Siapa Novi?

1.4K 183 6
                                    

Para warga menatap potongan mayat yang berserakan disepanjang jalan desa, membuat bau busuk dengan bebas berkeliaran ke segala penjuru. Mayat yang seharusnya sudah terkubur rapi, malah kembali ke atas bumi akibat sosok itu.

Sebagian hewan ternak warga juga ikut terkena imbas dari teror Wirma. Tubuh hewan-hewan itu terpisah dengan kepalanya, sama persis dengan para mayat yang telah kami kuburkan kemarin.

"Mayat yang kita kuburkan, malah dibongkar sama sosok itu. Jadi, gimana ini?"

Aku sedikit kesal mendengar para warga yang terus bertanya kepada Juragan Enim, seakan tak bisa menyelesaikan masalah dengan cara berunding.

"Kuburkan lagi!" titah Juragan Enim, namun langsung aku bantah.

"Bakar saja!" Semua warga langsung menatap ke arah ku, sedangkan Rafa sibuk tersenyum aneh dengan tangan terus menyenggol lengan ku.

Juragan Enim menatapku, seperti mengingat-ingat sesuatu. "Kamu Deri, kan?" tanya pria itu mengangkat tongkatnya.

Aku mengangguk.

"Apa yang kamu maksud, anak muda?"

"Ya, bakar saja. Bukankah percuma juga dikuburkan?" Aku tersenyum, melanjutkan kembali kalimat ku.

"Sama seperti perkataan anda kemarin, Tuan. Yang mengatakan percuma untuk memanggil polisi, karena jasad mereka pasti sudah membusuk. Maka sekarang, bakar saja jasad mereka. Sebelum bau busuknya semakin menyeruak!" jelasku panjang lebar, langsung disambut anggukan antusias dari para warga. Mereka setuju dengan pendapatku.

Juragan Enim terlihat kesal, tampak dari raut wajahnya yang berubah tanpa senyum. Tanpa mendengarkan persetujuan dari Juragan Enim, para warga membagi dua kelompok untuk membereskan potongan mayat dan satu lagi untuk mencari kayu bakar yang banyak.

Hanya cara ini yang ampuh untuk dilakukan, agar Wirma tak lagi mengobrak-abrik kuburan mayat yang telah dikuburkan.

"Bismillahirrahmanirrahim." Api unggun menyala, membakar seluruh potongan mayat yang sudah tak jelas rupanya itu.

Ada rasa sedih melihat mayat-mayat itu dimusnahkan, namun ini cara terbaik.

"Kita harus adakan yasinan agar arwah mereka tenang di alam sana," ucapku lagi.

"Tidak boleh!" Juragan Enim berujar dengan tegas.

"Bagaimana jika sosok itu menyerang saat kita melakukan yasinan di malam hari?"

"Kalo begitu, lakukan di siang hari." Jangan mempersulit, jika ada sesuatu yang mudah. Aku benar-benar tak habis pikir dengan Juragan Enim, sepertinya ia orang yang patut dicurigai.

Sesuai rencana, kami akan mengadakan acara yasinan bersama di rumah Juragan Enim. Karena rumahnya yang paling luas di desa ini, maka besok para warga terutama wanita mulai berkutat di dapur untuk membuat beberapa kue sederhana.

"Wow, ini rumah?" tanya Rafa terlihat kagum, menatap bentuk rumah megah yang berada sedikit jauh dari rumah-rumah para warga.

Aku ikut terperangah takjub, di perkotaan saja jarang sekali terlihat rumah semegah ini.

"Deri, tolong ambilkan piring dengan gelas di gudang. Kurang soalnya," titah salah satu Ibu-ibu kepadaku.

Apa aku tak salah dengar? Aku yang orang baru, disuruh mencari peralatan makan di rumah seluas ini. Ayolah.

"Deri gak tau letak gudangnya, Buk." Aku berusaha menolak dengan sopan.

Ibu itu berfikir sebentar, lalu menjelaskan arah gudang yang tak jauh darisini.

"Lurus, simpang tiga. Pintu kiri itu gudangnya!" Setelah memberikan penjelasan yang sangat cepat, ia berlalu pergi begitu saja seakan aku paham dengan perkataannya.

"Duh, kayak gak ada orang lain aja yang disuruh." Ingin menolak, tapi aku termasuk golongan orang yang gak enakan. Mau tak mau aku terus melangkah mengikuti arah yang sudah dijelaskan tadi.

"Rafa, temenin gue!" Aku berpaling, mencari Rafa yang hilang begitu saja dari pandangan ku. Padahal tadi, dia masih ada disampingku.

Dengan kepasrahan, aku mencari area gudang dengan bermodal otak yang sudah kelelahan. Mencari jalur pertigaan yang dijelaskan tadi, sudah seperti jalan raya saja rumah ini.

Semakin berjalan masuk ke dalam, semakin sepi orang-orang berlalu lalang. Udara disekitar juga terasa berubah, tidak senyaman tadi. Aku membuka sebuah pintu yang tidak terkunci, berfikir jika ruangan ini ialah gudang. Karena bentuk pintu yang berbeda dari yang lainnya.

Pintu terbuka dengan pencahayaan yang minim, aku melebarkan mata melihat seisi ruangan yang dominan dengan warna merah darah. Terdapat sebuah lemari besar dan satu meja yang berada di tengah-tengah ruangan.

"Ruangan apa ini?" Belum sempat aku menjelajahi setiap inci ruangan, terdengar suara pintu yang terbuka.

Aku berdiri dengan tubuh kaku, menatap seseorang yang baru saja membuka pintu. Namun tatapanku berubah teduh, mengetahui siapa yang telah masuk ke dalam ruangan.

"𝐒𝐞𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐩𝐚 𝐝𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢?" Aku mengulum senyum, kami berucap dengan bersamaan.

Perempuan itu ikut tersenyum, senyum yang tetap sama. Seperti pertama kali aku bertemu dengannya.

"Maaf, aku mencari gudang. Tapi malah nyasar kesini," ucapku tetap merasa tak enak hati. "Novi sedang apa disini?" tanyaku balik kepada perempuan yang pernah menolong ku itu.

Novi semakin melebarkan senyumnya, membuat aku merasa kebingungan.

"Aku yang punya rumah, Mas."

Kembali, aku melakukan hal yang memalukan didepan Novi. Tapi aku benar-benar tak tau, jika Juragan Enim menyimpan bidadari dirumahnya.

"Ya ampun, maaf aku gak tau." Merasa tak enak sudah kepergok masuk ke dalam ruangan pribadi, aku memutuskan untuk keluar darisana. Meski dengan pikiran yang masih berkecamuk, ruangan apa yang baru saja aku temui itu? Seperti tempat keramat.

"Mari Novi antarkan," ajak Novi menunjukkan jalan yang benar tentunya.

"Ini gudangnya, Mas bisa sendiri, kan? Soalnya Novi mau bantuin yang didepan," ucap Novi meruntuhkan senyuman yang terbit sedari tadi.

Ingin berlama-lama dengannya, tapi siapa aku? Pertemuan singkat dua kali pandang itu, mampu membuat wajah Novi membayangi pikiran ku. Baru saja bertemu sebentar, dia sudah harus pergi saja.

"Iya, bisa kok." Mau gimana lagi, tak mungkin aku mencegahnya untuk pergi.

Novi berpamitan dengan senyum anggun, berjalan menjauh hingga hilang dari pandanganku.

"Tadi Novi bilang, dia yang punya rumah. Jadi dia itu siapanya Juragan Enim, ya?" gumamku sambil mencari peralatan makan yang dibutuhkan. Ketika Novi telah pergi, baru aku kepikiran tentang identitas dia sebenarnya.

_________

Terhitung sudah tiga kali aku update
hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak, agar Wirma
semakin aktif untuk meneror.

Makan MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang