Kilas Balik 01

1.3K 139 13
                                    

Bulan bersinar dengan terang. Tepat ditengah-tengah para warga, sebuah tiang berukuran besar ditancapkan. Ranting-ranting kayu telah siap mengelilingi, hanya dengan satu percikan api, mungkin aku akan lenyap.

"Ikat dia!" titah Juragan Enim.

Gita menahan tanganku, berusaha untuk menghentikan kegilaan ini.

"Kamu gila?" tanya Gita.

"Kita harus menjadi gila untuk menyelesaikan masalah gila ini," jawabku. Mengutip salah satu perkataan Rafa.

"Nice, bro. Lo bakal mati kalo ngikutin kalimat itu," ejek Rafa dengan sebuah pukulan pelan dibahu.

"Gue gak bakal mati, tenang aja." Aku tertawa di sela-sela ucapan, bersiap untuk berdiri di depan tiang kayu. Sebuah tali panjang langsung menyimpul tubuhku, sedikit sakit saat ikatan terasa lebih kuat.

Para warga bersorak, menabuh sebuah gamelan dengan nada yang terasa tak asing. Kedua mataku memincing, menatap sosok Novi tersenyum diantara kerumunan. Tapi, ada yang berbeda dengannya kali ini.

"Deri!" Gita kembali berteriak, melihat sebuah obor siap membakar ranting kayu yang mengelilingiku.

Aku menegup ludah, menatap wajah Juragan Enim yang telah berjanji untuk menepati sumpahnya kepada Ni Ayung. Apa dia bisa dipercaya?

"Bakar dia!" Juragan Enim berteriak dengan nyalang.

Kobaran Api membesar, melahap dengan cepat ranting-ranting kayu disekelilingku. Rasa panas menusuk kulit, namun aku tetap diam. Memilih untuk memperhatikan seringai Novi didalam kegelapan, seakan telah bersiap untuk kematianku.

'Manusia bodoh!' Bibir itu bergumam, meski tak bersuara. Aku tau apa yang dikatakan oleh Novi.

"Sial!" Batinku mulai tak tenang, melihat salah satu mata Novi yang tak lagi pada tempatnya. Apa yang dia lakukan dengan satu mata itu? Hingga menyisakan cekungan lubang hitam yang dalam.

Kobaran api semakin membesar, sedangkan Juragan Enim tetap berdiri tenang di depan sana.

"Enim, apa kau gila? Kenapa kau hanya diam saja!" Gita bersuara dengan nada meninggi, tak peduli jika usianya lebih muda dibanding Enim.

"Tenanglah, Wirma belum datang." Juragan Enim masih terlihat tenang, ketenangan yang membuat Gita semakin emosi.

Aku menahan nafas, merasakan butiran debu yang berterbangan ditengah-tengah api. Menutup kedua mata dengan rapat, membiarkan rasa sakit ini menjalar keseluruh tubuh.

Hingga sebuah sentuhan terasa dingin menyentuh kulit. Bukan panas api yang kini aku rasakan, aku malah terasa sesak. Seakan menghirup luapan air.

"Keponakanmu akan ikut mati bersamaku, Enim." Suara-suara mengalun seperti musik kusut di ingatan.

Kedua mataku perlahan terbuka, menatap sekeliling tempat yang terasa asing. Aku tidak lagi berada didalam kobaran api. Melainkan di sebuah genangan air dengan seorang perempuan yang terlihat tak asing.

"Ridho, katakan sesuatu!" panggil sebuah suara.

Mulutku terbuka, mengatakan sesuatu tanpa aku kendalikan. "M-ama ...."

"Iya, Sayang. Ini Mama, kamu harus pegang tali itu!"

Belum sempat tali itu menjulur ke bawah, tubuhku seakan tertarik ke dalam perjalanan waktu. Begitu banyak kepingan-kepingan ingatan yang melintas dengan cepat.

Sekarang, aku menyaksikan semua kenyataan itu dengan mataku sendiri. Hanya bisa terdiam, melihat semua yang telah terjadi.


...


Makan MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang