Part 21

12.7K 1K 61
                                    

"Jika kalian semua menganggap saya pembohong, silahkan tanyakan langsung pada Papanya Dika ini. Gorok leher saya atau potong lidah saya sekalian jika saya berbohong."

"............"

"Dinas, Dinas.......... DIam-diam Ngajak jAlan Selingkuhan berkedok sahabat itu baru benar!"

"ALIA!!!" Suara Bang Dwika menggelegar bergema di seluruh ruang tamu ini. "KETERLALUAN KAMU!" Menunjukku penuh murka, entah karena malu atau karena terhina.

"Justru kamu yang harus menutup mulutmu yang penipu itu, Bang!" Berbeda dengan Bang Dwika yang begitu meluap-luap emosinya, aku justru berlaku sebaliknya, "Kamu pikir aku ini tuli sepertimu sampai kamu harus membentakku seperti ini? Mulut besarmu yang hanya bisa kamu gunakan untuk membela wanita pujaanmu itu sangat mengganggu putraku!"

"Dika juga anakku!" Balasnya sengit, hal yang membuatku kembali terkekeh geli. Kadang manusia yang kembali berbunga-bunga dengan masalalunya itu memang lucu saat bertindak.

"Oooh ya, anakmu! Perasaan aku hamil Dika dengan batu. Soalnya Bapaknya lebih bela anak orang lain sih di bandingkan anaknya sendiri. Anak orang kejedot batu dikit saja panik, anak sendiri jadi bullyan karena bapaknya selingkuh sama emaknya sekolah aja pura-pura buta, moga saja tuh mata katarak beneran udah zholim sama anak sendiri!"

Jangan kira hanya dirinya saja yang bisa berbicara kasar, dia memakiku, maka aku akan menghinanya berkali-kali lipat. Seorang istri akan bersikap sama seperti bagaimana suaminya memperlakukannya. Aku selama ini selalu meninggikan derajatnya karena dia sangat menyayangiku, tipe family man yang menomorsatukan keluarga, tapi ternyata sikapnya selama kurang lebih 8bulan sampai 6 bulan yang sibuk, kesibukan yang aku kira karena dinasnya tapi ternyata dia sibuk merendam diri pada kenangan masalalu yang kembali.

Aku dan Bang Dwika berhadapan, saling menatap dengan benci seakan tidak pernah ada cinta di antara kami, seolah tidak pernah ada kebersamaan yang menyelimuti. Kami berdebat bahkan sampai lupa kalau ada keluarga besarnya yang menatap kami campuran kebingungan dan terkejut.

"Abang benar-benar nggak kenal sama kamu lagi, Alia. Kamu monster! Tidak punya hati nurani!"

Aku menggeleng pelan, kecewa dan sakit hati mendapatkan kalimat serupa darinya untuk kesekian kalinya selama seharian ini. "Yang berubah kamu, Bang. Yang jadi monster itu kamu, kamu berubah banyak dan lupain aku bahkan Dika. Perbuatanmu di rumah sakit adalah batas akhir kesabaranku memaklumimu yang rasa antusiasmu terhadap kembalinya masalalumu." Air mataku menetes pelan, tidak, aku tidak menangis bahkan tidak ada isakan, tapi air mataku menghambur deras tanpa bisa aku cegah. "Apa definisi baik menurutmu itu aku diam saja saat anakku di dorong oleh sahabatmu itu? Apa definisi punya hati nurani itu dengan membiarkanmu bersama dengan wanita lain di atas diriku dan Dika? Jika iya itu arti baik dan penuh hati nurani, aku ingin menjadi jahat sekalian. Kurangnya apa aku menjadi istri dan menantu di rumah ini? Katakan saja satu kekuranganku, aku ingin mendengarnya dari kalian semua!"

Aku memandang sinis mereka semuanya yang terdiam, aku menunggu mereka menampik kemarahanku tapi semua hanya memandangku seakan aku adalah wanita gila yang baru saja mengamuk.

"Kalian tahu, bukan aku yang berselingkuh! Tapi Bang Dwika yang berselingkuh! Terimakasih Nyonya Susanti, berkat Anda saya tidak perlu repot-repot mengadukan kelakuan bejat putra kalian yang sudah bermain hati!"

"AKU TIDAK BERSELINGKUH, ALIA! HARUS BERAPA JUTA KALI AKU KATAKAN DARI TADI PAGI, AKU TIDAK BERSELINGKUH! BERHENTI MENUDUH........"

Plaaaakkkkkkkk, tamparan keras menghentikan bentakan Bang Dwika kepadaku, rasa tidak percaya terlihat di wajahnya saat Papanya sendirilah yang menamparnya keras, selama ini sosok Yugo Prasetyo begitu dekat dengan Bang Dwika, bahkan menurut mertuaku Bang Dwika adalah gambaran masa mudanya. Seorang Perwira Muda yang penuh tekad dalam mengabdikan diri dan jiwanya pada Negeri ini. Satu hal yang tersirat di wajah Ayah mertuaku adalah beliau yang begitu kecewa.

"Papa! Kenapa Papa mukul Dwika! Dia anakmu, Pa. Kenapa Papa mukul Dwika hanya demi orang lain sepertinya!" Ibu mertuaku yang histeris tersebut berteriak tidak terima pada Ayah mertuaku, dia menunjuk Ayahku dan menghambur memeluk putranya, kebencian yang tersirat di wajahnya semakin besar berkobar bercampur dengan kemarahan.

"Orang lain yang kamu maksud ini adalah putri dari sebuah keluarga yang anakmu ambil menjadi istrinya! Tanggung Jawabnya dunia akhirat." Suara lantang dari Ayah mertuaku membuat Ibu mertuaku ini langsung terdiam. Beliau tidak pernah marah pada istrinya walau sikapnya sangat menyebalkan, tapi kali ini sama sepertiku, beliau benar-benar kehabisan kesabaran. "Kamu ini menginjak-injak harga diri orang lain seenaknya saja tanpa berpikir jika menantumu ini adalah orang yang paling di sayang di keluarganya! Kamu nanya barusan hanya demi dia, aku memukul anakmu! Ya, Papa akan menghajar siapapun manusia yang salah! Selama ini yang membuat Papa diam atas ulah Mama karena rasa sayang Papa, rasa hormat Papa ke Mama karena sudah memberikan Papa tiga orang anak! Tapi melihat Mama membela anak Mama yang sudah mulai salah arah Papa tidak bisa diam saja! Apa kamu mau Papa perlakukan Mama seperti apa yang Dwika lakukan barusan ke Alia, jangankan membentak seperti yang Dwika lakukan, baru seperti ini saja kamu sudah hampir menangis! Jangan sekali-sekali Mama merendahkan Alia lagi jika tidak ingin Papa mengungkit dari mana sebenarnya Mama ini berasal."

Entah apa yang ada di masalalu Ibu mertuaku karena kali ini Ayah mertuaku benar-benar sukses membungkam bukan hanya Istrinya tapi seluruh anak-anaknya. Beranjak dari istrinya Ayah mertuaku berhadapan kembali dengan putra keduanya. Sungguh, aura mencekam keluar dari Ayah tubuh mertuaku, selama ini beliau sangat menyayangiku hingga aku lupa jika beliau adalah mantan Jendral dengan karier yang gemilang dan ketegasannya tidak pernah di ragukan lagi.

"Apa seperti ini caramu memperlakukan dan berbicara dengan istrimu selama ini, Dwikara?" Tidak ada lagi nada tinggi di suara beliau, semuanya beliau ucapkan dengan tenang tapi mendengarnya membuat bulu kudukku serasa berdiri. Aura membunuh terasa begitu kental sekarang ini, persis seperti hakim yang tengah menyidang seorang pesakitan. "JAWAB! BISU KAU HAH? JAWAB PAPAMU INI DENGAN LANTANG SEPERTI KAMU MEMBENTAK ISTRIMU TADI!"

Di tengah badai yang menggulungku hingga aku nyaris mati karena sesak, sikap Ayah mertuaku yang tidak pilih kasih ini membuatku serasa mendapatkan setitik harap mendapatkan keadilan atas apa yang terjadi padaku.

"Tapi Dwika benar-benar tidak berselingkuh dengan Nana, Pa! Dwika hanya membantu Nana dan anaknya. Jika bukan Dwika siapa lagi yang akan membantunya? Orangtuanya bangkrut, suaminya tidak peduli. Dia hanya sendirian, Pa. Papa tahu sendiri bagaimana dekatnya Nana dengan kita. Kenapa hanya karena membantu semua orang menyebut Dwika berselingkuh! Perihal kejadian di rumah sakit, asal Papa tahu, Alia yang berbuat barbar, dia menampar Nana berulangkali!, bagaimana bisa Dwika diam, Pa. Siapa yang akan melindungi Nana jika Dwika membela Alia?"

Geram, kesal, gemas. Aku benar-benar tidak habis pikir cara berpikir Bang Dwika ini. Otaknya benar-benar sudah habis di kuasai oleh Alia, sampai di titik ini aku curiga jika Bang Dwika benar-benar di pelet oleh Nana.

Bego dan tololnya sampai 11 tikungan tajam kehidupan.

Bersaing dengan MasalaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang