"Sebenarnya saya sudah agak lama memperhatikan ada yang ganjil Ma perihal Papanya Andika dan Mamanya Nada, mereka sering bertemu saat mengantar anak-anak ke sekolah dan berakhir dengan Mamanya Nada yang masuk mobil Papanya Dika. Bahkan kadang saya melihat Papanya Dika menjemput Nada bersama Mamanya Nada setelah Anda menjemput Dika."Kedua tanganku terkepal erat, kemarahan semakin merajaiku. Astaga, ternyata suamiku sejahat ini ya? Aku kira dia pria berdedikasi dalam pengabdiannya ternyata dia tidak lebih daripada buaya serakah.
"Mungkin itu sebabnya anak-anak yang lebih besar membully Dika, Ma."
Miss Beta meremas tangannya kuat, menahan gelisah dan rasa bersalah atas apa yang di ketahuinya tersebut. Apalagi saat pandanganku semakin nanar tidak bisa berkata-kata lagi, woooaaah, aku benar-benar dibuat gila dengan kelakuan suamiku dan sahabatnya tersebut, sudah sejauh itu ternyata hubungan mereka. Aku ingin marah tapi aku sudah sampai di titik tertinggi hingga tidak bisa marah lagi.
Aku mengusap wajahku keras, rasanya aku ingin melepas kepalaku barang sejenak saja karena aku benar-benar pusing dengan segala hal yang aku ketahui secara bertubi-tubi tanpa jeda ini. Mungkin karena melihatku begitu frustrasi membuat Miss Beta menaruh simpati, dengan takut-takut dia mendekatiku dan mengusap lenganku pelan, berusaha menenangkanku dari amarah dan emosi yang menggumpal di dalam dada.
"Maafkan saya Mama Dika, saya tahu semua hal ini tapi saya takut untuk memberitahukan kepada Anda. Saya takut di anggap lancang dan ikut campur urusan wali murid."
"Nggak apa-apa, Miss. Justru sekarang saya sangat berterimakasih karena Miss mau menceritakan semuanya kepada saya, saya titip Dika selama di sekolah ya Miss. Tolong jaga Dika agar tidak ada anak-anak usil yang melukainya, saya mohon dengan sangat bantuan Miss."
Demi anakku, memohon dan mengiba akan aku lakukan, tidak peduli Miss Beta akan melihat betapa menyedihkannya hidupku yang seringkali di sebut sempurna, semua kelemahanku sebagai seorang Ibu yang sedih karena anaknya harus melihat betapa cerai berainya orang tuanya kini terlihat di hadapannya.
"Tenang saja, Ma. Saya akan menjaga Dika, Mama Dika yang sabar ya. Allah saat ini sedang menunjukkan pada Mama Dika apa yang selama ini tidak bisa Mama Dika lihat, semoga Mama Dika bisa melewati semua ujian ini ya, Ma."
Kuaminkan doa tulus dari guru anakku ini, sedikit lega karena Miss Beta adalah orang yang bisa aku percaya, tidak ingin menahan Miss Beta lebih lama saat Miss Beta berpamitan untuk kembali ke sekolah aku mengiyakan, toh saat infus Dika sudah habis kami juga akan pulang.
Setelah di CT Scan keluar dan tidak ada luka dalam baik di kepala maupun tulang di diri Dika, tidak ada lagi yang perlu aku khawatirkan, usai mengurus administrasi dan lain hal akhirnya aku dan Dika bisa pulang.
Meski Dika termasuk bongsor untuk seusianya aku memilih menggendong putraku, stok kursi roda di UGD kosong membuat kami tidak kebagian, berat? Jangan ditanya, tapi untuk putraku tidak ada yang tidak bisa aku lakukan, jangankan menggendongnya, membongkar gunung pun aku yakin bisa melakukannya jika itu untuk Dika. Dia cintaku, belahan jiwaku, tujuan hidupku.
Sepanjang perjalanan dari UGD sampai ke tempat drop point taksi online, tidak hentinya aku menciumnya, membuat Dika yang sempat bersedih karena bullyan yang dia dapatkan perlahan mulai kembali tertawa. Tawanya adalah bahagiaku yang terbesar.
"Mama, Dika bisa jalan sendiri. Dika bukan anak kecil yang mesti di gendong Mama, badan Dika saja sama gedenya kayak Mama."
Gentleman sekali bukan putra kecilku ini? Aku berharap saat nanti Dika telah dewasa dia akan menjadi pria yang bertanggung jawab atas apa yang dia putuskan dan mempunyai hati yang baik kepada pasangannya. Tidak, aku tidak ingin Dika menjadi pria bodoh sepertiku dan Papanya.
"Dimata Mama, Dika itu bayi kecilnya Mama. Dika minta gendong sama Mama sampai ke rumah pun Mama masih kuat. Dika duduk dulu ya, Mama pesan taksi dulu." Candaku kepadanya sembari mendudukan Dika di kursi tunggu, aku berniat ingin memesan taksi online terlebih dahulu saat Dika kembali bertanya.
"Memangnya Papa kemana, Ma? Telepon Papa saja Ma biar Papa yang jemput kita!"
Memang benar permintaan Dika, bahkan sangat sederhana perkataan yang dia ucapkan, tapi kembali lagi menghubungi Bang Dwika tidak akan membuat perbedaan, Dika tidak tahu saja jika Papanya sekarang tengah bersama dengan wanita perusak yang membuatnya terbully, bahkan mungkin Papanya absen dari dinasnya, bukan maksudku untuk menyembunyikan kebusukan Bang Dwika, aku bukan perempuan naif yang akan menutupi kesalahan Papanya dari Dika sendiri, tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakan pada Dika apa yang sebenarnya tengah terjadi.
"Papa sibuk di Batalyon, Dika. Dika ingat kan pesan Mama, kalau Papa sibuk dengan tugasnya, kita nggak boleh ganggu Papa. Dika anak baik, kan?" Sebaik mungkin aku memberikan alasan pada Dika, tapi bukannya mendengarkanku pandangan Dika justru menerawang jauh ke tempat parkir mobil seakan dia tidak mendengar apa yang aku katakan. "Dik, Dika dengar Mama......"
Bukannya menjawab apa yang aku katakan Dika justru menepisku agar menyingkir, sikap kasar Dika yang tidak biasa ini tentu membuatku terkejut. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi pada putraku, tapi saat aku melihat ke arah mana Dika akan pergi, lututku terasa lemas. Pantas saja Dika murka, saat ini kondisinya sangat membutuhkan support dari kedua orangtuanya. Aku berbohong pun agar Dika tidak kecewa, tapi lihatlah, takdir sepertinya tengah habis-habisan membuka mataku lebar-lebar akan sosok suami dan Ayah yang selama ini aku dan Dika kagumi.
Lihatlah, di sana, di parkiran mobil tampak Bang Dwika menggendong sosok gadis kecil yang sepertinya sebaya dengan Dika, di sisi Bang Dwika tampak seorang wanita dengan gamis warna maroon dan berhijab cream lebar berjalan dengan khawatir, keduanya berjalan tergesa, hatiku terasa remuk berantakan saat melihat Bang Dwika memakai mobil keluarga kami untuk orang lain.
Dengan langkah yang terseok Dika mendekati mereka dengan aku yang berjalan di belakangnya, aku bisa merasakan amarah Dika yang meluap saat Papanya bahkan tidak sadar akan kehadirannya, mata Bang Dwika benar-benar sudah tertutup oleh hal lain, di otak dan matanya hanya ada Nana dan anaknya. Aku tidak mau menahan Dika, apalagi saat Dika berjongkok meraih kerikil, aku membiarkannya.
Dan benar saja, emosi Dika benar-benar tidak bisa dibendung lagi. Saat Papanya hendak mendudukkan gadis kecil bernama Nada tersebut di kursi penumpang, dengan sekuat tenaga Dika melemparkan batu yang ada di tangannya ke arah para penjahat tersebut dan melesat tepat sasaran ke kepala Papanya membuatnya terkejut. Bukan hanya Bang Dwika yang kaget, pekikan pun terdengar dari si Sundal bernama Nana, sungguh teriakan yang membuatku muak.
Jangan di tanya bagaimana sakitnya, tentu saja sakit sekali, aku bisa mendengar Bang Dwika mengumpat, tapi saat akhirnya dia berbalik dan mendapati pelakunya adalah anaknya sendiri, wajahnya seketika berubah pucat.
"Di...... Dika!"
"DIKA BENCI PAPA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersaing dengan Masalalu
RomanceAlia Wenang kira kehidupannya sempurna, menjadi seorang Ibu Persit dari Dwikara Prasetya dan juga ibu untuk Andika Prasetya yang tengah aktif-aktifnya di usianya yang sudah memasuki sekolah dasar meski, tapi sayangnya kesempurnaan yang dia rasakan n...