Chapter 2

343 34 2
                                    

Jangan lupa tinggal jejak yaw

Mampir juga ke akunnya lia_halmussd

OOO

*

Begitu indah kilauan bintang yang bersanding dengan sang raja malam diatas cakrawala kota Bandung. Kerlap kerlip bintang bersaing dengan lampu yang menerangi jalanan. Panorama indah bak lukisan dengan perpaduan warna malam yang khas cukup langka untuk bisa dinikmati, namun di kota yang berjulukan Paris Van Java ini bisa didapati pemandangan menyejukkan mata jika cuaca tengah bagus.

Di balik indahnya pemandangan cakrawala bertabur bintang, terlihat sepasang anak Adam tengah duduk bersanding di luar area Bandara internasional kota Bandung, Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara. Salah satu pemuda yang lebih kecil menunduk, menyembunyikan tangisnya. Sedangkan pemuda yang lebih besar dengan sabar menunggu disisinya dengan sesekali tangannya mengusap puggung sempit yang bergetar.

Hiruk pikuk mobil berlalu lalang keluar masuk Bandara tak membuat keduanya terganggu. Nyatanya, meski mereka menjadi objek pandang orang lain tak mengusik keterdiaman mereka. Hingga si kecil mengangkat kepalanya dan mampu mengalihkan atensi si besar sepenuhnya.

“Sudah lebih tenang?” Tanya si besar mengulurkan sapu tangan miliknya.

Si kecil mengangguk, tangannya terulur menerima sapu tangan itu, mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.

“Kenapa kamu menangis?” Tanya si besar halus.

Tak ada jawaban, si kecil terus diam.

“Kamu terpisah dari keluargamu?” Tanyanya lagi, namun hanya gelengan kepala yang dia dapati.

“Lalu, kenapa kamu menangis sendirian di Bandara?”

“A-aku gak tau mau kemana.” Jawabnya dengan masih sesenggukan.

“Memangnya kamu dari mana?”

“Aku dari Manado.”

“Sendirian?”

Kembali si kecil mengangguk.

“Kamu di Bandung ada saudara?”

“Gak ada.”

“Lalu kenapa kamu bisa sampai di Bandung?”

Si kecil menunduk, menyembunyikan wajahnya yang terlihat murung. “Aku diusir dari rumah.”

Sebelah alis si besar terangkat sebelah, merasa heran dengan jawaban si kecil. “Kenapa kamu bisa diusir?”

“Aku melakukan kesalahan besar yang membuat Mama marah.”

Sejenak keduanya kembali hening hingga ucapan si besar mengalihkan atensi si kecil. “Mau pulang ke rumah Kakak?”

“Kenapa malah diam?” Tanya si besar lagi karena tak ada tanggapan sama sekali dari si kecil, “kamu mau gak pulang ke rumah Kakak?”

“Maksudnya, Kakak mau nampung aku?”

“Iya, daripada kamu gak tau mau tinggal dimana, kan. Kamu juga bakalan aman tinggal sama Kakak, di luar gak aman buat anak sekecil kamu.”

“Anak kecil?” Ulang si kecil menatap sengit.

“Loh, kamu masih dibawah umur, kan.”

Pipi itu menggembung, matanya menatap jengkel pemuda yang lebih besar darinya. “Aku udah 20 tahun ya, bukan anak dibawah umur.”

“Eh, masa sih. Kamu kelihatan masih bocah.”

“Perlu aku liatin KTP?” Matanya memicing.

Si besar terkekeh, mengusap rambut lebat si kecil menjadi berantakan. “Iya, percaya kok kalau udah 20 tahun,” senyum simpul terpatri dibelah bibirnya, “jadi, mau gak ikut Kakak ke rumah Kakak?”

Pesawat Kertas ~ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang