Hampir Mati

1.4K 153 23
                                    


"Jadi, Bik Ima itu udah lama mati?" Setelah aku menceritakan segala hal yang terjadi kepada Rafa, dia tampak kebingungan dengan sedikit rasa ketidakpercayaan.

"Terus Novi siapa?" tanya Rafa lagi.

Aku terdiam, sampai sekarang Novi terlalu misteri untuk diketahui identitasnya. Sedangkan Bik Ima? Wanita itu jarang terlihat keluar rumah, apalagi bercengkrama dengan warga desa.

"Gue gak tau pasti siapa Novi, tapi gue rasa. Dia orang yang udah nulis artikel itu!"

"Ptriksa maksud lo?"

Sedikit ragu untuk mengangguk, tapi faktanya selalu menjurus kepada Novi.

"Gue bakal jelasin banyak hal nanti, kita harus pergi dulu dari rumah ini."

Rafa setuju, ia ikut mengemas barang dengan tergesa-gesa. "Jadi yang selama ini ngechat gue siapa kalo bukan Bik Ima? Masa setan bisa main HP?" tanya Rafa.

"Emang lo dapat nomornya darimana?"

"Gak ada, tiba-tiba ada orang ngaku Bibik gue dari Desa Mayii."

Aku berdecak kesal. "Lo percaya gitu aja?"

Rafa menyengir kuda, merasa tak bersalah telah membawa dirinya sendiri kedalam petaka bersama ku.

Tapi dipikir-pikir, mengapa sosok Wirma sampai harus menghubungi Rafa. Apa aku memang sudah ditargetkan?

"Mending kita cepat pergi!" Aku merasa semakin gelisah berada di rumah ini, bergegas ku buka pintu kamar untuk keluar.

Namun penampakan didepan mata, mampu membuat kami seketika mematung.

"Kalian mau kemana?" tanya Bik Ima dengan suara parau.

Aku menelan ludah dengan susah payah, berusaha memberanikan diri untuk menatap manik matanya.

"P-pulang ... Iya, kan?" Lenganku menyenggol Rafa yang langsung mengangguk.

"Cepat sekali pulangnya."

"Iya, Bik. Ada urusan di kota," jawabku melewati drinya begitu saja. Tak lupa menarik tubuh Rafa yang masih mematung.

"Ada urusan di kota atau sudah tau?" Suara Bik Ima membuat langkah kami terhenti, seakan maling yang sedang ketahuan mencuri. Tubuhku bergetar hebat mendengar tawa renyah yang lama-lama membesar.

"Ohalah, Nang. Kamu mau kabur dariku, ya?"

Baru aku sadari, jika Bik Ima dan Wirma sering memanggilku dengan sebutan 'Nang'. Hal yang seharusnya aku ketahui lebih awal, namun terlambat.

"Lari!" titah ku tanpa aba-aba.

Matahari ternyata telah tenggelem, berganti bulan yang penuh seutuhnya. Bermodal cahaya dari handphone, kami mengetuk satu persatu rumah warga untuk meminta bantuan.

Naas, tak ada satupun pintu yang terbuka. Bahkan rumah-rumah itu senyap, seakan tak berpenghuni.

"Sial, kenapa kita gak naik motor aja tadi? Malah ditinggal!" Aku merutuki kebodohan yang selalu datang disaat genting.

"Der, berhenti ngumpat. Lo lihat diatas sana," ucap Rafa tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit malam.

Mataku ikut terkunci melihat sosok Wirma yang melayang dengan seringai mengerikan. Bahkan dia tak sendiri, dibelakangnya terlihat banyak sosok mayat yang ikut melayang.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Makan MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang