"Apa dokter magang sesantai ini sampai dokter bisa meluangkan waktu menemui Dika?"
Menunggu Dika yang kini masuk ke dalam ruangan dokter Amira, aku memilih menunggu di luar ruangan. Kursi dengan sandaran ini terasa begitu nyaman saat aku memilih merebahkan punggungku saat dokter Abra menyerahkan secangkir kecil kopi untukku. Rumah sakit bagus lengkap dengan pelayanan yang bagus pula. Mesin kopi tersedia di setiap lorong dan lantai membuat siapapun yang tengah menunggu mereka yang berkonsultasi menjadi nyaman.
Dan yah, rasanya enak.
"Sebenarnya tidak, Mbak. Apalagi ini akhir tahun magang saya, semua kasus sudah saya dapatkan, tinggal beberapa langkah menjadi dokter umum sebelum ambil spesialis. Intinya saya sibuk, tapi saya juga ingin bertemu dengan Dika. Mbak mungkin sudah bosan mendengarnya, tapi Dika membuat saya teringat pada diri saya sendiri."
Aku memilih menyesap minumanku dan mendengar dokter Abra bercerita, rasanya ini jauh lebih baik saat mendengar orang lain berbicara, tidak peduli apa yang dibicarakan, aku tidak suka kesunyian untuk sekarang ini karena itu membuatku teringat akan apa yang terjadi pada hidupku.
"Dan sepertinya Mbak Amira juga merasakan hal yang sama saat saya menceritakan tentang Dika. Mbak tenang saja, kakak saya akan mencoba yang terbaik agar Dika bisa berdamai dengan semua hal yang mengguncang jiwanya."
Aku menegapkan tubuhku saat dokter Abra tersebut melihat ke arahku sembari tersenyum, seakan dia tahu apa yang menjadi bebanku sebenarnya. "Bukan cuma Dika yang harus di sembuhkan, Mbak. Tapi hati Mbak juga, segalanya akan sia-sia jika hati Mbak juga terluka. Seharusnya saya bertanya hal ini dari awal saat kita bertemu tadi, tapi itu tidak bisa saya lakukan karena ada Dika. Saya sudah melihat VT permintaan maaf Suami Mbak dan keadaan Mbaklah yang saya khawatirkan. Jadi, bagaimana keadaan Mbak sekarang? Are you ok, Mbak?"
Kalian tahu apa yang aku rasakan saat dokter Abra bagaimana keadaanku sekarang? Aku kira aku sudah baik-baik saja dengan apa yang terjadi, aku kira aku adalah wanita kuat yang tidak akan meneteskan air mata mendapati seorang yang sangat aku cintai pada akhirnya pergi meninggalkanku begitu saja, nyatanya saat seorang bertanya bagaimana keadaanku sekarang, air mata ini mengalir dengan sangat derasnya.
Sungguh, ini adalah tangis terhebatku selain di atas sajadah yang setiap malam aku bentangkan, aku menangis terisak hingga sesenggukan. Tidak, aku sama sekali tidak baik-baik saja. Bagaimana keadaanku, aku benar-benar hancur berkeping-keping hingga rasanya aku nyaris mati merasakannya. Dibalik wajah yang aku sembunyikan di balik telapak tanganku rasa sakit itu tergambar jelas di balik air mata yang mewakili lebih dari sekedar kata-kata.
Entahlah. Segala emosi itu meluap tidak bisa aku bendung dan aku sembunyikan, bahkan untuk sekedar menahannya agar tidak membuat diriku menjadi perhatian beberapa orang yang melintas pun aku tidak bisa. Melihatku begitu menyedihkan seperti ini aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentangku. Tapi aku sama sekali tidak peduli dengan bagaimana pandangan orang karena nyatanya terkadang kita terlalu memperhatikan orang lain yang bahkan tidak peduli dengan perasaan kita sendiri.
Sebuah tepukan pelan aku rasakan di bahuku, "nangis saja, Mbak. Manusiawi kok Mbak menangis itu. Kadang kita nggak bisa menangis di depan orang yang dekat dengan kita karena takut kesedihan kita menjadi sebuah beban, tapi Mbak bisa menangis sepuasnya disini, Mbak. Luapkan segalanya dan yakinlah separuh beban yang menghimpit dada Mbak akan menghilang setelah ini."
.............................. ........................
Part 30 dari Bersaing dengan Masalalu bisa kalian baca secara lengkap di KaryaKarsa, KBM, playbook.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersaing dengan Masalalu
RomanceAlia Wenang kira kehidupannya sempurna, menjadi seorang Ibu Persit dari Dwikara Prasetya dan juga ibu untuk Andika Prasetya yang tengah aktif-aktifnya di usianya yang sudah memasuki sekolah dasar meski, tapi sayangnya kesempurnaan yang dia rasakan n...