Part 11

13K 1.1K 56
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang kemarin protes kurang panjang, nih Mamak kasih yang puanjang biar puas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang kemarin protes kurang panjang, nih Mamak kasih yang puanjang biar puas.
Happy reading semuanya

Dari lantai dua rumahku, pria yang selama ini aku kira mencintaiku pada akhirnya pergi menemui masalalunya, terlalu jahatkah aku jika aku melarangnya untuk pergi berurusan dengan Nana? Wanita dari masalalunya bahkan dengan alasan anaknya pun aku tetap bergeming hatiku tidak tersentuh.

Tidak, aku bukan orang yang minim empati, aku akan menolong orang lain yang membutuhkan bantuanku, tapi tidak dengan Nana, sebagai wanita aku memiliki firasat kuat tentang maksud terselubung kembalinya dia membawa iba atas kehidupan rumah tangganya yang menyedihkan.

Menatap bayanganku di cermin meja rias, aku hanya bisa tertawa, derai air mata yang sedari tadi aku tahan kini meluncur bebas tanpa bisa di bendung, di dalam sunyinya rumah yang aku kira istana ini aku menangis sepuas hati, meluapkan sakit hati dan kecewa yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Aku kira aku satu-satunya, pemenang yang berhasil menyembuhkan patah hatinya namun ternyata aku keliru.

Betapa naifnya diriku berpikir demikian karena nyatanya tidak ada orang yang bisa menyembuhkan patah hati seseorang selain orang itu sendiri. Ternyata aku menghabiskan banyak tahun dengan sia-sia belaka. Dan yang membuatku semakin kecewa adalah Bang Dwika yang begitu berniat menyembunyikan hubungannya dengan Nana yang kembali akrab.

Katanya dia takut menyakitiku jika aku tahu Nana kembali, sungguh hal yang bodoh, jika tahu hal tersebut menyakitiku bukankah pilihan terbaik adalah tidak menanggapi hal tersebut. Sebagai wanita aku tidak akan menghubungi pria yang aku tolak cintanya demi sebuah bantuan.

Entah berapa banyak air mata yang aku habiskan untuk menangisi suamiku yang tidak tahu diri tersebut, aku merasa sangat lama hingga jam menunjukkan pukul 10 lebih sampai akhirnya aku lelah sendiri. Benar-benar lelah fisik dan psikis namun ada sebuah kelegaan, aku adalah tipe orang yang memilih memendam semuanya sendiri, bercerita pada orang bukanlah pilihan yang aku ambil karena menurutku mereka hanya akan memperunyam masalah. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa orang yang bisa aku anggap sahabat hanya bisa di hitung dengan jari sementara yang lainnya hanya sekedar mengenal tidak lebih.

Kembali lagi, selama ini aku merasa suamiku saja lebih dari cukup untuk menjadi sahabat dan teman dan lagi-lagi aku salah.

"Udah cukup nangisnya, Alia. Bertahan ya, jangan biarkan Nana menang. Tunjukkan kepadanya jika kamulah Sang Nyonya Alia Dwikara Prasetyo."

Menyemangati diriku sendiri aku menghapus air mataku, meraih handuk aku memutuskan untuk mandi, guyuran air yang menyegarkan mengurangi rasa sesak di dalam dadaku atas apa yang terjadi barusan. Tidak, aku tidak boleh berkecil hati karena suamiku pada akhirnya meninggalkanku dan pergi menemui sahabatnya, disini bukan aku yang salah tapi mereka. Sebagai istri dan Ibu aku tidak kurang satu apapun, jika ada yang kurang itu adalah rasa syukur dari suamiku.

Aku cantik, aku baik, aku mandiri, aku berpendidikan. Selama ini pun aku menjaga harkat dan martabat suamiku dengan sangat baik. Aku memperbaiki kekuranganku, dan aku melengkapi kekurangannya.

Itulah sugesti yang aku tanamkan di dalam otakku sembari memakai rangkaian skincare pagiku dan merias kembali wajahku yang sudah nggak karuan karena menangis. Karena Bang Dwika dan Jalang Nana, aku harus mandi dua kali. Ciiiiih, ngasih yang belanja istrinya tiga juta sementara dengan entengnya manusia gundik tersebut di berikan satu juta cuma-cuma untuk anaknya, dan entah berapa banyak lagi yang tidak aku ketahui. Nasib baik selain uang dari suamiku yang berjumlah tiga juta tersebut, aku memilih penghasilan tersendiri yang tidak diketahui suamiku, setidaknya saat aku sumpek seperti ini aku memiliki uang untuk membahagiakan diriku sendiri.

Demi Tuhan, sampai kapanpun aku tidak ridho. Berdosakah aku jika mengutuk uang yang seharusnya menjadi hakku dan Andika tersebut agar menjadi musibah untuk orang-orang jahat seperti Nana?

Selesai aku mematut diriku sendiri dan bersiap untuk pergi setelah menjemput Andika terlebih dahulu di sekolahnya aku baru menyadari jika ponsel yang sedari tadi aku acuhkan ternyata ada panggilan tidak terjawab dari wali kelas Andika, Miss Beta yang sudah memanggil lebih dari tiga kali.

Lebih dari tahu jika suamiku belum moveon dari masalalunya, telepon dari Walas saat jam pelajaran seperti ini jauh menakutkan, dengan degup jantung yang sudah tidak karuan rasanya aku menelpon balik Miss Beta, dan jantungku serasa lepas dari tempatnya saat Miss Beta menjawab dari seberang sana dengan suara yang tergesa.

"Ma, Mamanya Dika. Tolong segera ke rumah sakit Permata Hati, ya. Ini Dika ada di rumah sakit jatuh di dorong temannya dari tangga. Maaf ya Ma, maaf karena saya lalai."

Aku bahkan tidak sempat menjawab permintaan maaf dari Missnya Andika, aku buru-buru menutup telepon dan bergegas, mendapati Andika terluka adalah hal terakhir yang ingin aku dengarkan pagi ini, di tengah kekalutanku aku hendak menghubungi Bang Dwika, tapi ingatan tentang Bang Dwika yang meninggalkanku untuk pergi menemui wanita lain membuatku urung. Pada akhirnya yang aku dapatkan nanti hanyalah kekecewaan, cukup aku yang merasakan, jangan Andika juga.

"Bik, Bik Har......."

"Iya, gimana, Nyah?"

"Tolong keluarin semua pakaian dan barang-barang Bapak dari kamar atas ya, Bik. Semuanya, tanpa kecuali, terserah mau Bibik taruh mana, taruh depan di kolam Koi boleh, taruh di gudang juga nggak apa-apa. Pokoknya singkirkan barang-barang Bapak dari hadapan saya!"

Keterlaluan? Ya, mungkin saja. Tapi apa yang aku lakukan hanyalah membalas sedikit sakit hatiku. Bang Dwika menyingkirkanku dari hidupnya, aku pun bisa melakukan hal yang sama. Tanpa menunggu jawaban dari Bik Har yang kebingungan aku memilih untuk bergegas pergi, taksi online yang aku pesan sudah menungguku.

Tanpa Bang Dwika aku bisa melakukan segalanya sendiri, aku bukan wanita cengeng dan manja yang akan menggantungkan segala sesuatunya pada pria. Walau hatiku berkecamuk tidak karuan, aku berusaha tenang selama perjalanan menuju ke rumah sakit. Bukan hal yang sulit untuk mencari Miss Beta karena saat aku memasuki UGD, aku langsung melihat beliau, betapa terkejutnya diriku saat melihat bagaimana keadaan Andika.

"Mama........."

"Ya Tuhan, Andika! Kamu kenapa, Nak?!"

Kepalanya yang terperban masih menyisakan bekas darah, tidak hanya di kepalanya, tapi di lengan dan kakinya pun tidak luput dari goresan. Tidak, tidak mungkin Andika hanya jatuh dari tangga, jelas sekali luka gores tersebut menunjukkan jika sebelumnya Andika terseok-seok pada permukaan kasar hingga penuh luka gores. Hati Ibu mana yang tidak hancur saat melihat pemandangan tersebut, hatiku remuk berantakan saat putraku tersebut menangis di pelukanku.

"Cerita ke Mama kamu kenapa, Nak? Siapa yang sudah bikin kamu kayak gini? Temen-temen kamu bully kamu?"

Sungguh, aku berharap Andika akan menjawab tidak, pembullyan adalah hal mengerikan dalam pendidikan, dan anak sekecil Andika yang baru saja menginjak kelas satu terlalu kecil untuk mendapatkan perundungan, tapi sayangnya aku salah besar.

"Mama, aku diejek temen-temen, Ma. Kata mereka Ayah Dika itu mau buang Dika sama Mama. Kata temen-temen Ayah Dika tukang selingkuh. Kakak kelas Dika sering lihat Ayah main sama Kak Nada dan Mamanya."

Bersaing dengan MasalaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang