Chapter 7

146 12 1
                                    

Pagi itu hujan turun dengan derasnya, disertai hamburan kilat dengan dentuman keras di langit sana menjadi penghias pagi Kota Bandung, angin bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk tulang.

"Dek ... ," Sebuah suara lembut sedikit serak itu terdengar menyapa seorang pemuda yang terlihat tengah melamun, pandangannya luruh menatap hujan di luar sana, sepertinya hujan membawa dirinya pergi bersama butiran bening yang jatuh ke bumi.

"Dek ... ."

"Eh! Iya Kak, ada apa?"

"Ngelamunin apa sih?" Tangan besar dengan urat itu mengusap lembut pipi berisi dengan semburan kemerahan. "Sampai air mata kamu keluar gini."

Mata Evan berkedip-kedip lucu, tanpa sadar ia menepis tangan Raka kasar dan menghapus air matanya kasar dengan punggung tangannya.

"Gak, gak papa kok Kak." Evan terkekeh pelan, ia turun dari tempat tidur, "Kakak udah sarapan? Mau Evan masakin sesuatu gak?"

Raka menggeleng, tangannya terulur meraih ujung pakaian tidur Evan dan menariknya pelan, membawa Evan duduk ke pangkuannya dengan posisi miring. "Kamu baru sembuh loh Dek, jangan kerja berat dulu, nanti kita delivery atau Kakak aja yang masakin sarapan buat kita."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya Dek?"

"Kenapa Kakak baik sama aku? Sedangkan aku cuma orang asing yang kebetulan bertemu dengan Kakak."

Sebelah alis Raka terangkat, "bukannya udah Kakak kasih tau, kalau kamu udah Kakak anggap seperti adik sendiri, bukan?"

"Iya juga." Evan kembali terkekeh pelan, namun nyatanya kini di dalam dirinya bak ditikam ribuan belati kala mendengar perkataan Raka. Ia sadar jika ia tak bisa egois, dia hanyalah orang asing yang kapan pun dapat pergi saat sang tuan rumah memintanya pergi.

Entah bagaimana Evan harus menahan rasa itu lebih lama lagi, diakuinya jika dirinya jatuh cinta pada Pilot itu sedari awal mereka bertemu. Suara itu, aroma tubuh itu, serta perlakuan lembut itu, semuanya masih melekat kuat di benak seorang Devano Mahendra.

"Apa mungkin aku bisa bersanding dengan dirimu, Kak? Kamu begitu sempurna untuk diriku yang kotor ini." Monolog Evan dengan menatap ke luar sana, ke hujan yang turun kian deras.

"Hujan makin deras Kak." Ujar Evan.

"Iya." Raka menarik tubuh itu kian rapat ke tubuhnya, "gini dulu ya, Kakak butuh mengisi tenaga Kakak."

Evan mengangguk patuh, dengan nyaman ia duduk di pangkuan Raka, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, terlebih di saat tangan besar Raka melingkar di pinggang rampingnya dan tangan Raka yang lainnya mengusap paha Evan yang terbungkus celana tipis secara perlahan.

Tanpa Raka sadari, perlakuannya itu kian memupuk rasa cinta yang tumbuh di hati kecil Evan, terus tumbuh namun ia selalu kalah dengan sang hujan yang datang dan membuat bunganya tak mampu mekar.

"Em ... Kak, ini kapan sarapannya ya?"

Raka tersentak dari lamunannya, tak sadar ternyata ia sedari tadi memandangi wajah manis Evan.

"Eh iya," Raka terkekeh canggung. "Ya udah, ayo turun ke bawah, Kakak masakin sesuatu buat kamu."

Evan turun dari pangkuan Raka lalu berjalan terlebih dahulu keluar dari kamarnya, meninggalkan Raka yang tengah berperang dengan pikirannya sendiri.

"Apa ini? Kenapa rasanya sesak seperti ini." Raka memegangi dadanya yang lagi-lagi berdegup kencang, bahkan ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

oOo

Pesawat Kertas ~ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang