Part 20

13K 1K 44
                                    

"Iya! Saya menyebut Nyonya Susanti Comberan karena beliau terus menyebut saya sampah! Diana, Mbak Eva, kalau kalian berdua di panggil mertua kalian dengan sebutan sampah selama 8 tahun penuh apa kalian tetap akan diam?"

Semua orang terperangah, terkejut karena selama ini Alia yang mereka kenal akan diam atas apapun yang mereka lakukan kepadaku, bahkan saat di acara-acara keluarga Prasetyo dimana aku di tempatkan di dapur tanpa berbaur dengan tamu yang lain oleh saudara-saudara mereka yang tidak menyukaiku, aku tetap diam dan bergeming, tapi sekarang? Tidak, aku dengan lantang mengiyakan apa yang terjadi.

Mereka semua, termasuk Papa mertuaku hendak mengonfrotasiku kenapa aku bisa sampai memaki Ibu mertuaku, mungkin Ayah mertuaku adalah satu-satunya orang yang bertanya apa penyebabnya, tidak dengan yang lainnya yang langsung mendakwaku sebagai seorang yang bersalah, tapi tidak mengizinkan mereka menyela. Aku memutar kembali rekaman suara dimana Ibu mertuaku tidak hentinya merepet dan memakiku. Rekaman itu memang panjang, tapi dengan dua kali lipat kecepatan, semua makian dari Ibu mertuaku ini disampaikan dalam waktu singkat.

Wajah semua orang di ruangan ini berubah masam, mereka awalnya ingin memarahiku, tapi pada akhirnya mereka hanya bisa berdeham kesal, sudah bukan rahasia umum jika Ibu mertuaku ini tidak menyukaiku, bahkan dimata beliau, kentutku pun akan menjadi sebuah kesalahan yang fatal.

"Saya hanya membela harga diri saya yang terinjak-injak, selama ini saya diam atas makian yang Anda berikan kepada saya karena saya merasa selama suami saya baik kepada saya, saya tidak akan mempermasalahkannya, tapi sekarang tidak ada yang melindungi saya lagi jadi ya jangan salahkan saya jika saya akan membalas setiap ucapan Anda, Nyonya Susanti, yang menyakiti saya." Aku menyingsingkan lengan kemejaku, menunjukkan pada mereka lenganku yang lebam-lebam, "lihat, bahkan saya di pukuli seperti ini apa lantas saya hanya bisa diam saja?"

"Kurang ajar kamu ya, Alia. Walau bagaimana pun aku ini Ibu mertuamu. Apapun yang terjadi dan saya lakukan kamu harus hormat kepada saya. Lagian benar, kan kamu bisa hidup enak karena Dwika, jangan sepelekan uang 3 juta, uang segitu banyak, lagian kamu ini cuma numpang hidup sama anakku saja lancang benar."

Tidak mau di salahkan dan terlanjur malu karena aduannya justru menjadi boomerang kembali masalah tentang istri yang hanya menjadi beban untuk suaminya di ungkit oleh Ibu mertuaku. Percayalah, saat sekarang ini aku hanya bisa memutar bola mata malas. Capek rasanya aku ngomong dan dijadikan tersangka untuk hal yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan.

"Nyonya Susanti...... sekarang lebih baik katakan saja apa yang Anda inginkan dari saya. Anda memanggil keluarga Anda datang kesini bukan tanpa alasan, kan? Silahkan katakan, mumpung Dika masih tidur. Karena jika dia sudah bangun saya tidak ada waktu, anak saya sedang sakit?"

Tidak ingin perbincangan semakin lama aku buru-buru memutuskan kemana arah pembicaraan ini agar selesai, toh aku sudah empet dengan suamiku yang diam membisu tidak berguna tepat di hadapanku. Bayangan tentang dia yang baru saja pergi bersama dengan Nana membuatku jijik.

"Loh, Dika kenapa? Sakit apa dia?"" Bersamaan Papa mertuaku dan  Mbak Eva bertanya, hal yang hanya aku balas dengan jawaban singkat.

"Nanti saya jelaskan, Pa? Mbak!"

"Iya, Ma. Mama tadi Mama ngomong di telepon katanya barusan mergokin Mbak Alia sama selingkuhannya di rumah. Ini gimana kronologinya? Mbak beneran selingkuh?" Tanya Diana dengan cepat, walaupun dia berusaha senetral mungkin tidak bisa dia sembunyikan nada sinis dalam suaranya. "Kalau iya, waaah Mbak parah sih! Suaminya berangkat dinas masak iya Mbak berangkat selingkuh."

Aku tersenyum masam, semua orang menyudutkanku dan secara tidak langsung mengaminkan aduan tidak berdasar tersebut. Pandanganku terarah ke arah Bang Dwika, untuk beberapa saat aku ingin mendengar pembelaannya, setidaknya aku ingin mendengar dia menyanggah tentang aku yang tidak mungkin berselingkuh, tapi bodohnya diriku karena dia diam saja bergeming di tempat, bahkan aku bisa melihat tangannya yang terkepal, kebiasaannya jika dia tengah di landa emosi. Pandangannya yang tajam pun tersorot ke arahku, menunggu bagaimana aku akan menjawab tuduhan yang terlontar.

"Tidak, aku sama sekali tidak berselingkuh." Bantahku tegas.

"Halah, maling mana ada yang ngaku, penjara penuh." Tidak membawakanku menjelaskan lebih jauh, Ibu mertuaku yang bersedekap dengan angkuh kini menyela, memotong penuh cibiran. "Kalau bukan selingkuh apa namanya ada cowok di rumah ini, pakai tatap-tatapan mesra lagi sebelum tuh cowok masuk mobil. Kalau bukan selingkuh apa namanya, hah?"

Kembali, aku menarik nafas dalam-dalam mengumpulkan kesabaran seluas samudra menghadapi beliau ini.

"Mama, bisa nggak sih Mama diem dulu! Nyerocos mulu, gimana Alia mau ngomong kalau Mama monyong terus!"

"Terus...... Belain aja nih mantu kesayangan!" Niat hati Papa mertuaku berusaha menengahi justru berakhir dengan cibiran, "perasaan Papa kalau ke si Eva sama si Reza nggak gini-gini banget dah! Makin curiga Mama jadinya."

"Curiga apa, Nyonya Susanti? Nyonya Susanti mau ngulang kalimat jahat Nyonya Susanti kalau saya ada selingkuh sama Ayah mertua saya?"

"Alia....." kembali, interupsi terjadi, dan kini tersangkanya adalah Mas Angga, kakak iparku yang menatapku dengan sorot mata tajam. "Bisa nggak sih kamu nggak manggil Mama pakai sebutan Nyonya Susanti. Risih saya dengarnya."

"Nggak bisa, Mas!" Jawabku lugas atas permintaannya, "karena sejak awal saya menjadi menantu di keluarga Prasetyo saya tidak di terima sebagai menantu oleh Ibu Anda. Satu-satunya mertua saya hanya Papa Anda. Dan mungkin saja sebentar lagi dengan Papa Anda pun hubungannya hanya akan sekedar Kakek dari anak saya."

Semuanya terkejut, dan untuk pertama kalinya setelah masuk ke rumah ini, Bang Dwika membuka suaranya dengan sangat dingin. "Apa maksudmu, Alia? Kamu masih mau membuat masalah? Nggak puas kamu permalukan aku?!!"

Permalukan dia bilang? Mendengar nada tanpa dosa dari Bang Dwika yang bertanya barusan ini membuatku tertawa, waaah sekarang aku paham darimana sikap menyebalkan dan penuh drama dari suamiku ini. Sungguh aku seperti tengah berbicara dengan Ibu mertuaku, demi Tuhan, aku bahkan nyaris tidak mengenali suamiku ini, sosoknya yang penyayang dan hangat tidak ada lagi.

Nana benar-benar dahsyat dalam mengubah sosok Bang Dwika, suamiku benar-benar dibuat bertekuk lutut di bawah kakinya. The power of first love, cinta pertama yang tidak pernah bisa di lupakan.
Dan sama seperti kisah Dilan dan Ancika, aku memang yang di pilih Bang Dwika untuk di jadikan istrinya, tapi cinta Bang Dwika sudah habis untuk Nana, bersamaku Bang Dwika hanya menghabiskan hidup dan aku tidak ingin hanya menjadi seorang penghibur untuknya.

Aku perlu suamiku yang mencintaiku, dan cukup hanya aku dalam hidupnya tanpa ada embel-embel orang lain sepertinya sahabatnya yang menjadi prioritasnya.

Mengabaikan Bang Dwika seolah tidak pernah bersuara, aku memilih menjawab tanya yang belum sempat aku jawab dengan benar.

"Pria yang Nyonya Susanti tuduhkan sebagai selingkuhan saya itu dokter muda tempat Dika di rawat karena luka akibat di rundung kakak kelasnya . Dia bukan selingkuhan saya, dia hanya manusia baik hati yang berkenan mengantarkan saya dan anak saya pulang karena iba melihat suami saya lebih memilih pergi dan peduli pada wanita lain dan anaknya di bandingan saya dan Dika, istri sahnya dan juga anak kandungnya."

"............,"

"Jika kalian semua menganggap saya pembohong, silahkan tanyakan langsung pada Papanya Dika ini. Gorok leher saya atau potong lidah saya sekalian jika saya berbohong."

"............"

"Dinas, Dinas.......... DIam-diam Ngajak jAlan Selingkuhan berkedok sahabat itu baru benar!"

Bersaing dengan MasalaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang