"Terimakasih ya sudah menghibur Dika, selama ini Papanya adalah rolemodenya, sosok pahlawan yang selalu di kagumi tapi akhirnya Papanya juga yang mengecewakannya."
Aku menerawang jauh keluar jendela, malu sebenarnya mendapati hidupku yang menyedihkan di ketahui banyak orang. Sungguh aku sama sekali tidak menginginkan rasa iba dari orang lain, tapi setiap orang yang melihat betapa sakitnya suamiku yang lebih mementingkan sahabatnya mau tidak mau pasti terusik. Orang lain saja bisa peduli kepadaku, tapi Bang Dwika justru sebaliknya.
Rasa sayang yang dia miliki untuk Nana sampai di taraf yang tidak masuk akal, bahkan 8 tahun aku hidup bersama dengannya sama sekali tidak berkesan untuknya. Menghadapi suamiku membuatku benar-benar ingin menangis darah. Jika aku tidak ingat aku memiliki Tuhan mungkin aku sudah gila sekarang ini karena dicampakkan begitu saja.
"Bukan cuma anak Mbak yang sebenarnya butuh hiburan, Mbak juga perlu." Mendengar tanggapan dari Abra aku kembali menatapnya, dari Dashboard kecil tempat bisanya menyimpan kartu tol, dia memberikan kartu nama kepadaku. "Kalau Mbak butuh tempat bercerita, Mbak bisa hubungi Kakak saya, dia seorang pendengar yang baik, saya rasa Dika juga akan bisa nyaman dengan kakak saya. Bukan maksud saya menggurui, tapi jangan sampai apa yang Dika lihat tadi mengganggunya di masa depan, Mbak."
Aku menatap kartu nama tersebut untuk beberapa saat. Amira, psikolog. Seorang psikolog yang praktik di sebuah rumah sakit besar dan memiliki praktik mandiri. "Maaf ya terlalu banyak merepotkan, Bra."
"Bukan masalah, Mbak. Saya senang bisa membantu, sudah saya bilang saya pernah ada di posisi Dika dan itu membuat saya memiliki banyak ketakutan saat saya beranjak dewasa. Saya takut jika satu waktu nanti saya menjadi monster yang sama seperti dia yang pernah menyakiti saya di masalalu. Tidak ada yang tahu tentang luka saya itu, Mbak. Anda orang pertama yang tahu karena Anda persis sama seperti Ibu saya. Cukup Ibu saya yang terlambat menyadarinya, jangan Mbak juga."
Waaah, cara berbicara dokter Abra dan menyampaikan satu kisah yang tersirat penuh kesedihan tapi menggunakan bahasa yang begitu santai membuatku kagum padanya. Percaya deh, satu waktu nanti dokter muda ini akan menjadi dokter favorit dari para pasiennya. Sosoknya yang cool tapi penuh simpati yang hangat ini membuatku mendapatkan sebuah inspirasi untuk pekerjaanku.
Tidak banyak perbincangan di antara kami setelahnya, karena setelah terlepas dari kemacetan, tidak perlu waktu lama untuk kami sampai di rumahku, tempat yang setidaknya masih menjadi istanaku meski kini Rajanya sibuk dengan masalalunya yang kembali.
"Biar saya yang gendong Dika saja, Mbak." Tepat saat aku meminta Abra berhenti di depan rumahku, pria muda ini dengan cekatan turun dari mobilnya dan membuka pintu di sisi Dika, sikapnya yang tanggap akan keadaan ini membuatku semakin risih karena terlalu merepotkannya, tapi belum sempat aku menolak, dokter Abra kembali menambahkan, "sama sekali nggak ngerepotin Mbak, saya yakin tangan Mbak pasti pegal-pegal habis gebukin kecoa yang pakai kain kafan!"
Mau tidak mau aku tertawa mendengar selorohan dokter Abra ini, tidak ingin berdebat lebih panjang yang akan berakhir dengan Dika yang kepalanya pasti masih nyut-nyutan sakit apalagi emosinya yang baru redam, aku membiarkan dokter Abra menggendongnya. Agar tidak ada fitnah atau apapun yang akan membuat masalah, aku membuka pintu gerbang dan juga pintu rumah lebar-lebar. Kamar Dika ada di lantai dua di dekat kamarku, tapi karena tidak mungkin aku membiarkan dokter Abra masuk sampai sejauh itu, aku memintanya untuk menidurkan Dika di sofabed depan ruang TV.
