Sekutu Iblis

1.4K 147 15
                                    

"Lo yakin disini aman?"

Rafa terdiam. "Juragan Enim orang baik, kan?" Dia malah balik bertanya, pertanyaan yang membuat sudut bibir ku sedikit terangkat.

"Bantu gue cari Novi, dia pasti ada disini!"

"Untuk apa?"

"Perempuan itu pasti tau banyak hal."

Banyak lorong-lorong asing seperti labirin yang menghiasi rumah megah ini, sedikit saja kami lupa dengan jalur utama. Maka kami akan tersesat. Untungnya aku pengingat handal, ada satu ruangan yang pernah aku temui dulu. Ruangan bernuansa merah, tempat dimana Novi terlihat.

"Ini?" Pintu berdecit saat aku buka, terlihat berdebu dengan beberapa sarang laba-laba yang bertengger disetiap sudut ruangan.

"Ngapain kesini, gimana kalo ketahuan Juragan Enim?" tanya Rafa terus menarik lengan bajuku.

Aku berdecak kesal. Melihat sekeliling ruangan, setelah membuka pintu yang bertuliskan nama 'Novi Putrik Sania'. Nama yang jika diteliti menghasilkan satu kata - Ptriksa.

PuTRIK SAnia, Ptriksa.

"Gak ada apa-apa?" Rafa mencoba mengajakku untuk segera pergi.

"Ruangannya kayak gak berpenghuni," jawabku melihat sekeliling.

Suara gebrakan membuat kami sontak menoleh, dari arah pintu dapat terlihat dengan jelas sosok yang tak asing.

"Wirma  ...." Sosok Wirma bertengger dengan tubuh lebih tinggi dari sebelumnya. Memenuhi seisi pintu yang menjadi akses untuk keluar. Kaki pucat itu perlahan melangkah masuk dengan mata hendak menerkam.

Aku menarik Rafa untuk mundur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menarik Rafa untuk mundur. Meski tak tau cara untuk kabur dari ruangan tanpa jendela ini.

"Kenapa dia ngikutin kita sampai sini?" tanya Rafa tanpa bisa aku jawab.

Tanganku bersandar pada sesuatu yang terkesan lembut, aku menoleh untuk memastikan benda apa yang baru aku sentuh.

Sebuah lemari terbuka dengan potongan tangan yang berusaha keluar dari dalam, kami terjebak.

"Ilmu itu untuk kamu jaga-jaga, Wirma pasti akan menemukan mu." Perkataan Ibu kembali terngiang, aku sontak menajamkan ingatan. Berkonsentrasi untuk menemukan satu hal yang Ibu berikan kepada ku.

"Jangan ganggu anak ku, bunuh saja aku!" Kilas balik ingatan tentang tragedi kecelakaan sang ibu,  tiba-tiba melintas begitu saja.

Ternyata benar, ibu meninggal bukan karena kecelakaan tunggal. Tapi dibunuh oleh sosok Wirma.

"Kurang ajar!" Aku meraung geram, bersiap berlari menuju Wirma yang semakin melebarkan seringai nya.

Tubuhku terpental, terkena cakaran dari kuku-kukunya yang runcing.

"Mati, mati, mati seperti ibumu!" Wirma terkekeh dengan mulut mengeluarkan air liur, seakan kematian ialah santapan yang lezat untuknya.

Aku gagal. Tubuh Wirma tak bisa dilukai oleh benda apa pun. Saat kuku itu ingin menyerang kembali, sebuah mayat terlempar  mengenai wajahku.

Makan MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang