Tubuhku tertarik untuk semakin masuk kedalam, menatap lamat gerakan gemulai dari sosok yang ku yakini Novi."Dinten puniku suram ...." Ia kembali mengeluarkan nyanyian yang sama. Selendang putih yang bergelantungan di lengannya, diayunkan dengan senyum memikat.
Rambut terurai panjang dengan baju berwarna putih, memang cukup membuat dirinya terlihat mengerikan. Namun, tubuhku malah terpaku dengan darah berdesir.
Darahku berdesir bukan karena nyanyian itu, tapi terpikat dengan wajah kemanyu Novi yang lebih indah di bawah remang-remang lampu ruangan.
"Wewayangan tersayang, mboten ajeng nat membangunkanipun sampeyan," ucapnya lagi. Kini perlahan mendekat, membuat tubuhku semakin mati kutu.
"Kesedihan sampun membawanipun sampeyan, sampun medhotaken kangge ... mengakhiri sedayanipun!" Suara Novi berubah menjadi getir, seakan ada yang mengganjal di tenggorokannya.
Wajah Novi berubah sendu, ia mengibaskan selendangnya. Membelai wajahku dengan tangan yang lembut, aku terbuai untuk sejenak. Sudut mata terus mengikuti gerakan Novi yang gemulai, tak ingin berpaling barang kali sejenak.
"Kapejahan ajeng membelainipun sampeyan." Entah sejak kapan selendang itu bertengger di leher ku, Novi tersenyum miris sambil menggenggam selendangnya dengan gerakan memutar.
"Aku gak mau ngelukai siapapun, tapi kalo aku dak nurut. Aku yang bakal terluka," ucap Novi terdengar lirih.
Tubuhku mengeliat saat selendang itu melilit leher dengan kuat, kucoba untuk menariknya namun malah berakhir dengan percuma. Tubuhku luruh ke lantai, Novi menatap ku dengan raut memohon.
"S-iapa kamu sebenarnya." Nada ucapan ku terkesan tak jelas, tapi mampu membuat wajahnya tertegun.
Aku yang masih berusaha mengatur nafas malah dikejutkan dengan perpindahan tempat yang tiba-tiba. Transisi yang begitu mulus, hingga tanpa disadari aku kembali duduk disebelah Rafa dengan tangan menggenggam dada.
"Lo kenapa kayak orang sesak nafas gitu?" tanya Rafa menyodorkan air minum. Ia heran, begitu juga denganku.
"Kok gue bisa disini?"
"Lah, lawak. Lo emang daritadi disini," jawab Rafa terdengar jujur.
Berarti yang aku alami tadi itu apa? Tak mungkin mimpi senyata itu, lagipula aku tidak merasa sedang tertidur.
Apalagi mendengar nyanyian Novi yang tak aku mengerti sama sekali. Tapi saat melihat raut wajahnya, pasti lagu itu memiliki sebuah makna. Terutama kalimat yang dia ucapkan, seakan mengatakan jika aku harus mati.
"Bik Ima kemana?" tanyaku setelah acara selesai, sebagian warga juga membubarkan diri.
Rafa mengernyit. "Emang Bik Ima ikut?"
"Lah, gue ketemu tadi di gudang."
"Ngaco, gue aja gak tau dia ikut apa kagak!"
Jadi yang aku temui tadi bukan Bik Ima? Astaga, hari ini benar-benar dipenuhi banyak tanda tanya.
Tubuhku terasa lelah sekali, sesampai dirumah aku langsung merebahkan diri diatas kasur. Sekalian membaca ulang artikel yang membuat aku penasaran dengan sosok Wirma.
Disana tidak dijelaskan pengertian tentang ilmu rantai jiwa, hanya kisah-kisah Wirma yang sering meneror warga. Terkadang aku juga penasaran, mengapa Wirma bisa mempunyai dendam kepada warga Desa Mayii.
"Rantai jiwa, kayaknya gue pernah dengar nama itu dari Mama." Aku mengambil buku album yang berisi kenang-kenangan sewaktu kecil.
Tak ada yang menarik dari masa kecil ku. Aku hanya tinggal berdua bersama Mama, lalu berakhir pindah ke ibu kota saat umurku enam tahun. Ketika Mama meninggal, aku telah berhasil lulus dari jenjang SMA.
"Eh?" Tiba-tiba aku tersadar sesuatu saat melihat sebuah foto yang menampilkan Mama dengan seorang perempuan.
Latar foto itu terkesan jadul, aku yakin jika foto itu diambil saat aku dan Mama masih tinggal di sebuah Desa. Tapi yang paling menarik ialah perempuan disamping Mama yang terlihat seperti Bik Ima. Bukan mirip lagi, ini benar-benar seperti orang yang sama
Aku mengambil foto itu, membalikkan nya untuk mencari informasi. Benar saja, dibelakang foto tertera nama Desa yang aku tempati dulu.
"Desa Mayii, 80-an." Tanganku bergetar hebat, ternyata aku pernah tinggal di desa ini sebelumnya. Tapi mengapa aku tak mengingat apa-apa? Bahkan wajah Bik Ima yang seharusnya sudah menua, malah tampak awet muda seperti yang ada di foto.
"Wirma, Bik Ima, Wirma, Bik Ima. Bahkan nama mereka terdengar sama!" Aku menarik rambut frustasi, apa Rafa tidak mengetahui hal ini?
Aku bergegas untuk mencari keberadaan Rafa, namun sebuah notif muncul dari layar handphone.
"Ptriksa?" Aku mengecek artikel baru yang dibuat olehnya, mencari sebuah informasi yang bisa didapatkan sebelum pergi dari desa ini.
Karena rasa penasaran dari kisah yang dia buat, aku berada disini untuk menguak lebih dalam. Tapi malah berakhir dengan teror beruntun dari Wirma.
'Pulang bukan akhir dari kisah ini, kau hanya akan berakhir mengenaskan dengan sejuta legenda kuno. Kau hadir untuk menjadi bagianku, bukan bagian dirinya. Mengingat lah, maka kau akan temukan kisah. Dengar kan kembali suara ku, maka kau akan menemukan jawaban.'
Aku membaca sebuah paragraf yang tak aku mengerti sama sekali. Untuk apa Ptriksa mengunggahnya? Seakan menyuruh ku untuk menetap.
Setiap bait yang dia tulis memang tak pernah bisa aku mengerti dengan cepat, terlalu banyak kiasan yang harus diselam sebelum muncul ke permukaan.
"Mengingat lah, maka kau akan temukan kisah. Dengar kan kembali suara ku, maka kau akan menemukan jawaban. Apa yang dia maksud?" Aku berupaya mengingat apa pun yang bisa membantu. Segala hal kecil yang terjadi selama berasa disini, membuat aku merasa lebih tua dari biasanya. Aku tak bisa mengingat apa pun.
"Kenapa aku jadi teringat dengan lagu yang dinyanyikan sosok menyerupai Novi itu?" Telingaku terasa memerah, mengingat senyum manisnya. Ayolah, bukan senyuman itu yang harus aku ingat. Tapi nyanyian, bekerjalah otak.
Semakin aku mengingat, semakin terbuai aku kedalam wajah manis itu. Tanpa sadar, bibirku bergumam. Menyuarakan sebuah lirik yang pernah aku dengar darinya.
"Hariku suram. Bayangan tersayang, aku tidak ingin membangunkanmu. Kesedihan telah membawamu, ia telah memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Kematian akan membelaimu. "
Aku berbalik, menatap Rafa yang baru saja mengartikan lirik itu.
"Darimana lo dengar nyanyian itu?" tanya Rafa mengundang tanda tanya besar dibenakku.
"Harusnya gue yang nanya gitu ke lo, tau darimana arti lagu itu?" Aku balik bertanya, mata kami saling pandang dengan penuh curiga.
Rafa menarik nafas, ia duduk di atas ranjang dengan kaki menyilang. Menatap lamat, sebelum mengeluarkan kalimat pembuka yang mungkin bisa membuat jantung ku berdebar.
"Gue kan orang Jawa goblok!" Nada bicara nya terdengar tak ramah. Aku mengulum senyum, benar juga yang dia katakan.
__________
Jadi, menurut kalian Ptriksa itu siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Makan Mayit
HorrorWirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik untuk menguak lebih dalam mengenai sosok itu. Apakah dia benar adanya atau hanya sebuah karangan b...