalalu yang belum selesai di hatinya.

Aku tahu mencintai pria yang belum selesai dengan masalalunya adalah hal yang sulit, tapi aku tidak menyangka jika rasanya begitu menyakitkan. Aku saja hancur, apalagi Andika, jagoan kecilku tersebut mungkin tidak akan pernah memaafkan Papanya saat tahu ada anak lain yang di izinkan oleh Papanya untuk memanggil dengan panggilan yang sama.

Suara grasak-grusuk terdengar di ujung sana, terdengar jika ponsel tersebut beralih pengguna, "Mas Dwi, Mas dengar sendiri kan gimana Nada kangen sama Mas? Tolong kesini, Mas. Tolong......."

Tidak sabar dengan rintihan perempuan sundal tersebut aku meraih ponsel suamiku dan langsung berteriak keras padanya. "Berhenti mengganggu suami orang, Sialan! Urus sendiri anakmu itu dan jangan ganggu Ayah dari anakku! Kalau perlu uang, kerja! Kalau nggak bisa sana open BO sekalian."

Jahat? Terserah kalian menamakanku apa, tapi aku sungguh puas dengan umpatan yang baru saja aku keluarkan, bahkan saat suamiku merenggut ponselnya kembali dengan tatapan marah aku kembali menatapnya nyalang, sungguh aku muak mendengar tangis yang keluar dari ponsel tersebut, tangis buaya berpura-pura lemah, khas seorang Nana yang sedari dulu bergantung pada suamiku. Perempuan-perempuan pick me yang merasa dunia hanya berputar di sekelilingnya.

"Jahat sekali kamu Mbak Alia."

"Na, jangan dengarkan Alia, dia tidak bermaksud....."

"Nggak, aku memang sengaja melacur sekalian daripada tanggung mengemis pada suami orang!" Balasku saat suamiku berusaha menenangkan sahabatnya yang tidak tahir diri tersebut, membuat tangisnya semakin menjadi, dan itu membuatku tersenyum puas.

"Al, bisa nggak sih kamu nggak bikin runyam?"

"Aku? Bikin runyam? Harusnya kamu yang bilang itu ke sahabatmu! Ingat, dia nggak berhak atas kamu hanya karena kamu sahabatnya! Kamu adalah suami orang, suamiku, ayah dari anakku. Enak sekali dia minta duitmu di belakangku! Asal kamu tahu Nana, demi Allah dunia akhirat aku nggak ridho hakku di berikan kepadamu."

"Aku hanya meminta pertolongan pada Bang Dwika untuk Nada, tega-teganya........" di pertengahan tangisan heboh yang membuatku memutar bola mata malas dengan kelakuannya yang penuh drama tersebut, aku mendengar pekikan keras di ujung sana, entah apa yang terjadi yang jelas ada sesuatu hal pada anaknya, "Nad, Nada, Ya Allah kenapa kamu ini, Nak! Mas.... Mas Dwika, tolongin Nada, Mas. Nada pingsan. Tolong!"

Dan bisa kalian tebak, saat si princess pickme mengeluarkan kesedihannya, sudah pasti pahlawan kesiangan seperti suamiku yang gagal move on ini tentu tidak mau ketinggalan ajang untuk pamer, dengan tergesa suamiku mengeluarkan kata-kata untuk menenangkan.

"Aku segera kesana, Na. Tolong kamu yang tenang, percayalah, Nada nggak akan apa-apa!"

Ckckckck, sungguh aku benar-benar tidak habis pikir dengan suamiku ini, sebegitu pentingnya sahabatnya hingga aku tidak tampak lagi di matanya. Aku masih mendengar ucapan terimakasih dari Nana di ujung sana sebelum akhirnya telepon itu di matikan sebelum aku mundur menjauh dari Bang Dwika. Aku benar-benar tidak mengenali suamiku yang sekarang, beberapa saat yang lalu dia mengatakan jika dia menyayangiku dan aku adalah masa depannya tapi lihatlah, saat wanita dari masalalunya mengiba kepadanya, segala yang dia ucapkan padaku seolah terlupakan begitu saja.

Bang Dwika mencoba mendekatiku, ada kekesalan di matanya tapi dia berusaha menahan semua itu saat dia mendekat untuk berbicara kepadaku. "Alia, sekali ini saja, sekali ini saja Abang mohon pengertiannya. Kamu dengar sendiri kan kalau Nada sakit, paru-parunya nggak sehat, Al. Dia butuh bantuan, Abang janji ini terakhir kalinya Abang bantuin Nana......"

Hatiku sudah terlanjur kecewa, aku perempuan egois yang tidak ingin membagi cinta karena sebagai wanita aku pun paham jika Nana tidak kembali datang hanya sebagai sahabat melainkan sebagai wanita yang mencoba mengais rasa dari masalalunya. Salahkah jika aku jahat hanya karena mencoba mempertahankan harga diriku sebagai seorang istri dan mempertahankan rumah tangga yang selama ini baik-baik saja tanpa kehadirannya? Karena anak Nana bilang? Tidak, anak hanyalah salah satu alat untuk membuatnya bisa kembali pada suamiku. Berawal dari iba menjalar pada yang lainnya.

Aku menatap Bang Dwika dalam, berusaha menyampaikan perasaanku yang berkecamuk, tidak yahukah suamiku ini jika aku cemburu dan tidak rela?

"Kalau aku larang Abang buat pergi ketemu mereka, apapun alasannya, apa Abang mau dengerin aku?"
Kembali, Bang Dwika meraup wajahnya frustrasi, dan bagiku itu sudah cukup menjadi sebuah jawaban, tidak, aku tidak akan menangis untuk manusia jahat sepertinya, setidaknya tidak di hadapan Bang Dwika langsung. Alih-alih sebuah tangisan aku justru tertawa. Tawa kesedihan yang menyuarakan hancurnya hatiku. "Buat apa bertanya kalau Abang nggak mau menuhin permintaanku, Bang? Sok pergi, aku larang pun Abang tetap akan pergi, kan? Abang bisa berjanji kalau ini yang terakhir kalinya, tapi Nana nggak akan berhenti karena dia datang pada Abang karena tahu Abang belum melepaskannya. Potong leherku jika ucapanku tidak terjadi, dan lagi jangan bikin aku geli dengan kata-kata terakhir kalinya, Bang. Baru beberapa detik yang lalu Abang baru saja ketahuan setelah sembunyiin semua ini, kan?"

Tanpa menunggu jawaban dari Bang Dwika aku berbalik, tanpa aku sadari tanganku terulur mengusap dadaku yang sesak , 'jangan menangis, Alia. Tenang. Tenanglah, kamu bisa melawan rasa sakit hati ini.' Aku mengerti kini hadirku sama sekali tidak berarti untuk suamiku yang sibuk dengan masalalunya, jika bukan diriku sendiri yang menguatkan, lantas siapa lagi. Priaku membagi dadanya untuk menjadi sandaran wanita lain, wanita yang tidak berhak atas dirinya.

"Alia, maaf........"

Dan benar, kata maaf itulah akhir dari perdebatan kami pagi ini, priaku mengatakan maaf karena dia akhirnya pergi menemui masalalunya tanpa peduli jika hal tersebut membuatku kecewa.

"Bang Dwika......." Panggilku saat dia hampir mencapai pintu, membuatnya menoleh kembali ke arahku. "Congrats, Bang. Abang sudah kehilangan Alia yang selama ini sudah dampingi Abang. Raga Alia tetap ada disini, tapi Abang nggak akan pernah nemuin Alia yang cinta sama Abang dan Abang sendiri yang membunuhnya."

Jangan kira aku akan pergi dan membiarkan Nana menang, aku akan tetap berada di tempatku berada, menjadi Nyonya Dwikara Prasetyo dan menjadikan Nana menjadi bulan-bulanan di luar sana. Pelakor? Itu adalah nama yang akan aku berikan kepadanya mulai sekarang.

Aku seorang yang mengikuti arus, jika aku disakiti, maka aku akan totalitas menjadi seorang antagonis, termasuk bersaing dengan masalalu yang bukan levelku.

Bersaing dengan MasalaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang