Part 14

13.7K 1K 73
                                        

"Di...... Dika!"

"DIKA BENCI PAPA!"

Dengan langkah lemas melihat bagaimana hancurnya Dika mendapati Papanya benar seperti yang di tuduhkan teman-temannya, aku menghampiri putraku tersebut. Entah Bang Dwika ini bodoh atau terkejut, atau memang dia lebih berat pada gadis kecil yang ada di gendongannya, bukannya segera menghampiri Dika, dia justru berdiri seperti orang tolol, gagu tidak bisa berkata-kata dan hanya bisa memandang Dika yang penuh dengan luka.

"MAMA! LIHAT PAPA, MA! PAPA NAKAL KE DIKA! PAPA JAHATIN DIKA! PAPA NGGAK SAYANG LAGI SAMA DIKA!"

"Dika, dengarkan Mama!" Aku berusaha menenangkan Dika, tapi putraku adalah seorang yang tidak bisa menahan emosinya, Dika bukan seorang yang pemarah tapi saat ada yang menyentil emosinya, apalagi seharian ini emosinya benar-benar tidak stabil karena perundungan, aku pun tidak bisa menghentikannya. Aku bahkan tidak bisa meraihnya saat Dika kembali mengamuk, bahkan luka di kepala dan sekujur tubuhnya  sama sekali tidak di indahkan oleh putraku, aku mungkin bisa menahan besarnya pengkhianatan dan luka yang di torehkan oleh suamiku, tapi tidak dengan putraku.

Psikis Dika benar-benar terguncang, ledekan teman-temannya benar-benar terjadi di depan matanya. Hingga akhirnya aku memilih pasrah, aku memilih diam dan membiarkan putraku melampiaskan amarahnya karena jujur saja, Papanya pantas mendapatkannya. Tidak, bukan hanya Papanya yang pantas mendapatkan hal tersebut, tapi juga dua orang jahat yang lancang masuk merusak keluarga kami.

Histeris Dika melemparkan semua kerikil yang ada di tangannya, bukan hanya ke arah Papanya, tapi juga ke arah Nada dan Nana. Saat kerikil di tangannya habis, Dika meraih segala hal yang bisa di raihnya dan kembali melemparkannya pada mereka, sementara aku mematung di tempat, Bang Dwika sibuk melindungi anak dari masalalunya, sungguh pemandangan yang membuatku muak dan membuatku semakin bertekad untuk diam saja. Biarlah, saat nanti Dika sudah tenang aku akan membujuknya, aku juga ingin melihat bagaimana Bang Dwika menempatkan dirinya. Dalam kondisi seperti ini dan melihat keadaan anaknya, tidak perlu orang pintar untuk tahu apa yang harus di lakukan.

"Dika, Papa jelaskan, Nak. Ya Allah, kenapa kamu bisa senakal ini?!"

Nakal? Bukannya meletakkan Nada dan segera meraih anaknya sendiri yang tantrum karena kecewa, Bang Dwika justru menyebut anaknya sendiri nakal. Dan percayalah, saat emosiku tersulut mendengarnya, Dika pun merasakan hal yang sama, kali ini dengan sekuat tenaga di sela tangisnya yang bercampur dengan tangis dari Nada, anaknya Nana yang ada di gendongan Bang Dwika, Dika melempar kuat-kuat batu terakhir yang di milikinya ke arah Nada, dan itu melesat tepat sasaran ke jidat anak perempuan tersebut yang langsung menjerit keras.

"PAPA! SAKIT PA!"

"DIKA!"

Bersamaan pekikan terdengar dari Nada dan Bang Dwika, di saat aku hendak meraih Dika karena takut Bang Dwika akan memarahi putraku, aku kalah cepat dari Nana, wanita dengan gamis maroon tersebut begitu beringas menghambur ke arah Dika, dan yang membuatku benar-benar murka adalah Nana yang mendorong Dika dengan keras hingga Dika terjungkal ke belakang.

"Dasar Anak Gila!!!! Anak setan tidak berpendidikan!"

Tanpa sempat menguasai keterkejutanku, aku langsung menyambar Dika dalam gendongan, mendapati putraku di sakiti oleh orang jahat macam Nana membuatku mendapatkan kehilangan kendali, entah kekuatan dari mana, dengan satu tangan yang menggendong Dika, secepat kilat aku menghampiri si Pelakor tersebut yang menatapku dengan beringas, tanpa ampun, aku melayangkan tanganku pada wajahnya, satu tamparan tidak cukup untuk membalas apa yang sudah wanita sundal ini lakukan kepada keluargaku, aku menambahnya dengan pukulan kedua bahkan di saat dia belum bisa bangkit dari rasa sakit tamparan yang pertama, melihatnya tersungkur sangatlah menyenangkan untukku, aku ingin di merasakan apa yang aku rasakan karena ulahnya.

"Berani-beraninya tangan kotormu itu menyentuh putraku, Sundal!"

"Mas Dwi!" Mendengar dia merengek memanggil nama suamiku membuatku semakin murka, dengan sekuat tenaga aku layangkan kembali tamparanku ke wajahnya.

"Maju sini, Bang." Tantangku pada suamiku. "Biar  Aku bunuh kalian berdua sekalian! Manusia-manusia jahat tidak tahu diri! Silahkan bela sahabat sekaligus selingkuhanmu ini dan akan aku buat kariermu berakhir." Tidak terhitung berapa kali aku menamparnya. Aku benar-benar seperti orang kesetanan, tidak, aku tidak menggila karena suamiku di rebut olehnya, jika saja dia tidak mengusik Putraku, aku tidak akan peduli. Tapi wanita Sundal ini sudah melewati batas, dia mencolek putraku, maka aku akan memutus tangannya yang kotor ini.

Suasana di parkiran rumah sakit dalam sekejap menjadi riuh, sedari awal Dika mengamuk kami sudah menjadi tontonan dan semakin menjadi saat aku menghajar Nana. Suara pekikan tangis anaknya Nana dan tangis Nana sendiri membuat suasana semakin chaos, terdengar mereka bersimpati pada Nana yang aku hajar habis-habisan dan mulai menebak apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku sama sekali sudah tidak peduli, bahkan jika seandainya nanti aku akan di laporkan ke Polisi atas penganiayaan aku sudah tidak memedulikannya.

"Alia, jangan gila kamu, Al. Kamu bisa bunuh Nana! Kasihan Dika, Al. Ya Allah, sadar Al!"

Ucapan Bang Dwika membuatku tersenyum sinis, masih ingat Tuhan rupanya dia, tapi dengan entengnya dia memberikan hakku pada wanita lain yang bukan siapa-siapanya. Aku memang berhenti memukuli Nana seperti yang di minta oleh Bang Dwika, tapi bukan karena menurutinya. Tidak membiarkan wanita ini lari dariku, kucengkeram erat gumpalan rambutnya yang tertutup hijab, wajahnya yang cantik kini mendongak, babak belur berantakan yang menunjukkan betapa brutalnya aku menghajarnya yang kini bersimbah air mata.

Tidak ada sedikit pun simpati di hatiku melihat keadaannya. Aku bisa menjadi seorang wanita yang lembut tapi saat seseorang mengusikku, maka aku bisa menghajar mereka atau sekalian mengirimkannya ke neraka. Terlalu lama menunggu karma untuk datang dan yang aku lakukan barusan adalah bentuk kemandirianku agar tidak merepotkan Tuhan.

"Sakit?" Suaraku begitu rendah, tapi bisa aku pastikan jika dia mendengar apa yang aku katakan. "Kamu nggak terima anakmu di lempar batu oleh anakku, tapi kamu dan anakmu dengan teganya merebut Ayah dari anakku! Enak sekali mulut kalian menyebut Ayah anakku juga dengan panggilan Papa, kamu pikir hanya karena kamu sahabat suamiku kalian berhak melakukannya, haaah? Kamu merasa kamu lebih berhak di bandingkan aku dan anakku. Rasa sakit yang kamu rasakan sekarang adalah balasan untuk sikapmu yang berani-beraninya menyentuh anakku! Tangan kotor pelakor sepertimu tidak pantas menyentuh anakku! Sekali lagi kamu berani mengusik anakku, kupotong tanganmu sekalian!"

Mengakhiri kebarbaranku menghadapi wanita sundal ini aku langsung mendorongnya hingga tersungkur menyedihkan dalam tangisnya yang langsung di hampiri oleh suamiku. Ckckck, bahkan sampai di akhir pun suamiku lebih mementingkan sahabatnya tersebut dibandingkan melihat kondisi putranya.

"Na, kamu nggak apa-apa, kan?" Pertanyaan suamiku kepada sahabatnya ini membuat semua orang membeliak, apalagi saat Bang Dwika menatapku penuh kemarahan, "Alia, kamu benar-benar keterlaluan, Abang benar-benar tidak mengenalmu. Abang kira kamu wanita lembut yang penuh pengertian, ternyata kamu tidak lebih daripada seorang wanita jahat."

Bersaing dengan MasalaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang