Chapter 22

107 7 4
                                    

Pilot, profesi yang cukup terdengar bergengsi, menjanjikan tapi juga penuh dengan resiko. Seorang Pilot harus selalu siap jika ada panggilan mendadak atau dialih tugaskan. Putra Raka Atmaja, pemuda berusia tiga puluh tahun itu sudah menggeluti dunia penerbangan cukup lama. Dulu yang awalnya hanya antar kota di Indonesia, kini pemuda yang sudah tak memiliki orang tua itu mendapat jam terbang antar negara. 

Awalnya tak mudah memang mengambil keputusan, karena jika antar negara maka bisa dipastikan jika dia akan lebih lama menghabiskan waktu bekerja. Dia hanya akan pulang setiap satu bulan satu kali, bahkan bisa lebih. Namun dukungan dari sang pujaan hati dan si kecil juga mengatakan demi karirnya, maka Raka memutuskan untuk mengambil jam terbang antar negara.

Pada awalnya sulit menahan rindu, tapi seiring berjalannya waktu mereka sudah terbiasa terpisah dengan hitungan bulan. Melepas rindu hanya dengan via suara ataupun tatap muka melewati gadget. Tak mampu mengobati rindu secara tuntas memang, tapi setidaknya mereka tahu jika sang pujaan hati baik-baik saja.

"Kakak istirahat gih, di sana tengah malem, kan?" Evan menatap pada layar 14 inch di hadapannya, wajah sang kekasih terlihat jelas di sana.

"Masih kangen kamu."

"Evan juga kangen Kakak, tapi Kakak juga butuh istirahat. Besok masih ada penerbangan, kan?"

Raka terlihat mengangguk, "dari London ke Kanada."

"Jauh loh, lama juga Kakak di pesawat. Istirahat aja ya, Evan takut Kakak kurang tidur. Besok banyak nyawa yang Kakak bawa loh."

"Ya udah, Kakak tidur. Kamu jangan lupa sarapan."

"Siap kapten!"

"Bye sayang, love you and Miss you so much."

"Love you more and Miss you too, Pilot gantengku."

Setelahnya panggilan terputus, menyisakan layar hitam. Terdengar helaan nafas panjang dari si kecil, wajahnya terlihat malas.

"Sepi lagi." Keluhnya, dia teramat merindukan sang kekasih.

"Enaknya ngapain coba." Direbahkan tubuhnya ke ranjang, menatap langit-langit kamar yang terdapat beberapa bintang, jika malam bintang-bintang itu akan bersinar.

"Telpon Rico aja kali ya." Diraihnya benda pipih di sampingnya, mencari kontak sang sahabat lalu menekan ikon hijau di ponsel.

Beberapa saat Evan menunggu, hingga terdengar suara malas menyapa gendang telinganya.

"Ada apa?"

"Kenapa lo? Kedengarannya males banget."

"Gabut gue, jenuh. Pengen bunuh diri gitu, tapi takut dosa."

"Bangsat!" Spontan Evan mendudukkan tubuhnya, "kalo ngomong suka ngasal. Lo kenapa?"

"Di bilang gue tuh gabut."

"Ke rumah aja, nonton Netflix di sini."

"Bosen."

"Ngerujak deh."

"Males."

"Jajan es krim."

"Gue juga ada, tadi di kasih Kang Gas."

"Ngopi deh di cafe."

"Lagi gak mau konsumsi kafein, gue."

"Kalau semua gak mau, mau lo apa bangsat!"

"Hus, uke dilarang ngumpat."

"Ya lo bikin gue emosi."

"Emang sengaja sih."

Pesawat Kertas ~ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang