Rantai Jiwa

2.1K 189 2
                                    

Bau anyir khas bangkai memenuhi indra penciuman, aku hanya bisa terpaku ditempat. Lidah panjang itu menjulur, hendak menyentuh permukaan wajah. Nafas ku tercekat dengan kedua mata menutup.

Cairan basah yang lengket memenuhi area wajah, entah apa yang makhluk itu perbuat kepada ku. Aku masih memilih membatu ditempat, daripada tanganku terkoyak akibat kuku panjangnya.

Terdengar suara nyaring yang entah berasal darimana, membuat sosok itu menjerit hingga akhirnya lenyap begitu saja.

"Aku selamat." Aku terduduk lesu di hamparan tanah yang berlumut, nafasku naik turun tak beraturan akibat melihat wujud Wirma yang tiba-tiba.

Tanpa melihat ke belakang, aku bangkit dan segera berlari secepat mungkin. Tak tau kemana jalan keluar, tapi yang terpenting aku menjauh dari area pemakaman itu. Apalagi melihat kondisi langit yang semakin gelap, aku terus berlari sebelum malam menghampiri.

Rasa takut yang menyergap dan jalanan yang licin membuat aku tak fokus, lalu terjatuh tepat di kaki seseorang. Aku menelan ludah, melirik perlahan untuk melihat sang empu pemilik kaki tanpa alas ini.

"Setan!"

Wajah perempuan yang baru saja aku beri umpatan itu terlihat kebingungan.

"Mas gapapa?" Suara lembut darinya membuatku tersadar, jika ia seorang manusia.

"M-maaf, aku kira bukan manusia." Aku berdiri dengan rasa malu yang menyergap, tak enak hati telah melabeli wajah cantik itu dengan sebutan 'setan'.

"Mas orang baru, ya? Kenalin nama aku Novi," ucap perempuan berwajah khas Jawa itu. Ia membantuku yang kesusahan untuk berdiri, sedikit meringis melihat kedua kaki ku terluka.

"Aku Deri, baru datang tadi sore. Tapi sekarang malah tersesat," jelasku tanpa menceritakan pertemuan antara aku dan si pemakan mayat itu.

"Hoalah, sini aku tunjukkan jalannya." Novi berjalan duluan, disusul aku yang berjalan dengan sedikit lambat.

"Bisa jalan, Mas?" tanya Novi melihat kondisi kaki ku yang penuh luka.

Aku mengangguk pelan, berpura-pura kuat didepan perempuan itu harus.

Tak sampai beberapa menit berjalan, kami telah sampai di jalur utama. Tempat awal aku melihat jalan setapak.

"Jadi, kamu tinggal dirumah Bik Ima?" tanya Novi saat aku menunjukkan letak rumah Bibinya Rafa.

"Iya, Bibinya teman. Emm ... Makasih udah nolongin tadi." Aku mengeluarkan senyuman termanis, disambut anggukan oleh Novi. Ia berpamitan, lalu kembali berjalan menuju tempat tinggalnya.

Didepan pintu, aku mengetuk dengan gerakan lemah. Tenaga ku rasanya terkuras begitu saja, beruntung wanita berumur yang aku yakini sebagai Bibi Rafa itu membuka kan pintu.

"Kamu Deri, kan?" tanya Bik Ima langsung aku balas dengan anggukan.

Bik Ima mempersilahkan untuk masuk, aku segera membersihkan diri. Tubuhku terasa lengket sekali, sangat menjijikkan.

Pantulan diri didalam cermin menggambarkan kondisi wajahku yang berantakan, aku mencuci wajah untuk menghilangkan rasa lengket. Sedikit mual saat tangan menyentuh permukaan wajah yang licin, lekas aku bilas dengan air yang banyak.

"Ohalah, Nang. Untung kamu masih selamat!" ujar Bik Ima sembari mengoleskan  dedaunan sebagai obat herbal. Setelah selesai membersihkan diri, kini aku terduduk dengan kaki penuh luka memerah.

Aku meringis menahan perih. "Duh, Bik. Sakit," ringisku tak tahan.

Bik Ima hanya tersenyum mengejek, lalu beranjak pergi setelah mengobati kakiku. Kini aku beralih menatap Rafa yang dengan santainya menyantap makan malam.

"Gilak lo, gue hilang bukannya dicariin!" kesalku ingin menendangnya, tapi terhalang rasa sakit.

Rafa menghentikan aktifitas makanannya. "Gak dibolehin sama Bik Ima, gue dikunci dikamar tadi." Penjelasan dari Rafa membuat aku melongo heran, pantas saja saat pertama kali masuk aku tidak melihatnya.

"Katanya kalo ada jasad yang baru dikuburkan, penduduk desa gak ada yang boleh keluar rumah. Hewan peternakan nya juga disuruh lepasin semua, biar keluarga mereka gak ada yang jadi mayat selanjutnya!" lanjut Rafa menjelaskan.

Aku terdiam mendengar penjelasan Rafa. Teringat dengan perempuan yang telah menolong ku, bukankah seharusnya dia juga tidak keluar rumah. Lalu, kenapa dia bisa ada didekat area hutan?

"Bro, malah melamun. Lo juga tadi kenapa bisa hilang gitu?" tanya Rafa membuyarkan lamunanku.

Handphone yang sedari tadi didalam saku langsung aku keluarkan untuk menunjukkan video itu.

"Gue tadi ngerekam si Wirma!" ujarku menekan tombol mulai.

Rafa mendekat dengan wajah kebingungan, ia menyipitkan kedua mata untuk melihat video yang aku rekam.

"Lo ngerekam mayat?" tanya Rafa.

"Mayat apaan, gue tadi ngere-" Aku menarik handphone untuk melihat hasil rekaman, benar saja. Disana hanya ada sebuah mayat, sedangkan sosok Wirma tak tampak dilayar.

"Tadi gue ngerekam si Wirma!" jelasku ikut kebingungan.

Rafa berdecak. "Wirma siapa, sih?" tanya Rafa semakin kebingungan.

Sebuah tongkat tiba-tiba melintas melewati wajah ku dan Rafa, sontak kami berdua mematung dengan wajah terkejut.

"Pamali nyebut nama sosok itu!" Bik Ima, pelaku yang melemparkan tongkat datang dengan marah-marah.

"Emang siapa si Wir-"

"Jangan disebut!" Rafa langsung terdiam mendengar suara sang bibi yang meninggi.

"Jangan sebut namanya, jika tak ingin dia datang!" Bik Ima duduk di tengah-tengah kami, memulai cerita tentang Wirma yang kembali meneror kampung mereka.

"Dulu sosok itu sudah lenyap bersama dendamnya," ucap Bik Ima.

"Lalu, kenapa ia datang lagi?" tanyaku.

Menurut cerita Bik Ima, sosok itu datang kembali sekitar beberapa bulan yang lalu. Ketika istri dari Juragan Enim meninggal dan mayatnya ditemukan tercabik-cabik.

Teror Wirma dimulai, setiap ada warga yang meninggal, kuburannya pasti akan terbongkar saat dilihat di pagi hari.

Untuk mengantisipasi teror Wirma, Juragan Enim memerintahkan para warga berdiam diri ketika ada warga yang meninggal, lalu melepaskan peliharaan ternak mereka sebagai tumbal. Ia juga tak segan-segan membunuh warga yang melihatnya, agar bisa disantap hidup-hidup

"Kalo kamu melihat Wirma, cepat tutup mata dan berdiam diri. Jika kamu tertangkap, maka kamu akan mati!" jelas Bik Ima membuat aku bergidik.

Nasib baik ternyata masih bergantung pada ku, jika suara nyaring itu tak terdengar maka aku akan bernasib sama dengan mayat itu.

"Gimana kalo si korban selamat, Bik?" tanyaku ragu-ragu.

Bik Ima menatapku dengan mata tajamnya, kening yang sudah keriput itu semakin mengkerut. "Kamu bertemu dengan dia?"

"Enggak, Deri cuman nanya aja."  Aku berbohong tentunya, saat ini tak tepat untuk berkata jujur.

"Kemungkinan selamat itu 97%, kecuali kamu memiliki ilmu rantai jiwa. Jika tak punya, maka orang itu akan diteror seumur hidup!" Bik Ima bangkit dari duduknya, ia menatap ku dengan tatapan curiga.

Habislah aku, apa wirma akan meneror ku selamanya?

__________


Siapa disini yang suka makan mayit, cung!
♡(*´ω`*)/♡

Makan MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang