"Deri, bangun. Wirma berusaha mengambil alih jiwa Ibumu!"
Aku membulatkan mata, mendengar teriakan Gita. Menatap ibu yang kini menyeringai, perlahan wajah itu berubah menjadi sosok Wirma. Tawa terdengar melengking, bergema di penjuru tempat ini.
"Bocah bodoh!" seru Wirma kembali tertawa. Aku menggerutu didalam hati, berusaha melepas cekikan yang begitu menyesakkan.
"Kau kira jiwa Ibumu sudah tenang dialam sana?" Wirma menyentuh pipi ku, menorehkan goresan yang mengeluarkan darah hitam.
Tubuhku terlempar cukup keras, sebelum akhirnya sadarkan diri. Aku menghirup nafas dengan rakus, sembari melihat sekeliling tempat persembunyian yang sudah berantakan. Aku sudah keluar dari perjalanan jiwa, tapi sekarang malah dihadapi dengan sosok Wirma yang terpampang nyata sambil menggenggam dua koin yang diberikan Novi.
"Gita!" Aku menghampiri tubuh Gita yang terkulai dengan tubuh bersimbah darah. Sedangkan Rafa terlihat bersandar disebuah batu dengan nafas terengah-engah.
"Apa yang terjadi dengan kalian?"
"Sosok itu ingin membunuhmu, tapi kami menghalanginya." Rafa berusaha bangkit, ia mendekatiku dengan wajah penuh darah.
"Deri, ternyata selama ini ... sosok ibu tak pernah menjumpai mu. Yang selalu kamu jumpai itu, ialah sosok Wirma. Dan tadi, saat jiwa ibumu yang asli datang. Dia berusaha untuk mengambil alih jiwanya!" ucap Gita dengan darah yang terus keluar dari dalam mulutnya.
Wirma menyeringai, seakan membenarkan perkataan Gita. Kondisi yang terlalu lemah, tak memungkinkan untuk kami melawan Wirma yang semakin kuat.
"Ayo, pergi!" Aku mengangkat tubuh Gita, memberi aba-aba kepada Rafa untuk berlari.
Rumput ilalang benar-benar menghalangi perjalanan, aku begitu kesusahan untuk berlari dengan kaki tanpa alas. Beberapa kali kaki ini tertusuk tumbuhan yang tajam, sedangkan Rafa tampak kelelahan dibelakang ku. Area kepalanya mengeluarkan banyak darah yang membuat tubuh itu melemas.
Wirma tertawa nyaring, dia melewati pepohonan dengan tubuh melayang.
"Git, bangun. Jangan mati dulu." Aku berusaha mengajak Gita untuk mengobrol saat kedua matanya hampir saja menutup.
"Deri!" Rafa tiba-tiba berteriak, membuat aku sontak melihat kearahnya.
Wirma melayang dengan cepat kearah ku, menggores lengan hingga membuat luka yang cukup dalam. Aku terjatuh dengan Gita di dekapan, menatap Wirma yang menjulurkan lidah pada genangan darah yang turun dari lengan ku.
Wajahnya terlihat haus akan darah, Wirma mendekat. Dia merangkak dengan kaki-kaki yang terbalik, suara tulang itu beradu. Menghasilkan bunyi retakan yang memekakkan telinga.
Tanpa sepengetahuan Wirma, aku mengambil sebuah kayu berukuran kecil. Bersiap-siap untuk menyerang saat wajah itu semakin mendekat.
"Makhluk bangsat!" Rafa berlari dengan tangan menggenggam sebuah bambu, namun Wirma lebih dulu mengetahui serangan Rafa.
Saat Wirma mulai lengah, aku menusuk salah satu matanya dengan kayu. Membuat suara jeritan menggema nyaring di seluruh hutan.
"Ini belum seberapa!" ucapku menekan tusukan kayunya hingga masuk lebih dalam.
Dengan sisa tenaga, aku kembali mengangkat tubuh Gita. Berlari dengan luka yang memenuhi tubuh, sesekali melihat Rafa yang sama lelahnya.
"Kita harus membawanya ke desa untuk diobati!" jelasku menatap Gita yang tak bergerak. Namun Rafa dengan cepat menghalangi jalan.
"Lo gila? Lo mau dibakar hidup-hidup dengan warga desa? Mereka pasti mengira kita yang udah ngebunuh Gita!" Rafa terlihat berapi-api, sedangkan aku merenungi perkataannya yang sedikit benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Makan Mayit
HorrorWirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik untuk menguak lebih dalam mengenai sosok itu. Apakah dia benar adanya atau hanya sebuah karangan b...