"Papa akhirnya pergi ya, Ma."
Pagi itu pasca perdebatan yang di hadiri oleh keluarga Bang Dwika, ucapan Dika di pagi harinya lah yang membuatku tersentak. Ada rasa ngilu yang tidak menyenangkan aku rasakan saat putraku yang masih enggan bersekolah karena bullyan yang dia dapatkan tersebut mengungkapkan apa yang dia rasakan saat melihat kursi yang seharusnya Ayahnya duduki kini kosong.
Ya, sejak Bang Dwika berkata jika dia pasrah dengan keputusan apa yang akan aku ambil atas hubungan kami ini tidak sesuai dengan apa yang di harapkannya, dia pergi begitu saja. Aku tidak tahu apa Bang Dwika pulang ke rumah orangtuanya, atau malah pulang ke rumah Nana. Aku tidak tahu dan tidak ingin mencari tahu. Dalam hal ini aku menyerahkan semuanya pada takdir. Aku yakin Tuhan tidak akan memberikan ujian melebihi kekuatanku.
Aku sudah memutuskan untuk bertahan dengan segala milik Bang Dwika yang kini aku genggam dengan erat, dan perjuangan demi hak Dika ini akan aku lakukan sampai di akhir. Bersaing dengan masalalunya, dan akan aku tunjukkan bagaimana aku akan menjadi pemenang. Saat itu, yang aku ingat hanyalah aku menggenggam tangan Dika dan meyakinkannya satu hal.
"Untuk sekarang mungkin Dika nggak akan bisa sama Papa. Kalau Dika mau sama-sama Papa kayak dulu lagi, Dika harus banyak berdoa, minta sama Tuhan kebaikan hati-Nya agar mengembalikan Papa Dika yang dulu agar kembali ke jalan yang benar. Selama Tuhan belum mengabulkan doa Dika, Mama janji Dika tidak akan kekurangan bahagia sedikit pun. Dika tahu sendiri kan kalau Mamanya Dika ini superhero yang bisa menjadi apa saja."
Terlalu muda untuk tahu masalah apa yang menggulung orangtuanya, tapi Dika berusaha memahami apa yang aku katakan, saat itu aku melihatnya tersenyum kecil, membuatku hangat dan lega mengira semuanya akan baik-baik saja, tapi ternyata aku keliru teman. Putraku, dia tidak baik-baik saja, karena setelah hari itu aku melihatnya mengurung diri di kamar, terdiam dan tanpa ekspresi apapun. Dika sama sekali tidak mengeluh, tapi dia pun tidak melakukan apapun, seharian dia akan menghabiskan waktunya di hadapan jendela kamar, matanya menatap kosong ke arah gerbang rumah, kebiasaan yang selalu dia lakukan dulu saat menunggu Ayahnya kembali dari Batalyon.
Sayangnya, nyaris sepuluh hari Ayahnya tidak ada kembali ke rumah, dan selama itu pula Dika seperti ini. Dia tidak mau berangkat sekolah dan yang Dika lakukan hanya menggulung dirinya di balik selimut saat aku membangunkannya sebelum kembali dia melanjutkan bengongnya di depan jendela.
Jangan mengira aku baik-baik saja dengan semua keadaan ini. Awalnya aku begitu percaya diri berkata pada Bang Dwika jika aku bisa berdiri di tempatku ini tanpa bantuannya, tapi ternyata ini hal yang sulit. Aku pun juga stres dengan rumah tanggaku yang hancur berantakan dalam sekejap, bahkan pekerjaanku sebagai penulis di berbagai platform online, pekerjaan yang selama ini tidak diketahui siapapun dan membuatku mandiri secara finansial meski suamiku mengatur keuangan ruang tangga sepenuhnya, berantakan tidak karuan.
Berhari-hari aku mencoba memaklumi sikap Dika ini. Tapi sampai di hari kesebelas aku merasa aku tidak bisa membiarkan putraku seperti ini terus-menerus. Hingga akhirnya kini aku sudah memutuskan untuk membawa Dika ke psikolog yang di rekomendasikan oleh dokter Abra tempo hari.
"Dika, kamu siap-siap mandi, ya. Mama mau ajak kamu pergi keluar."
Dika yang termangu di depan jendela menggeleng pelan, bibirnya masih tersenyum ke arahku tapi tatapan matanya semakin kosong. "Kita mau kemana, Ma? Mama sudah ke sekolah Dika buat ketemu anak-anak jahat itu, Ma?"
"Mama belum ke sekolah Dika. Mama akan kesana kalau Dika juga mau sekolah."
Dika membuang wajah, enggan untuk menatapku. "Dika nggak mau sekolah, Ma. Di sekolah pasti Dika bakal lihat Papa sama Mbak Nada. Dika benci mereka."
Aku mendudukkan diriku di atas ranjang Dika, warna biru dengan gambar Lightning mcquuen tersebut adalah sprei yang di hadiahkan Bang Dwika untuk Dika saat putraku tersebut berusia 5 tahun. Banyak sprei di miliki Dika, tapi sprei ini adalah favoritnya. Dika adalah seorang yang sangat menghargai hadiah, meski sederhana tapi karena ini adalah hadiah dari Papanya menjadi begitu istimewa. Hal sederhana seperti inilah yang membuatku mau tidak mau teringat kembali pada kenangan manis akan utuhnya rumah tanggaku.
Terlalu larut akan kenangan tentang suamiku dan kebahagiaan kami dulu membuatku tidak sadar jika Dika kini duduk di sebelahku. Dan yang membuatku terkejut adalah tangan kecil tersebut mengusap air mataku yang tanpa aku sadari telah menetes tanpa henti.
Ya Tuhan, kenapa Engkau membuat hatiku rapuh sementara ujianmu begitu besar?
"Mama juga sedihkan Papa nggak ada? Jangan sedih, Ma. Dika janji Dika nggak akan nakal kayak gini lagi, besok Dika masuk sekolah, kok. Mama jangan sedih kayak gini." Aku tidak ingat kapan terakhir kali Dika merengek meminta sesuatu dariku, tapi sekarang lihatlah, dia merengek meminta agar aku tidak bersedih sementara dirinya pun sedih hingga kehilangan keceriaan. Air mata yang selalu susah payah aku tahan kini meluncur dengan bebasnya bahkan lengkap dengan isakan saat aku meraih Dika ke dalam pelukanku.
Sesak, jangan di tanya. Setiap harinya aku seperti nyaris gila karena hal ini, bersikap seakan tidak ada yang terjadi adalah hal yang luar biasa sulit, tidak ada tempatku mengadu akan kekecewaanku selain pada Tuhan, aku tidak bisa bercerita kepada orangtuaku karena aku tidak ingin membebani mereka, setiap malam dan setiap sujudku aku habiskan dengan tangis air mata menumpahkan segala hal yang membuatku hampir menyerah dalam hidup. Aku memohon kepada Allah agar aku di kuatkan, dan saat mendapati putraku begitu terguncang seperti ini bagaimana bisa aku tidak bersedih? Kesedihan terbesarku adalah melihat putraku hancur berkeping-keping, masa kecilnya dimana seharusnya Dika penuh kebahagiaan justru terenggut karena Papanya memilih membahagiakan anak wanita lain.
Demi Tuhan, aku mengutuk para pembuat luka tersebut, yang dengan teganya merebut kebahagiaan orang lainnya.
"Maafin Mama, Dika. Maaf!" Kembali hanya maaf yang bisa aku sampaikan kepada putraku. Sungguh malang sekali nasib Dika karena harus terlahir dariku yang tidak bisa memenangkan cinta suamiku. Entah berapa lama aku dan Dika saling memeluk dengan tangis yang mewarnai, sampai akhirnya aku merasa lega karena separuh sesak yang terasa menggumpal ini keluar turut ikut bersama dengan air mata. Jika sebelumnya Dika yang menyusut air mataku maka kini aku yang menyusut air matanya, dengan penuh sayang aku mengecup kedua bola matanya yang basah. Sebuah doa tersemat tidak pernah putus semoga putraku ini akan tumbuh menjadi pria yang mencintai pasangannya. "Kalau Dika nggak mau sekolah di sekolah yang sekarang nggak apa-apa. Dika bisa sekolah di tempat yang lain, tapi Mama mohon, jangan seperti ini terus ya, Nak. Bersedih atas perginya Papa hanya akan menyakiti hati Dika sendiri. Mama sedih tahu kalau Dika sedih."
Dika menggeleng pelan. "Nada sama Mamanya itu jahat ya, Ma. Gara-gara nggak punya Papa, dia rebut Papa Dika. Dika sekarang nggak mau Papa, Dika benci Papa dan orang-orang jahat itu yang udah bikin Mama nangis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersaing dengan Masalalu
عاطفيةAlia Wenang kira kehidupannya sempurna, menjadi seorang Ibu Persit dari Dwikara Prasetya dan juga ibu untuk Andika Prasetya yang tengah aktif-aktifnya di usianya yang sudah memasuki sekolah dasar meski, tapi sayangnya kesempurnaan yang dia rasakan n...