Dengan perlahan dokter Abra menidurkan Dika, seakan takut jika salah-salah gerakan, putraku tersebut akan bangun. Sungguh rasanya aku begitu terenyuh saat melihat Dika yang tertidur dengan wajah polosnya.
Dika, maafin Mama, ya. Kembali untuk kesekian kalinya aku meminta maaf kepada putraku. Aku tumbuh besar di lingkungan dimana keluargaku adalah keluarga sempurna yang membuatku tidak pernah kekurangan kasih sayang. Aku ingin memberikan hal yang sama untuk Dika, sayangnya ujian tidak terduga justru datang di saat Dika sudah bisa memahami dunia.
"Biarkan Dika beristirahat, Mbak. Jangan lupa ganti perban untuk luka, dan minum obat-obatan yang di berikan oleh dokternya tadi."
"Terimakasih, Abra."
Dokter Abra mengangguk sembari berlalu keluar, "kalau begitu saya langsung pamit, Mbak."
Kembali aku mengangguk, tidak, aku memang tidak menawarkan dia minuman terlebih dahulu sebagai bentuk sopan santun karena hal tersebut akan membuat runyam keadaan. Aku tengah marah pada suamiku karena dia begitu baik hati pada wanita lain, oleh karena itu aku tidak mau keadaan berbalik menyerangku. Tidak akan aku biarkan Bang Dwika memiliki kesempatan untuk menjelek-jelekkanku.
Tapi sayang seribu sayang, di saat dokter Abra hendak masuk ke dalam mobilnya, sebuah mobil berhenti tepat di depan mobil dokter Abra membuat jalan terhalangi. Melihat sedan mewah khas Ibu-ibu pejabat yang sangat aku hafal milik siapa tersebut seketika hatiku mencelos.
Kenapa takdir menaik turunkan emosiku seperti ini! Tidak adakah hari lain untuk Ibu mertuaku berkunjung, karena percayalah, Ibu mertuaku adalah orang terakhir yang ingin aku temui sekarang ini di saat hatiku amburadul dengan anaknya. Jika kalian bertanya-tanya kenapa aku sedongkol ini karena kehadiran Ibu mertuaku sementara aku begitu hormat pada Ayah mertuaku jawabannya adalah karena Ibu mertuaku sangat berbeda dengan Ayah mertuaku.
Dua orang suami istri tersebut adalah dua orang dengan perangai yang sangat berbeda. Di saat Ayah mertuaku adalah orangtua terbijak setelah orangtuaku, maka Ibu mertuaku adalah kebalikannya. Dia membenciku karena aku merawat Ayah mertuaku saat sakit, dan rasa benci itu semakin besar karena Bang Dwika dekat dan akhirnya menikah denganku. Bagi Ibu mertuaku yang khas dengan rambutnya yang di blow dengan sangat cetar dan jangan lupakan cincin berlian segede punya Hotman Paris, aku adalah sosok paling menyebalkan dalam hidupnya.
Benar saja sesuai dugaanku, bergegas turun dari mobil mewahnya Ibu mertuaku ini langsung menghampiriku dan menatap dokter Abra untuk beberapa saat dari ujung kaki hingga ujung kepala berulang kali seakan tengah menilai, Abra yang tidak tahu apa-apa tentang mertuaku ini justru cengar-cengir sopan sembari mengulurkan tangannya hendak memberi salam.
Sopan sekali, bukan?
Sayangnya tangan tersebut di anggurkan oleh Ibu mertuaku yang kini justru menatapku dengan pandangan sinis, tanpa aba-aba dan tidak aku duga, tas tangan yang begitu hits di kalangan sosialita tersebut mendadak mendarat menghantam bahuku dengan sangat menyakitkan.Tidak berhenti hanya sampai di sana, umpatan keras sarat hinaan pun aku dapatkan. "DASAR MENANTU KURANG AJAR, SUAMI DINAS MALAH MAIN GILA SAMA BERONDONG! MEMANG DASAR MENANTU SAMPAH!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersaing dengan Masalalu
Любовные романыAlia Wenang kira kehidupannya sempurna, menjadi seorang Ibu Persit dari Dwikara Prasetya dan juga ibu untuk Andika Prasetya yang tengah aktif-aktifnya di usianya yang sudah memasuki sekolah dasar meski, tapi sayangnya kesempurnaan yang dia rasakan n...