Chapter 28

204 3 0
                                    

Rara meninggalkan sekolah, dia mengeluarkan obat itu lagi. Seperti yang dikatakan Widya ada benarnya. Dia seperti ketergantungan. Rara menyenderkan punggungnya pada pohon yang berada di belakang sekolah.

Rara menghela nafas pasrah, kenapa kali ini iya terlihat lemah. Tidak nanti pasti orang akan menyakitinya dengan mudah. Jika tahu kelemahan Rara, gadis itu sensitif kalau siapapun yang menyinggung masalah mentalnya.

Rido mengikuti Rara, untung saja dia tidak kehilangan jejak. Rido mengatur nafas yang sesak. Mengejar Rara ini memang harus punya tenaga ekstra.

"Jangan pikirin apa omongan Libra tadi, lo bisa sembuh Ra. Mental lo nggak ada masalah." Rido menatap gadis itu lemah.

Rara terdiam, semakin hari memang dirinya terlihat lemah dan tidak berdaya. Ditambah lagi emosinya yang sulit ia kontrol. Tubuhnya benar-benar lelah untuk sekarang. Berperang dengan pikiran yang tiada hentinya.

"Gue cuma ada satu tujuan dalam hidup gue untuk saat ini. Jadi gue akan bertahan meski itu menyiksa batin dan mental gue." Rara menatap Rido yang tengah memperhatikan dirinya.

Pria itu merogoh ponselnya yang berdering,  siapa kalau tidak Sanjaya lah yang menelepon.
Rido menggeser tombol hijau sedikit menjauh dari Rara.

Rido berdecak kesal lantaran Sanjaya selalu mengancamnya. Kejadian dia memeluk Rara sudah sampai ditelinga Sanjaya. Pasti Libra yang mengadu, Rido sudah muak sebenarnya tetapi apa dayanya. Hidupnya pun masih bergantung pada orangtua.

"Libra pulang lebih awal karena kamu dekat dengan wanita lain. Kamu ini udah mau tunangan." Sanjaya membentak dari seberang telepon.

Rido mendengus mendengar penuturan Sanjaya. Bahkan mencintai Libra saja tidak pernah. Dia hanya menganggap Libra itu sebagai sahabat tidak lebih.

Rido mematikan telepon sepihak kemudian mendekat kearah Rara yang sedang menyenderkan tubuhnya pada pohon. Tidak lupa dengan satu batang rokok yang terselip dijarinya.

"Lo sering ngerokok Ra?" tanya Rido heran, ternyata Rara memang hobi menyakiti diri sendiri.

Rara mengangguk pelan kemudian menghisapnya kembali sesekali tersenyum tipis.
"Nggak terlalu sering sih, coba deh kalo sedang banyak masalah tu setidaknya sedikit menenangkan." Rara menawarkan rokok pada Rido yang tengah diam memperhatikan gadis itu berbicara.

Dengan ragu ia menerima kemudian menyalakan rokok. Mungkin Rido yang tidak terbiasa, ia terbatuk-batuk dia segera membuang rokok yang baru saja pria itu bakar.

"Bukan nenangin malah bikin tambah sekarat. Buang rokok lo Ra," pinta Rido.

Rara menggeleng kemudian menghisap rokok yang sisa sedikit. Gadis itu membuang puntung rokok sembarangan. Gadis itu merogoh sakunya dan mengambil permen mint agar mulutnya segar kembali.

Rido terdiam, apa masih pantas ia menanyakan cinta Rara yang dulu? Tetapi jika tidak mencoba dia tidak pernah tahu langkah selanjutnya yang akan ia jalani.

"Ra," panggil Rido dengan ragu. Rara menoleh pada pria yang sekarang tampak ragu.

"Ada apa?" tanyanya.

"Sekarang perasaan  lo bagaimana sama gue?" tanya Rido sambil memainkan jari.

Rara terdiam, saat ini tidak ada rasa kagum pada Rido. Cintanya telah tiada bahkan pupus dengan harapan saat dirinya benar-benar dianggap tidak ada.

Rara menatap pria itu dengan datar. Pertanyaan bodoh yang tidak seharusnya ia tanyakan.

"Ada pertanyaan terkadang yang tidak ada jawabannya." Rara mengalihkan pandangan ke langit yang sedikit mendung.

Titik benci ( Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang