9

147 21 2
                                    


Happy reading!!

"Aku menyerah Teana." Ujar Tian, sudah terhitung telah satu minggu ia mendekati Kalandra namun ia tidak bisa, hanya berujung penolakan.

Jawaban yang sama ketika Tian bertanya apakah Kalandra mau menjadi kekasihnya, maka dia akan menjawab "aku mau asal kau yang menjadi pihak bawah." Terlampau hafal dengan Tian ketika meminta dirinya untuk menjadi kekasihnya, Kalandra yang harus menjadi pihak bawah.

Teana yang mendengarnya tersenyum culas "kenapa kau tidak bisa membuat Kalandra menjadi pihak bawah?"

"Dia tidak mau."

"Karena wajahmu memang tidak cocok bodoh." Ledek Teana.

Tian menunduk "sangat sulit untuk melakukan tantangan itu." Lirihnya.

"Kau bersedih?" Teana menangkup wajah Tian agar menatapnya, "kau kenapa?"

Tian menggeleng dengan resah "tidak, aku tidak bersedih."

"Kita telah lama menjadi sahabat dan aku benar-benar mengetahui perangaimu, kau terlihat sedih, ada apa?"

"Teana.. Apa yang aku rasakan ini?" Lirihnya, dia tidak mengerti dengan perasaan yang ia rasakan ini.

"Apa? Bisa kau katakan dengan jelas?"

Tian mengulum bibir bawahnya, dia terlihat ragu untuk mengatakannya pada Teana "katakan saja, aku tidak akan menjegekmu atau apapun."

"Aku seperti kehilangan Kalandra."

"Maksudmu?"

Tian merebahkan kepalanya pada tas meja, jari telunjuknya bergerak random "Kalandra susah didekati karena dia sibuk dengan kegiatan PMR yang ia ikuti, aku tidak mengerti kenapa aku merasakan hal ini. Saat aku pingsan dia masih bisa menemuiku dan merawatku di rumah, tapi setelahnya dia terlalu sibuk, aku ingin mengajaknya jalan bersama ke sekolah tapi kata temannya dia telah pergi, keesokannya aku juga datang ke rumah samping lebih pagi, dia juga telah pergi ke sekolah, aku mencarinya di kelasnya ternyata dia berada di aula, setiap aku bertemu dengan Kalandra di koridor dan aku ingin berbicara, dia langsung pergi dan bergumam nanti, nanti dan nanti, entah sampai kapan berakhirnya kata nanti itu." Curhat Tian di selingi dengan kekesalan.

Teana menahan kedutannya pada bibirnya, apakah Tian tidak menyadari dengan perasannya? Dia berkata seolah dirinya cemburu karena tidak ada waktu.

Tian menenggelamkan kepalanya pada tangannya yang terlipat, dia mendengus saat mendengar suara Teana yang tertawa pelan "jangan tertawa Teana."

Teana menghentikan tawanya dan mengelus punggung Tian "kau ternyata memang bodoh memahami perasaan sendiri, kau tak menyadari cinta?" Tian menggeleng tanpa mengangkat kepalanya, "kau cemburu dan kesal saat Kalandra tidak ada waktu untukmu, itu kenapa kau menggerutu seperti ini."

Tian mengangkat kepalanya dan menatap Teana "aku cemburu?"

Teana mengangguk pasti "kau seperti diriku saat kekasihku tidak ada waktu untukku, aku seperti melihat diriku pada dirimu."

Tian tersdiam mencerna ucapan Teana "apa mungkin?" Ragunya.

Teana meraih tangan Tian "lupakan tentang taruhan itu, aku lebih senang jika kau memang mencintai Kalandra, kapan kau akan merasakan cinta jika tidak sekarang?"

"Masih banyak waktu, kau berkata seolah aku akan mati cepat." Gerutunya.

"Kau yang memikirkan itu bukan aku."

Tian hendak berucap tapi seorang guru telah masuk ke dalam kelas, membuat mereka. berdua diam dan memusatkan pikirkan untuk pelajaran.

Di sore harinya sekolah telah pulang, Tian dengan segera melangkah pergi ke tempat parkir, menaiki sepedanya hendak menjalankannya sebelum seseorang memegang tangannya, Tian menatap orang itu yang ternyata adalah Kalandra "apa?"

"Nanti malam kau ingin berjalan-jalan?" Tanya Kalandra.

"Iya."

"Tunggu aku di rumahmu, nanti aku akan menjemputmu, walaupun menggunakan sepeda milikmu." Jelas Kalandra.

Tian mengangguk semangat "aku tunggu di rumah."

Kalandra mengangguk, melepas tangannya untuk membiarkan Tian lanjut untuk pulang. Setiap jalan menuju pulang, Tian tersenyum lebar dengan senandung yang terdengar darinya.

Sang bunda sampai bingung kenapa putranya datang dengan senyuman yang lebar, bahkan dia juga menyapa dirinya dengan penuh ceria, memang setiap pulang sekolah Tian selalu menyapa dirinya, tapi untuk sekarang aura yang dikeluarkan oleh Tian sangat berbeda.

"Anak bunda kenapa terlihat senang sekali?" Tanyanya penasaran.

Tian berdengung lalu menggeleng karena tak ingin memberitahukannya pada sang bunda. Sang bunda mengelus rambut Tian dengan sayang "mandilah lalu istirahat terlebih dahulu."

Tian mengangguk dan melepas pelukannya, dia membersihan tubuhnya lalu menggunakan pakaian santai, niatnya untuk beristirahat karena memang merasakan kantuk, tapi setelah berbalik kanan lalu kiri lalu telentang tak membuat Tian bisa tertidur, otaknya tengah berpikir apa yang ia pakai nanti dan apa yang akan mereka lakukan, hingga terlalu lama membayangkannya Tian tak jadi untuk beristirahat.

Melihat jam dinding ternyata telah malam, dia dengan segera kembali membersihkan tubuh dan menyemprptkan banyak parfum pada tubuhnya agar harum, dia juga menggunakan pakaian yang berwarna soft hingga terlihat lucu.

Ketukan pada pintu terdengar, Tian membuka pintunya yang ternyata sang bunda "ayo makan malam." Ujar sang bunda.

Tian menggeleng "bunda dan ayah saja yang makan malam, Tian masih kenyang."

Sang bunda hendak bersuara menolak perkataan Tian tapi Tian terlebih dahulu menutup pintu "bunda, kali ini saja ya." Ujar Tian setelah di dalam kamar.

Bunda menghela nafasnya, dia turun ke lantai bawah dan duduk di samping suaminya "kemana Tian?"

"Dia meminta untuk kita saja yang makan malam, dia beralasan kenyang." Jawabnya.

Sedangkan Tian bermondar-mandir di kamarnya, perasannya berubah gugup dan juga dia bingung, Kalandta hanya mengatakan akan mengajaknya jalan malam-malam tapi tidak menjelaskan pukul berapa.

Tian melihat bukunya, dia terlebih dahulu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya, masih ada waktu pikirnya "aku tidak bisa berpikir." Gumamnya.

Tian menutup bukunya dan membuka ponselnya lalu kembali mematikannya. Tian beralih untuk membuka laptop dan melihat video yang baginya menarik. Dua jam berlalu kini jarum jam menunjukkan pukul 21:00, Tian berdecak kesal, menutup laptopnya dengan kasar "dari pada aku menunggu dia, lebih baik aku keluar sendiri."

Tian menemui orang tuanya dan meminta ijin jika dirinya ingin pergi berjalan-jalan, menggunakan sepedanya dia keluar komplek perumahannya, dia menikmati jalanan dengan angin yang sepoi-sepoi.

Mata Tian tertuju pada cafe yang baginya menarik, banyak lampu-lampu yang meneranginya, Tian memarkirkan sepedanya dan masuk ke dalam cafe, dia memesan satu porsi makan dan minum. Setelah datang dia memakannya dengan lahap, membersihkan mulutnya dengan tisu setelah minum dan makanannya telah habis.

Mata Tian berjelingar hingga terpaku pada satu titik, di sana Kalandra sedang duduk dengan seorang perempuan, menikmati makan seolah lupa dengan janji yang ia katakan belum satu hari.

Sedangkan Kalandra yang memang berada di cafe itu terlihat terpaksa menikmati hidangan, dia sedang resah karena dia memang mengingat perkataan yang menjadi sebuah janji pada Tian. Kalandra menatap sekitar hingga dia juga melihat Tian yang sedang menatapnya.

Mata mereka saling menatap hingga Tian yang terlebih dahulu memutus kontak mata mereka, dengan lekas mengeluarkan uang pecahan seratus dan meletakkannya di atas meja, dengan terburu-buru dia pergi ke luar dari cafe tersebut dengan perasaan kecewa.

Bersambung...

KalandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang