Part 18

11.7K 908 28
                                    

"DASAR MENANTU KURANG AJAR, SUAMI DINAS MALAH MAIN GILA SAMA BERONDONG! MEMANG DASAR MENANTU SAMPAH!"

Tidak hanya sekali Ibu mertuaku ini memukulku, tapi berulangkali ke setiap sisi yang bisa dijangkau oleh tas tangannya, aku sama sekali tidak menjawab umpatan yang menyakitkan hati tersebut dan aku hanya bisa menghindar, percayalah, diam yang aku lakukan karena saat aku sudah berbicara, maka mulutku akan sama seperti tempat sampah, sayangnya diamku justru membuat Ibu mertuaku semakin murka.

"DASAR PERAWAT RENDAHAN NGGAK TAHU DI UNTUNG SUDAH DI PUNGUT ANAKKU MASIH NGELUNJAK SELINGKUH!"

Hingga di titik akhir, aku masih bersabar kepada Ibu dari suamiku ini. Jika tidak mengingat beliau adalah istri Yugo Prasetyo dan nenek dari Dika mungkin aku tidak akan segan untuk mencekik leher perempuan tua ini dan mempercepat jalannya bertemu dengan Tuhan Yang Maha Esa agar bumi ini terhindar dari cemaran mulut kotor beliau.

"Nyebut, Bu!"

Sementara itu dokter Abra yang menyaksikan bagaimana gilanya Ibu mertuaku yang main ambil kesimpulan seenak jidat dan lambungnya ini tentu berusaha memisahkan Ibu mertuaku, aku bisa mendengar dokter Abra menampik setiap hinaan yang di tujukan kepadaku dan dirinya tapi yang dokter Abra dapatkan justru telunjuk yang nyaris mencolok matanya.

"Diam kamu jangan ikut campur bocah ingusan! Di bayar berapa kamu sama menantu sundelku ini sampai mau menjadi brondongnya?"

Kali ini Ibu mertuaku sudah benar-benar kelewatan dalam berbicara, aku diam karena aku menantunya yang masih menghormatinya sebagai orangtua, tapi kali ini beliau berhadapan dengan orang lain yang pasti akan berang mendapatkan tuduhannya yang tidak berdasar. Dokter Abra yang kepalang gedek kini menepis tangan Ibu mertuaku dengan keras, dalam sekejap sosoknya yang sebelumnya begitu innocent dan hangat berubah menjadi seorang monster yang mengerikan.

"Bu, Anda ini sudah tua tapi omongan Ibu sama sekali tidak bijak! Atas dasar apa Ibu menuduh saya selingkuhan menantu Ibu, hah? Ibu lihat saya kelonan sama Mantu Ibu ini? Nggak, kan? Datang-datang marah-marah menganiaya anak orang. Awas saja, Ibu akan saya laporkan ke Polisi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan kepada saya!"

Ibu mertuaku mendengar bagaimana dokter Abra mengancamnya seketika murka, alih-alih mereda kini beliau bahkan menunjukku dan dokter Abra bergantian dengan mata menatap nyalang, aku seringkali mendapatkan tatapan benci tapi kali ini kebencian itu menjadi berkali-kali lipat karena ada seorang yang berani mengancam balik beliau.

"AWAS SAJA, AKAN SAYA ADUKAN KAMU KE SUAMIKU. LAKI-LAKI TUA ITU HARUS TAHU BAGAIMANA BUSUKNYA MENANTU YANG SELALU DI BANGGAKANNYA INI. CUIIIHHHH." Dengan penuh rasa jijik beliau meludah tepat ke arah kakiku, "FIRASAT SAYA TIDAK PERNAH SALAH, KAMU TIDAK LEBIH DARI SEORANG MISKIN YANG MENJILAT AGAR BISA NAIK KASTA. DASAR SAMPAH, WANITA PEMBAWA SIAL. SAYA AKAN MINTA DWIKA AGAR MENCERAIKANMU."

Mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhku, aku menepis dokter Abra agar minggir, selama ini aku diam saja membiarkan Ibu mertuaku berbicara sesuka hatinya menjelek-jelekkanku, tapi kali ini aku sudah habis kesabaran pada beliau.

"Kalau begitu sana telepon anak Ibu, kita lihat sekarang siapa yang sampah. Saya atau anak Ibu!" Beralih dari Ibu mertuaku yang kini berbalik sembari merengut meraih teleponnya, bisa di pastikan jika beliau tentu menelpon anaknya yang bego soal cinta dan aku beralih ke arah dokter Abra, dokter muda tersebut sepertinya syok dengan betapa indahnya cara berbicara Ibu mertuaku. "Maaf atas sikap Ibu mertua saya, dok. Tapi saya harap dokter segera pergi, tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya tidak ingin dokter mendapatkan masalah hanya karena menolong saya. Itu benar-benar tidak sepadan." Ucapku saat dia hendak menampik.

Dokter Abra mengangguk, sepertinya dia pun enggan ikut campur terlalu jauh, "tolong hati-hati. Dan jika kamu butuh rekaman Dashboard saya, kamu bisa menghubungi dokter Amira, Mbak." Dokter Abra berbalik, pergi kembali ke mobilnya tapi saat aku kira dia sudah masuk ke dalam mobil, dia kembali berbalik melihat ke arahku. "Mbak, yang sabar ya menghadapi ujian ini, semoga setelah melewatinya Mbak akan sampai pada pelangi yang indah."

Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana saat sebuah harap menyemangatiku di saat hatiku tengah tergulung badai, bahkan saat akhirnya dokter Abra pergi aku masih mematung di tempatku. Hatiku yang rapuh rasanya ingin menangis mendapati jika orang lain saja peduli kepadaku, tapi disini aku tersingkirkan begitu saja dengan sangat menyedihkan.

"Bagus, lihatin terus saja selingkuhan kamu. Setelah di depak oleh Dwika, silahkan berkumpul dengannya." Aku menghela nafas panjang mendengar cacian dari Ibu mertuaku ini,  dan memilih untuk berbalik membiarkannya saja mengoceh.

"Pak Wira, mobilnya masukin saja, Pak."
Dari pada menggubris mertuaku, aku lebih memilih untuk berbicara dengan sopir keluarga mereka saja. Berdebat dengan Ibu mertua yang kadung tidak menyukaiku adalah hal yang sia-sia.

Sayangnya Mertuaku jika tidak membuat masalah denganku serasa kurang afdol, aku sudah berbaik hati untuk tidak meladeni beliau yang sudah membuatku memar-memar karena pukulan tas kulit buayanya, tapi kembali lagi beliau menarik tanganku tidak terima karena aku acuhkan. "Sedari awal saya tidak setuju Dwika menikah dengan perempuan miskin sepertimu. Orang-orang rakus yang hanya akan menginjak kami pada akhirnya, menjijikkan sekali sikapmu ini, Alia. Atau jangan-jangan Suamiku begitu menyayangimu karena kamu ada main dengannya."

"Ya Tuhan, Nyonya Susanti Yang Terhormat!" Pekikan kerasku menggema di jalanan komplek yang sepi, berjuta kalimat buruk pernah beliau lontarkan tapi tidak aku sangka jika beliau bisa memiliki pikiran sepicik ini. Melihatku semurka ini bahkan sampai menyentak tangannya rupanya membuat beliau menciut juga. "Saya tidak tahu ada trauma apa Anda ini dengan orang yang ekonominya lebih rendah di bandingkan Anda sampai-sampai Anda memandang kami jijik padahal mulut Anda lebih buruk daripada comberan!"

Ibu mertuaku ternganga, tidak percaya aku memakinya seperti ini, sungguh raut wajahnya persis sama seperti Bang Dwika tadi pagi saat aku membentaknya dengan keras untuk pertama kali dalam hidupnya, "apa kamu bilang? Kamu menyebut saya comberan?"

Aku mengangkat daguku tinggi, tidak akan aku biarkan wanita tua ini menginjak-injak harga diriku lebih jauh apalagi melibatkan Ayah Mertuaku, ku tunjuk gorong-gorong di samping gerbang rumahku, tempat dimana bau busuk khas parit berasal, "iya, Nyonya Susanti! Comberan! Busuk dan kotor tidak peduli seberapa megah dia berada! Itu gambaran yang tepat untuk Anda Nyonya Susanti yang terhormat."

Kurang ajar? Terserah, aku sudah lebih dahulu di buat capek oleh kelakuan anaknya, dan sekarang Ibunya mau adu mekanik. Jangan salahkan aku jika sekarang emosiku meluap tanpa bisa aku kendalikan.

"Aaaahhhh, dan jangan kira saya takut di ceraikan anak Anda, Nyonya Susanti. Saya juga bosan menjadi hiburannya."

Bersaing dengan MasalaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang